02 | Oke

28 5 0
                                    


5L, Lemah, Letih, Lesu, Lunglai, dan Letoy. Itulah yang Dyan alami pada jam mata pelajaran terakhir hari ini. Rasanya dia tidak mau waktu cepat berlalu. Atau setidaknya, segera kabur dari sana. Tetapi di sini, Kedua temannya benar-benar menaruh mata padanya sehingga dia tidak bisa kabur. 

Dyan menghela nafasnya yang ke- 10 kali. Kembalilah ia menelungkupkan mukanya ke dalam lipatan tangannya. Apa pura-pura tidur saja? Atau pura-pura pingsan—

TAK!

"Aw.."

"Heh! Dyan, jangan tidur kamu di jam saya!" Dyan mengangkat kepalanya, melihat ke sumber suara yang berteriak dan memukul kepalanya tadi. Dengan hawa panas yang bisa dirasakan di sekitarnya, mulailah Pak Bagas menceramahi tindakan Dyan tanpa henti.

Bahkan tanpa disadari, Bapak itu telah mengomel hingga bel pulang berbunyi. Bisa kebayang tidak bagaimana kabar telinganya Dyan? 

"Baiklah, Silahkan pulang," Ujar Pak Bagas, sebagai penutup omelannya. Segera setelah ia pergi, semua orang mulai mengangkat tas mereka dengan perasaan lega.

Kecuali Dyan. 

"Dyan! Suwun yak! Haha," Sahut salah satu teman sekelasnya. Dyan hanya menatap sinis dan mulai mengangkat tasnya yang rasanya lebih berat dari biasanya.

BRAK!

"Astaga. Betapa tidak tenangnya harinya Dyan.

Dyan melirik Arsa yang membanting tangannya ke mejanya tanpa alasan. "Aw, sakit juga," Ujar Arsa sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"Jangan kabur anda!" Sahut Varel, yang dibalas dengan putaran mata malas andalan Dyan.

"Sana buruan! Mumpung Si Virsa masih nata tasnya."

"Males."

"Ayolah, jangan jadi pengecut dong!"

"Kalian yang pengecut karena nyuruh gue mainin perasaan cewe," Kesal Dyan.

"Yakin dia ada perasaan ke lu?"

Dyan menghela nafasnya. Dengan langkah lemas dan ragu ia mulai menarik kakinya mengarah ke meja Virsa. Tatapan teman-temannya tidak lepas darinya. Terdengar pula suara mereka yang berkekeh-kekeh tidak jelas. Membuat Dyan ingin langsung lari saja ke pintu keluar.

Virsa yang menyadari kehadiran seseorang, Mengarahkan pandangannya ke orang di depan mejanya. Dyan. Mengapa pria ini mendekatinya tiba-tiba seperti ini? Apa dia mau sesuatu? Ini tidak seperti di wattpad-wattpad yang cewenya nanti jadi babu kan? Membayangkannya saja sudah merinding.

Virsa menahan segala pemikiran overthinkingnya. Ia pun melepas salah satu earphonenya dan menatap Dyan mencoba mempertanyakan maksudnya.

"Er.. Ayo ikut gue."

"Ke?"

"Udah ikut aja, ke kantin. Gue ga bakal ngapa-ngapain lu."

Dengan tatapan curiga, Virsa mengangguk ragu dan menyelesaikan menata tasnya. Ia jinjing tas coklatnya ke punggungnya dan mulak mengikuti langkah Dyan.

Semilir angin sore hari itu menerpa wajah Virsa. Namun karena terlalu kencang, sepanjang jalan rambutnya terus menerus menutupi wajahnya sampai ia muak dan ingin langsung membotakkan kepalanya. 

Dyan yang melihat itu, berusaha keras untuk tidak menertawakannya. Terutama ketika beberapa helai sampai tidak sengaja ia makan. Tawa yang ia tahan memicu rasa ingin mengeluarkan angin di bagian belakangnya. 

"B-bentar," Ujar Dyan sambil mengangkat tangannya. Ia mengambil minumnya dan mencoba menenangkan diri. 

Terlihat Virsa yang semakin kebingungan melihat tindakan Dyan yang aneh. Sekarang dia meminta berhenti? Kenapa dia terdengar merengek seperti itu? Apa dia terluka atau sesuatu? Kecurigaannya makin besar, dia sudah bersiap-siap untuk kabur dari sana.

Setelah cukup tenang, Dyan mengambil sesuatu di tasnya dan melangkah mendekati Virsa. Virsa yang was-was, tersentak melihat langkah Dyan yang mendekat. Mereka di tempat umum, jadi resiko dia dalam bahaya cukup rendah, tetapi itu tidak menutup kemungkinan akan terjadinya masalah. 

Dyan menyodorkan tangannya di depan Virsa, membuatnya tanpa sadar tersentak dan menutup matanya. 

Namun setelah tidak merasakan sesuatu terjadi pada badannya, ia mulai membuka matanya memandang muka Dyan yang terheran-heran. Ia kembali melirik ke tangan yang disodorkan.

Sebuah kuncir karet.

"Nih, bekas gue makan nasi kuning tadi." Karet gelang bekas nasi kuning tepatnya.

Dengan segala kebingungan yang bisa dilihat wajahnya, Virsa pelan-pelan mengambil karet gelang itu dan memakainya. "Makasih," Ujarnya, yang dibalas dengan anggukan dari Dyan.

Kebaikan yang absurd sekali. Padahal dia tidak perlu peduli pada bagaimana rambut Virsa menampar-nampar wajahnya. 

"Oke, untung aja sepi," Ujar Dyan sambil melihat sekitar. Sebenernya, ga etis sekali nembak di kantin. Bakal dianggap cowo macam apa Dyan nanti? "Yaudah sih, kan cuman dare," pikirnya. 

"Jadi?"

"Duduk dulu atuh," Ujar Dyan sambil mengarahkan Virsa ke tempat duduknya. Virsa pun menarik kursinya, begitu juga dengan Dyan.

Dengan segala nyali yang telah ia kumpulkan, Dyan mulai berdehem. Menarik nafas, lalu mengeluarkannya. Ia tahan seluruh rasa malu dan gelisahnya. Pengalaman pertamanya menembak, dan ditolak.

"A-ayo jadian!" Seru Dyan sambil menutup matanya. Rasanya jantungnya berdetak kencang mencoba menghalangi telinganya untuk mendengar kata tolakan dari Virsa. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya, jadi dia merasa takut.

"Ok."

"Ya gapa- hah?" Dyan mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba mencerna apa yang dia dengar. "Hah?"

"Mau jadian kan? Ya ayok," Respon Virsa spontan.

Dyan menutup mulutnya dan menatap tidak percaya. Si introvert, ga nolak dia?!

Weirdos.Where stories live. Discover now