Gayatri | Part 20 | Bergerak Melawan Roda

242 36 14
                                    

"Anda tahu apa yang harus Anda lakukan, Pak Robert."

"Saya tidak akan mengkhianati sumpah jabatan saya sebagai ketua komisi pemberantasan korupsi!"

"Tidak akan ada yang mengetahui kasus ini jika Anda tidak membukanya ke media! Pak Karim itu adik kandung presiden! Beliau yang membentuk komisi ini!"

"Lalu, apa keadilan dapat melunak begitu saja jika pelakunya adalah kerabat penguasa?"

Agam menatap layar televisi saat sebuah berita terkini dari Galaxy News memperdengarkan sebuah rekaman. Napasnya mulai tidak teratur, ia berusaha melepas infus yang masih menancap di tangan kirinya. Agam mencoba turun dari tempat tidurnya, tapi tiba-tiba tubuhnya lunglai. Kakinya seperti jeli, tidak mampu menopang tubuh kekarnya.

Agam pun meremas kepalanya yang terasa berputar-putar. Melihat Agam meringkuk di lantai, Ratih sang mama segera menghampiri dengan wajah paniknya.

"Astaga, Agam, kamu kenapa, Nak? Kamu belum sehat benar. Mau apa, Nak?" tanya Ratih dengan suara bergetar.

Agam mengerang tertahan. Ia mencoba berdiri seraya menopang tubuh dengan berpegangan pada tangan sang ibu.

"Berita itu, Mami, Agam harus cari tahu kebenarannya," ucapnya lirih.

"Nak, Kamu belum boleh turun dari ranjang. Keadaan kamu masih belum pulih," ucap Ratih mencoba menenangkan Agam.

Agam menatap dengan saksama sepasang mata renta Ratih yang kini mulai basah karena air mata. Agam mengernyitkan dahinya, bingung karena sang ibu tiba-tiba saja menangis di hadapannya.

"Mam, ada apa?" Tanyanya lembut

Bibir Ratih bergetar. Wanita setengah baya itu pun membekap bibirnya seraya menggeleng beberapa kali.

"Daddy ... dia ditangkap polisi."

Mata Agam membulat. Kedua tangannya mengepal kuat, rahang kokohnya pun mengeras. Banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan pada sang ayah berkaitan dengan catatan kekasihnya, tapi tertunda karena Agam mengalami kecelakaan. Ia menahan nyeri di kepalanya seraya mencoba berdiri tegak.

"Agam harus ketemu daddy, Mam," ucap Agam tegas.

Ratih diam ditempat, menatap nyalang wajah putranya yang ia tahu menahan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya. Ratih mengangguk. Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan wanita baya itu selain menuruti keinginan Agam. Ia sendiri tidak percaya dengan hal yang menimpa sang suami. Sepengetahuannya, suaminya bekerja dengan penuh dedikasi dan tidak pernah melenceng dari sumpah jabatannya.

"Baik, Mami antar, ya?"

Dilain tempat, Gayatri seketika berdiri dari tempat duduknya usai menyelesaikan santap paginya. Ia tidak percaya jika Shinta mengambil rekaman itu dan menyebarluaskannya secara sepihak tanpa izin darinya.

Gayatri segera membereskan peralatan makannya. Ia cepat-cepat mandi dan hendak menyambangi kantor Shinta. Namun, langkahnya kembali terhenti saat berita menunjukkan penangkapan Khrisna dan Nugraha yang di bawa ke kantor Markas Pusat Kepolisian.

"Jenderal Khrisna dan Jenderal Nugraha statusnya masih sebagai saksi. Belum kami naikkan menjadi tersangka karena kami masih memeriksa semua variabelnya. Rekaman tersebut merupakan bukti, tapi belum benar-benar dapat dijadikan bukti jika kami belum dapat membuktikan kebenarannya."

Listyo dengan penuh keyakinan menjawab satu per satu pertanyaan dari para wartawan. Gayatri pun segera mematikan televisinya dan pergi ke Kantor Pusat Kepolisian itu dengan mengendarai taxi.

Sesampainya di sana, Gayatri melihat banyak sekali wartawan yang berjubel menunggu di sekitaran lobi kantor. Gayatri berjalan cepat. Tujuannya adalah mencari Shinta yang ia yakini ada di antara kerumunan para wartawan itu. Gayatri mengambil ponselnya, berniat menelepon Shinta, tapi panggilannya tak kunjung diterima. Gayatri menggeram frustrasi.

GAYATRIWhere stories live. Discover now