Gayatri | Part 15 | Musuh Besar

236 39 31
                                    

Agam mengusap wajah usai bangun dari tidurnya semalam. Ia terkejut saat melihat Gayatri sedang sibuk menyiapkan makan untuk sarapan mereka.

"Sudah bangun, Ndan? Kenapa tidak menyediakan menu lain selain mie instan? Beruntung ada telur, jadi saya buat pizza mie. Sarapan dulu, Ndan," ucap Gayatri seraya tersenyum dari balik meja dapur.

Agam tersenyum tipis. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu duduk di kursi sembari menatap meja makannya.

"Rumah kalau ada perempuannya memang beda."

Gayatri mengernyit sembari meniup cokelat panas di tangannya. "Bedanya apa?"

"Ini. Bangun tidur sudah ada yang siapkan sarapan plus kopi. Biasanya saya ngopi di kantor dan entah kapan bisa makan. Terima kasih, ya, Aya sudah berbaik hati menyiapkan ini semua."

Gayatri tersenyum. "Anggap saja saya sedang membalas budi. Komandan sudah menolong saya dan mau percaya dengan ucapan saya. Jadi, hanya menyiapkan sarapan seperti ini saya rasa bukan masalah besar."

Agam mengangguk. Ia dengan lahap menikmati sajian pizza mie di hadapannya. Mencocolnya dengan sambal sembari menatap ponsel di tangannya. Ia mengernyit manakala melihat sebuah email masuk yang berasal dari Indah.

"Hasil tes DNAnya sudah keluar. Kamu mengajukan tes DNA juga, Aya?"

"Iya, Ndan. Waktu Mas Ghama pertama kali muncul."

"Menurut hasil tes DNA yang saya ajukan mirip dengan hasil tes DNA yang kamu ajukan. Indah juga menemukan sidik jari di sana, tapi anehnya namanya tidak terdaftar dalam database kependudukan dan kepolisian."

Gayatri mengangguk paham. "Berarti dia memang benar kakak saya, Ndan. Sidik jari diambil oleh kepolisian dan kependudukan dilakukan setelah usia minimal 17 tahun, sementara kakak saya saat kejadian masih berusia empat belas tahun. Jadi, wajar jika tanpa identitas."

Agam membuang napas kasar. "Saya jadi semakin yakin jika tim investigasi terdahulu kemungkinan besar sudah memanipulasi bukti-bukti. Namun, anehnya, kenapa hasil autopsi menyatakan jika mayat ketiga adalah Ghama? Apa mungkin, dokter forensik akan berbuat nekat dengan memalsukan bukti autopsi?"

"Entahlah, Ndan. Saya tidak tahu sebesar apa kekuatan orang dibalik kejadian ini. Melihat semua tersusun dengan rapih, sudah jelas jika dia bukanlah orang sembarangan, Ndan."

Agam mengangguk mantap. "Saya setuju. Sulit melawan orang seperti itu, karena kita berhadapan dengan citra dan komentar masyarakat."

"Orang-orang tidak akan percaya meskipun kita sudah melemparkan buktinya. Entah dia berkelit atau bisa jadi masyarakat membentenginya dengan komentar di laman media sosial."

"Saya tahu cara jitu untuk itu. Kita mungkin berperang dengan waktu untuk mencari bukti, tapi kita bisa buat pelaku berperang dengan komentar masyarakat! Kita bisa memanfaatkan media untuk itu, Aya!" Mata Agam berbinar usai menyampaikan idenya itu.

Ia dengan cepat mencari kartu nama Shinta, orang yang ia tahu akan segera berada di pihaknya tanpa diminta.

"Dia reporter yang bertemu kita di kantor pusat kemarin. Dia adalah kerabat dari Robert Danuarta, mantan ketua komisi pemberantasan korupsi yang anak laki-lakinya dinyatakan meninggal karena bunuh diri. Kita bisa memanfaatnya dia untuk menyerang dan menemukan musuh terbesar kita.

"Menurut saya, media adalah cara yang tepat untuk memanipulasi keadaan. Kita berikan fakta-faktanya. Saya sangat yakin kematian putra mantan ketua komisi pemberantasan korupsi itu ada hubungannya dengan kematian keluargamu. Ibu Desi, istri Pak Robert menyatakan jika Pak Robert sempat memberikan bukti para Pak Adji. Kemungkinan bukti itu tersimpan di ... sini!"

GAYATRIWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu