• Drama untuk Duri dan Solar

543 78 10
                                    

Sejak kecil, Solar selalu ingin memerankan seorang pangeran dalam lakon drama. Terlihat agung, megah, mewah, dan mencolok. Cocok sekali dengan kelakuan si bungsu ini. Di sisi lain, sang kembaran tidak banyak protes. Solar mau apa, Duri mengekori. Bagi Duri, semua menyenangkan kalau kembarannya bahagia. Sederhana saja dia.

Namun sayang, keinginan Solar belum pernah terwujud. Satu-satunya pentas drama yang ia mainkan adalah waktu TK, dan keberuntungannya dalam undian sangat buruk, sehingga terpaksa menerima peran sebagai pohon nangka dengan dialog tidak banyak. Ia mogok makan seminggu dan Duri ikutan mogok makan seminggu, bahkan setelah pentas usai dengan sangat lancar bagi keduanya.

Maka Taufan, si kakak dengan segudang kenalan dan posisi yang mendukung, berhasil membujuk kedua adiknya. Kalau bisa masuk ke sekolah kakak-kakaknya yang memang terkenal sulit dalam mempertahankan prestasi, Taufan akan dengan senang hati memperbolehkan mereka mendapatkan peran pentas drama yang mereka mau—bahkan meskipun seharusnya anak sekolah dasar belum boleh masuk klub drama. Tidak ada masalah. Ketua klub drama adalah Taufan yang serba bisa. Masalah seperti itu kecil sekali.

Dan di sinilah Solar dan Duri. Mata mereka sama berbinar dengan alasan yang berbeda. Solar yang senang karena akhirnya berhasil mendapat peran pangeran dan Duri yang senang karena Solar berhasil dapat peran impiannya.

Taufan puas. Teman-teman dan kakak kelas dalam klub dramanya juga puas.

Sudah sebulan ini mereka melakukan seleksi pada seluruh anggota klub dan non klub demi dua lakon utama pementasan drama perpisahan buat senior sekolah menengah atas. Tapi, semua tidak cocok di mata Taufan, si penulis naskah. Mulai dari para senior, teman angkatan, adik kelas, bahkan sampai Taufan nekat mencari aktor dari teman-teman adiknya juga malah makin tidak ada yang cocok di matanya.

Untungnya, dua adik bungsunya yang berbakat ini bisa cocok. Bisa menangis Taufan kalau ternyata adik yang ia gadang-gadang sebagai cadangan terakhir malah tidak cocok. Bakal hilang sudah kesempatannya untuk jadi ketua klub drama waktu sekolah menengah atas nanti.

“Peran kalian adalah dua pangeran yang memperebutkan posisi putra mahkota,” ujar Taufan memberi penjelasan. Dua adiknya mengangguk-angguk lucu. “Jangan takut kalau tidak bisa memerankannya, aku memang membuat naskahnya dengan membayangkan kalian. Jadi waktu adegan bertengkar, lakukan saja sepuas hati!”

Solar angkat tangan. Sepertinya dia punya sedikit pertanyaan, mengingat barusan dahinya berkerut tajam setelah membaca naskah di tangannya. “Biasanya, peran mencolok kayak pangeran cuma ada satu, kalau ada dua begini, nanti Solar tidak mencolok, dong?!”

Teman-teman klub drama Taufan terkikik geli. Lucu sekali adik Taufan yang paling bungsu. Haduh, kalau saja ini sedang di rumah, habis sudah si Solar kena jitak kakaknya yang periang ini.

“Ih, mencolok dong, adiknya Taufan,” salah satu teman Taufan menjawab pertanyaan si bungsu sambil mencubit pipinya gemas. Tembam sekali. “Kamu kan jadi pangeran kegelapan, kakak kembarmu jadi pangeran putra mahkota. Yang gelap-gelap dan jahat itu mencolok, adik.”

“Namaku Solar, kak,”

“Iya deh iya, Solar,”

“Lagian Duri lebih cocok jadi orang jahat,” Solar masih protes. Enak saja dia yang baik hati ini dikasih peran orang jahat. Duri tuh yang suka jahil padanya, pasti lebih cocok jadi orang jahat. “Tuh, lihat, muka Duri ngeselin banget. Cocok, kan?”

Teman-teman Taufan langsung menggeleng kompak tidak setuju dengan pendapat Solar, “eeeh tidak! Lebih cocok adik Solar yang jahat. Tuh tuh, idihh serem sekali melotot-melotot begitu.”

Solar merengek kesal. Duri buru-buru memeluknya. Adik Duri satu-satunya ini memang lebih gampang mengambek kalau dijahili orang-orang di luar keluarga mereka. Kalau sampai bad mood, bisa berabe Taufan, adik bungsunya itu pasti langsung tidak mau main pentas lagi sampai kapanpun.

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now