Gayatri | Part 12 | Salah

163 33 4
                                    

"Ada yang ingin kamu temui?"

Gayatri membulatkan mata, sejenak ia berpikir keras agar dapat menjawab pertanyaan Agam tanpa menimbulkan kecurigaan dari pria itu.

Awalnya, Gayatri berpikir akan menemui Ghama setelah berita menghebohkan yang terjadi. Ia juga sudah mengantongi kebusukan Nugraha meski hanya sedikit, tapi ia masih belum bisa membuktikannya karena tidak ada yang menunjukkan dengan jelas cara Nugraha mengakhiri hidup Brigadir Joshua. Namun, kehadiran Agam merusak rencananya.

Ia membalikkan tubuh dan mencoba bersikap sewajarnya.

"Hanya ingin melihat lokasi kejahatan tiga belas tahun yang lalu, Ndan. Saya merasa perlu untuk datang ke tempat ini," jawab Gayatri mencoba tenang.

Agam mengangguk. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang mungkin akan ditemui oleh Gayatri seperti dugaan Nugraha.

"Memangnya menurut komandan, saya akan bertemu dengan siapa?" tanya Gayatri dengan alis kanan yang terangkat.

Agam menatap bingung. Ia juga tidak memiliki cukup alasan untuk menuduh Gayatri menemui seseorang. Tidak mungkin juga jika dia mengatakan pada Gayatri jika dirinya curiga. Agam tersenyum kaku.

"Hanya menebak. Siapa tahu berjanji temu dengan penyidik lain," jawabnya.

Gayatri kian mengerutkan dahinya. "Tidak ada yang saya ajak bertemu,Ndan. Komandan sendiri, ada perlu apa datang ke tempat ini?" tanya Gayatri.

Agam membulatkan matanya. Ia juga tidak memiliki jawaban yang tepat. Agam tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal

"Entahlah, hanya ingin berkunjung saja ke tempat ini usai kamu membahasnya dalam rapat tadi. Saya hanya berpikir, apakah ada kekurangan saat saya menyelidiki kasus ini dulu. Saya datang ke sini hanya untuk memastikan," jawab Agam seraya tersenyum.

"Mau masuk?" lanjutnya yang seketika membuat Gayatri terkesiap.

Ia belum siap untuk melihat bukti-bukti kematian ayah dan ibunya setelah lima belas tahun berlalu. Melihat rumah ini terbakar dari luarnya saja sudah membuat hati Gayatri hancur, apalagi melihat kondisi di dalamnya.

"Bagaimana, Aya? Kita masuk untuk melihat?" lanjut Agam seraya merentangkan tangan mempersilakan Gayatri untuk melompati garis batas polisi. Agam memberikan sarung kaki dan sarung tangan pada Gayatri untuk menutupi jejak mereka agar tidak membingungkan para penyidik dalam menyelidiki ulang kasus ini.

Gayatri berjalan pelan. Matanya berkaca-kaca. Kenangan akan masa kecilnya kembali menyeruak. Halaman yang biasa ia gunakan untuk bermain masak-masakan dan boneka, perosotan dan ayunan yang sengaja dibuat oleh sang ayah, teras yang digunakan Gayatri dan keluarganya saat bercengkrama bersama sambil menikmati sajian makanan hangat dan cokelat panas.

Gayatri berhenti sejenak saat merasakan pandangannya kian kabur dan ia mulai kesulitan untuk bernapas. Gayatri melangkah masuk. Ruangan yang dahulu adalah ruang tamu dengan foto keluarga besar terpampang di dinding kini sudah habis, hangus dilalap api. Gayatri melihat tiga buah tanda putih membentuk orang yang tercetak di atas lantai yang menghitam itu.

Gayatri dapat memastikan jika tiga gambar tersebut adalah AKBP Adji Sulaiman, Sahira, dan seorang polisi yang dianggap sebagai Ghama. Gayatri menatap nanar dua gambar di lantai itu. Napasnya mulai tidak beraturan, tubuhnya gemetaran, ada bulir-bulir keringat yang tiba-tiba membanjiri tubuh Gayatri. Jantungnya pun berdegup begitu kencang. Wajahnya kian lama kian pucat, seperti mayat yang baru saja diambil nyawanya oleh malaikat pencabut nyawa, Gayatri diam menatap dengan saksama dua gambar di lantai itu sebelum pandangannya menggelap dan Gayatri jatuh pingsan.

GAYATRIWhere stories live. Discover now