17 | Ancaman

11 3 0
                                    


"Gila banget..." Gumam Virsa. Sepertinya ia tertular kelemotan otak Dyan. Informasi tadi malam layaknya bom yang berlandas tepat di muka Virsa. Hubungan mereka belum ada 2 minggu, tetapi ia sudah dipanggil sama calon mertua. Bagaimana ia tidak ketar-ketir?

Mata Virsa terlihat menggelap karena terjaga semalaman. Otaknya terus membuat skenario apa yang harus ia lakukan hari Jumat nanti. Ibu Dyan itu seperti apa? Apakah ia tipe yang galak? Atau lembut? Bagaimana Virsa harus bersikap? Haruskah ia membawa bingkisan?

Ia menelungkupkan wajahnya pada lipatan lengannya. Pelajaran yang sedang terangkan oleh gurunya masuk dari telinga kanan lalu keluar dari keluar kiri. Pandangannya beralih pada Dyan yang mendengarkan dengan baik. Virsa mengumpat dalam hati. Bagaimana ia bersikap sangat tenang setelah melemparkan informasi seperti begitu saja? Memangnya ia tidak gugup membawa cewek ke rumahnya?

Virsa mengacak rambutnya kasar. "Kan, aku baru pertama kali pacaran! Aku ga tahu apa-apa! Gimana dongg."

Kemudian tiba-tiba, Virsa merasa seperti ada lampu yang menyala di atas kepalanya. Rasanya ia menjadi cemerlang seketika. Sebenarnya bukan ide bagaimana ia menjadi menantu yang baik, sih. Tetapi ia tahu hal lain yang ia bisa manfaatkan dengan situasi ini.

Ia terkekeh seram. "Ancam aja, ga, sih?" Gumamnya.

"Sst!" Pemikiran bengis Virsa terputus. Ia melirik teman sebangkunya yang menatapnya sinis. Padahal ia tidak bicara keras-keras. Mengapa ia sensitif sekali?

Ya sudahlah. Walau sebenarnya tidak mendengarkan, Virsa pun mengembalikan pandangannya pada guru di depan. Kembali dengan image nerdnya.

Padahal kepalanya sedang menciptakan berbagai skenario untuk mengancam Dyan. Tidak satupun kalimat sang guru tercantol pada otaknya. Ia menjadi tersenyum-senyum sendiri membayangkan ekspresi Dyan.

•••

BRAK!

"Ya Allah, kasian meja ini," Keluh Varrel. Walau mengawasi dari jauh, ia selalu merasa kasihan dengan mejanya dan Dyan yang selalu dihantam oleh telapak Virsa. Ia mengusap lembut meja kesayangannya.

Ia melirik pada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Bentar, Neng. Saya keluar dulu," Sopan Varrel. Virsa menjadi tidak enak sendiri. Seolah-olah baru saja merusak mainan kesayangannya Varrel.

Gadis itu pun menyingkir membiarkan Varel keluar. Dyan yang melihat hal itu hendak mengatakan sesuatu, "He—"

Namun kalimatnya terhenti ketika Arsa langsung menarik Varrel kabur. Memang, kalau urusan kabur mereka yang paling kompak. Dyan menghela nafasnya.

Ia pun menatap Virsa. "Hayo. Varrel marah, loh."

"Hah?! Serius? Ih, Aku ngga tahu kalo dia suka banget sama meja ini," Gelisah Virsa. Dyan menatapnya heran. Padahal jelas ia bercanda. Rupanya Virsa menganggap kalau mejanya benar-benar belahan jiwa Varrel?

Ia tersenyum penuh arti. Sepertinya, seru kalau menggoda gadis ini sedikit. "Iya, loh. Dia kalo hari libur aja tetep datang buat ketemuan sama meja ini," Ujar Dyan pura-pura memelas.

Virsa menundukkan kepalanya, kedua alisnya bertaut. Ia memainkan tangannya merasa bersalah. Hal itu membuat Dyan semakin ingin menggodanya. "Bayangin. Nggak cuman sekali lo nggebukin meja ini! Padahal ini, kan, nafas hidupnya!" Dyan semakin memanas-manasi.

Kepala Virsa terangkat menampilkan wajah yang semakin tertekuk. "Aduh, gimana, nih, Dyan?! Aku baru aja nggebukin meja kesayangan Varrel!!" Seru Virsa.

Dyan berusaha keras untuk tidak menyemburkan tawa. Padahal ia hanya melebih-lebihkan. Virsa, kan, tidak sampai sebegitunya. Kenapa ia malah ikut-ikut menggunakan kaya 'gebuk'?

Weirdos.Where stories live. Discover now