Gayatri | Part 18 | Kepercayaan Itu Mahal

231 32 19
                                    

Kumala berjalan tegap dengan beberapa tumpukan berkas yang dibawa di tangan kanannya, sementara tangan kirinya menenteng tas laptop. Ia tampak sangat percaya diri saat diberi kesempatan oleh Abraham menjadi bagian tim investigasi menggantikan Gayatri. Impian Kumala sejak masuk menjadi polisi pun akhirnya tercapai.

Komitmennya jelas. Tidak ingin membuat atasan kecewa dan ingin menyelidiki kasus dengan teliti.

Ia masuk ke ruang interogasi, melihat Ghama dengan kedua tangan terborgol duduk seorang diri di dalam ruangan yang pengap itu. Ruangan kotak, terkesan kaku dengan cat warna abu-abu. Tidak ada interior sama sekali, kecuali kaca besar yang ada di samping kanan dan jam dinding yang ada di belakang Ghama.

Ghama tidak bergeming saat Kumala meletakkan berkas-berkas  dan laptop yang ia bawa ke atas meja. Kumala menarik kursi, menghela napas kasar, dan duduk dengan pandangan kesal ketika ia melihat Ghama yang tampak tenang dan menunduk.

"Saudara Ghama Mahawira, perkenalkan, saya Bripda Kumala, saya yang bertanggungjawab pada proses interogasi saudara. Harap jawab dengan jujur dan yang sebenarnya mengenai kasus yang dituduhkan kepada Anda. Anda memiliki hak tetap diam dan hak untuk didampingi pengacara. Kalau saya sarankan, lebih baik Anda tidak memilih diam karena diam pun percuma. Bukti yang kami miliki sudah lengkap!" ucap Kumala tegas.

Ghama masih menunduk. Ia seolah tidak terlampau menghiraukan ucapan Kumala. Gadis itu membuka laptopnya dan menunjukkan sebuab vidio hasil rekaman kamera cctv yang ada di sekitar rumah kediaman Aiptu Nurahman.

"Apakah benar, orang yang ada dalam vidio itu adalah Anda, Saudara Ghama?" tanya Kumala tegas.

Ghama mendongak, ia menatap tajam pada layar sebelum beralih menatap Kumala. Sorot mata Ghama sempat membuat Kumala goyah. Ini adalah pengalaman pertamanya melakukan interogasi, tapi orang yang diinterogasi adalah tersangka utama yang merenggut nyawa ayahnya.

"Benar," jawab Ghama singkat.

"Rekaman ini adalah dugaan polisi mengenai terduga pelaku pembunuhan Aiptu Nurahman. Anda mengaku membunuh Aiptu Nurahman?"

"Ya."

Kumala menahan napas sejenak. Ia mengepalkan satu tangannya, ia tidak menduga jika Ghama akan secepat itu mengaku. Kumala mengganti vidio pada layar laptopnya menjadi vidio saat Ghana hendak melakukan percobaan pembunuhan pada Brigadir Joshua.

"Ini Anda?" tanya Kumala singkat.

Ghama menatap layar sejenak. Tampak jika ia sedang berjalan di koridor dengan jas putih milik seorang dokter dan mengenakan masker.

"Ya."

Vidio kembali berubah, menunjukkan kejadian ketika di ICU rumah sakit tempat Brigadir Joshua dirawat.

"Tirainya terbuka, apakah Anda masuk dari sisi yang lain dan kembali membunuh Brigadir Joshua?" tanya Kumala dengan suara bergetar.

Ghama menajamkan tatapannya, lalu menggeleng. "Itu bukan saya."

Mendengar ucapan Ghama itu, Kumala membulatkan matanya. Emosinya kembali membuncah ketika ia mendengar sendiri penyangkalan dari mulut Ghama.

"Percuma saja berdusta, buktinya nyata!Anda jelas-jelas masuk ke ruang ICU. Dalam vidio ini jelas!"   ucap Kumala menggeram kesal.

Ghama tersenyum miring, memperlihatkan wajah culasnya. "Anda yakin jika bukti rekaman itu benar?" tanyanya pelan.

"Untuk apa saya meragukan bukti yang dimiliki polisi!"

Kumala dan Ghama saling menatap tajam, mereka menabuh genderang perang mereka masing-masing.

"Saya memang datang ke rumah sakit itu untuk membunuh ayah Anda, tapi gagal. Bagi seorang pembunuh, apakah masuk akal dia kembali beraksi setelah terpergok? Lagipula, jalan yang saya lalui dalam vidio itu, bukan jalan menuju ruangan ICU. Oh,ya, satu hal lagi ... jika bukti kepolisian tidak diragukan, lalu kenapa saya yang masih hidup diberitakan mati lima belas tahun lalu?"

GAYATRIWhere stories live. Discover now