Gayatri | Part 25 | Pancingan

229 33 8
                                    

"Kenapa Anda baru muncul sekarang, Jenderal? Saya sampai detik ini masih tidak dapat membedakan mana lawan dan kawan. Rasa-rasanya perjuangan saya untuk mengungkapkan kasus ini sia-sia. Untuk apa dilanjutkan lagi, toh pada akhirnya saya tetap sendirian."

Gayatri memandang nanar tiga pusara keluarganya. Matanya mengunci nama Ghama Mahawira yang terpampang tepat di sisi sebelah kiri dari kompleks peristirahatan itu.

"Saya tidak punya cukup power untuk melawan, Bripda Gayatri. Selama ini saya sibuk mengumpulkan bukti secara diam-diam, mendekati beberapa anggota untuk mengungkap kasus ini, tapi semua sia-sia. Hingga akhirnya sama mengendus keberadaan Ghama dan mencoba menemuinya tanpa sepengetahuan Jenderal Nugraha.

"Dia berniat membunuh semua orang yang terlibat dalam kasus kematian AKBP Adji Sulaiman. Saya memberikan beberapa data dan bukti yang berhasil saya miliki dan sepertinya itulah penyebab utama penyerangan terhadap Aiptu Nurahman terjadi. Saya menyesal karena saya terlambat bergerak, Bripda Gayatri. Namun, kita masih memiliki waktu yang cukup sebelum masa daluarsa penuntutannya habis. Saya akan menggunakan posisi saya untuk bertindak atas nama kebenaran."

Farhan tampak begitu yakin dan berapi-api menyampaikan niat hatinya, tapi rupanya Gayatri tidak terlalu antusias menanggapi ucapan Farhan itu. Ia kembali memandang ketiga pusara yang ada di hadapannya seraya menghembuskan napas kasar.

"Bripda Gayatri .... "

"Mohon maaf, Jenderal. Saya ingin sendiri."

Farhan diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk paham dan perlahan meninggalkan Gayatri menuju sebuah gazebo kecil tidak jauh dari kompleks pemakaman itu.

Agam yang semula duduk pun segera berdiri dan memberi hormat pada Farhan manakala pria itu berdiri di sampingnya.

"Saya tidak bisa tinggal diam. Saya akan menggunakan media untuk melakukan konfrontasi. Kamu lebih baik dampingi Gayatri saja di sini. Saya akan memulihkan posisinya sebagai penyidik pembantu. Mungkin dia butuh berpikir sedikit untuk ini."

Farhan menepuk pundak Agam beberapa kali sebelum melangkah pergi meninggalkan kompleks pemakaman itu.

Agam menatap nanar Gayatri yang duduk dengan lemas sembari meremas tanah pemakaman. Ia kembali menangis dan meratapi kepergian Ghama. Agam mengembuskan napas kasar. Ia mengambil ponsel dan mulai melakukan panggilan telepon.

"Bisa kita bicara, Dad?"

Usai memberikan kesanggupannya menemui Agam, Khrisna pun duduk dengan begitu tenang di ruang kerjanya. Ia tampak menghisap cerutu sambil menatap keluar jendela. Khrisna menoleh manakala pintu ruang kerjanya terbuka dan menampilkan Agam berdiri di sana.

"Sudah datang. Kamu apa benar sudah tidak apa-apa? Daddy dengar dari dokter, sebenarnya kamu belum boleh keluar," ucap Khrisna seraya menatap Agam dengan saksama.

"Lebih baik hentikan sandiwaranya, Daddy!" ucap Agam tegas.

Khrisna mengerutkan dahinya sembari tersenyum miring dan berkata, "Sandiwara apa?"

Mendengar pertanyaan sang ayah, Agam pun berjalan cepat, berdiri tepat di depan meja kerja sang ayah, dan menggebrak meja itu dengan begitu kuat. Napasnya tampak memburu, rahang kokohnya pun mengeras, dan sorot mata Agam pun menajam menatap Khrisna.

"Agam sudah tahu semua kebusukan Daddy. Lebih baik menyerahkan diri sekarang sebelum terlambat!"

"Kebusukan apa maksudmu? Daddy tidak pernah melakukan hal yang salah! Jangan terlalu percaya pada berita yang beredar di media, Agam. Semua bohong! Suara yang beredar itu hanya rekayasa kecerdasan buatan saja. Sudahlah! Ini hanya rencana mereka yang ingin menjatuhkan nama Daddy."

GAYATRIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora