01 | Dare

42 5 0
                                    

"Bangke." Dyan melempar beberapa kartu remi yang dia pegang setelah teman di sebelahnya meletakkan kartu terakhirnya.

"Noob."

"Untung doang itu."

"Untung apaan sampe 5 kali YAHAHAHAHA," Ujar temannya, Varel, terjengkang-jengkang.

"Lu hobi kalah apa gimana?" Sahut teman lainnya, Arsa."

"At least, ga hobi mainin cewe," Jawabnya Dyan dengan rasa bangga, mencoba menutupi kekalahannya. Arsa yang tersinggung hanya memutar bola matanya malas dan mendengus.

"Jangan mulai."

"Maaf kalau benar."

"Dah, dah. Sekarang mau ngasih hukuman apa ke Dyan?" Tanya Varel mencoba menghentikan pertengkaran yang mungkin terjadi.

Dengan wajah yang digambar, rambut yang diikat dua, kancing yang diacak, uang yang hampir habis setelah mentraktir temannya, dan rasa malu karena tadi telah menggoda tukang bakso kantin, Dyan menghela nafasnya panjang dan hanya bisa pasrah. Jujur, dia sendiri juga heran. Kok bisa noob banget?

Ada yang mau tutorin Dyan?

"Dare," Ujar Arsa. Dyan menatap Arya dengan wajah yang mengatakan 'Lagi?!'.

Arsa menyeringai dan melanjutkan, "Tembak Virsa terus bilang itu dare." Dyan membelalak kan matanya mendengar perkataan Arsa.

"Ga usah bawa bawa gue dalam per-brengsekan lu ya."

"Kan langsung bilang kalau itu dare. Ga perlu jadian."

"Tetep aja!"

"Virsa siapa? Yang nyanyi 'Dan Tunggulah, Aku di sana~' bukan?" Tanya Varel.

Dyan dan Arsa menatap malas Varel yang berusaha nge-jokes. Merasakan tatapan temannya, Varel kembali menatap mereka heran, "Apa sih? Gausa liat-liat, ntar naksir."

"Idih."

"Huek."

"JAHAT," Seru Varel. Ia kemudian mendengus dan spontan menyetujui saran Arsa, "Oke. Lu harus nembak Virsa."

"KOK GITU."

"Namanya Dare, ya gitu."

Arsa menaikkan salah satu alisnya. "Emang lu tahu Virsa yang mana, rel?" Tanyanya.

Varel menggaruk-garuk kepalanya dan menggelengkan kepalanya. "Enggak, tapi karena gue kesel sama Dyan, jadi gue setuju," ujarnya.

"Dih dendaman."

"Dih noob-an."

"ANJ-"

Sebelum bisa melanjutkan umpatannya, Varel sudah menyumpal mulut Dyan dengan sebuah kertas. "Emang Virsa yang mana sih? Kagak pernah tahu gua," Tanya Varel, membiarkan Dyan yang terus menggerutu dan menarik-narik kerahnya.

Arsa menunjuk pada pojok belakang sebrang barisan mereka, pada seorang gadis perempuan yang sedang menenggelamkan kepalanya ke dalam tumpukan tangannya. "Itu, Si anak Introvert," Ujar Arsa.

"Oh, Namanya Virsa? Baru tahu," Ujar Varel mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ogah! Gue bahkan ga pernah ngobrol ama dia!"

"Dare syg."

"Lagian ngapain lu pengen gue nembak dia coba Tujuannya apa? Gue tahu dia bakal nolak!" Mereka tidak pernah mengobrol, menyapa, atau bahkan eye contact lebih dari 5 detik. Seharusnya dia bakal menolakkan?

Iya kan?

"No reason," Jawab Arsa.

"Pret, lu tertarik kan sebenarnya ama dia? Sebenernya dia target lu kan? Tapi lu ga tau sifatnya terus manfaatin gue buat nyari tahu kan? Terus biar kalau cara dia nolak gue menarik, ntar lu tembak kan? Terus kalau ga menarik, ga jadi kan?" Jelas Dyan setelah berteori konspirasi.

"Manuk akal," Sahut Varel.

 Mendengar teori absurd itu, Arsa menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya layaknya seorang guru yang kecewa. "Astaga. Padahal gue mau tobat loh. Kalian malah suudzon gitu. Ck, ck, ck," Ujarnya.

"Dih, tobat paan kemarin nyosor cewek orang."

"Tobat kok setengah-setengah."

 Arsa menatap sinis mereka berdua yang begitu kompak. Terutama Varel, sebenernya dia dukung siapa? "Ya proses kocak." 

Kemudian ia melanjutkan, "Lagian itu ceweknya yang emang begitu, dia begituan ga cuman ama gue. Kemaren dia juga gituan sama yang lain. Yaudah itu cara gue nunjukin ke cowoknya kalau dia tukang selingkuh."

"Ga gitu juga kalik."

"Sorry, itu cara gue," Ujarnya. Dyan dan Varel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, terheran-heran dengan tindakan temannya yang satu ini.

"Yaudah, Es Em Ge Te," Ujar Varel menyemangati dengan tidak ikhlas.

"Terus sekarang jelasin alasan lu pengen gue nembak Virsa," Tegas Dyan.

Arsa menggedikkan bahunya. "Cuman pengen lihat seorang Dyan nembak pertama kali dan ditolak."

"Lu temen gue bukan sih?"

"Sejak kapan?" Mendengar respon Arsa, reflek Dyan menaikkan jari tengahnya di depan mukanya. Tidak sengaja.

"Eh, tapi kalau dia nerima gimana?" Tanya Varel."

Ga mungkin ga sih? Emang dia berani? Kalau diterima yaudah bilang aja kalo itu dare."

Varel mengangguk setuju. "Berarti fiks! Nanti pulsek lu nembak dia!"

Astaga. Sebenarnya Dyan pernah salah apa kok hidupnya sampai seperti ini? Dengan lemah lesu, Dyan membanting jidatnya ke meja, meratapi malangnya hidupnya. Kenapa juga dia mau temenan sama dua Upin Ipin ini?

"Yan, Bu Risa mau masuk, muka lu ga lu bersihin?"

"ANDA PIKIR INI GARA-GARA SIAPA?!" Serunya Frustasi. 

Weirdos.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt