• Kecurigaan Sopan

455 62 0
                                    

Sopan curiga. Pasalnya, beberapa hari ini si Gentar tenang-tenang saja tidak membuat keributan. Biasanya lihat Supra lewat saja, kakinya usil menjegal sang kakak sampai jatuh tersungkur.

Aneh.

Kakak-kakak Sopan yang lain juga mengaku tidak tahu, wajar, mereka juga beberapa hari ini sering pulang telat. Maklum, anak-anak sekolah menengah atas  akan mengadakan festival, jadi kakaknya yang empat biji itu sibuk sekali mengurus ini dan itu, meninggalkan Sopan dan Gentar hanya berdua saja di rumah kalau sepulang sekolah.

Maka dari itu, harusnya Sopan yang paling tahu, kenapa kakaknya yang suka berlaku ajaib ini mendadak kalem bagai salah satu sepupunya, kak Gempa.

Sopan melirik lewat ekor mata pada atas kasur sang kakak. Benar juga, ia tidak pernah penasaran pada kertas-kertas mengkilap yang makin hari makin banyak saja terserak di atas ranjang seberangnya ini.

“Brosur motor?”

Dahi Sopan mengernyit. Dia dan Gentar masih duduk di sekolah menengah pertama, jelas tidak mungkin akan beli motor, uang siapa juga. Kakak-kakak mereka juga jelas akan melarang, lagi-lagi uang siapa juga.

Apa Gentar sedang dalam masa sewajarnya anak laki-laki? Itu loh, yang mendadak jadi maniak terhadap sesuatu. Teman-teman Sopan ada juga yang begitu. Tiba-tiba jadi fans kereta api, pesawat terbang, mobil mewah, sampai jadi fans idol group juga ada.

Tapi kalau motor, rasanya Sopan belum lihat. Kalaupun ada, motor yang digemari biasanya motor lawas atau motor mewah. Lah, ini—

“Motor Supra?”

Random sekali. Otak Sopan cukup kesusahan untuk mencari pola apa yang sekiranya cocok dengan hal yang digemari kakaknya akhir-akhir ini.

Apa mungkin dia suka mengumpulkan brosur? Tapi, kayaknya bukan. Yang terhampar di atas ranjang berantakan ini hanya brosur motor Supra. Apa Gentar sedang cari referensi bentuk motor? Soalnya, setahu Sopan, Gentar memang jago menggambar.

“Tidak ada tuh gambar motor,” gumam Sopan pelan setelah membalik beberapa lembar sketchbook yang tergeletak di atas meja belajar.

Lalu, apa kegemaran Gentar yang sebegitu hebatnya sampai berhasil membuat kakaknya yang satu itu jadi tenang secara ajaib?

“Assalamu’alai—”

“Mas Supra!”

Sopan buru-buru keluar kamar. Salah satu kakak tertuanya sudah pulang dan Gentar sudah menyapanya riang.

Gentar biasanya menyapa orang seriang itu kalau dia punya sesuatu di dalam kepalanya, dan Sopan tidak akan melewatkan momen ini. Siapa tahu akan menjawab pertanyaan yang selalu bermunculan di kepalanya beberapa hari terakhir.

“Minimal biar salamku selesai dulu, dong,” sungut Supra masih di ambang pintu.

Gentar hanya nyengir lebar, tidak merasa bersalah.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, Mas!”

Supra mendengus sebal. Ia menyodorkan pada Gentar bungkusan yang sedari tadi ia tenteng, “ini makan malam kita nanti.”

“Wuih, ayam kremes utuh! Tumben sekali? Biasanya beli yang potong?”

Sang kakak ambil tempat duduk di samping Gentar, “uang lomba mas-mas sulung barusan turun. Kata mereka, beli aja yang utuh, soalnya Sopan lagi pengin kepala ayam sejak kemarin.”

“Ooh,”

“Jadi, Gentar mau bicara apa?” Supra menyenderkan tubuh lelahnya pada sofa empuk yang ia duduki. Empuk. “Kayaknya, dari kemarin Gentar sibuk sekali sampai Sopan bingung gegara Gentar tiba-tiba tidak bikin masalah. Ia sampai tanya pada kami, barangkali ada yang tahu kau kenapa,”

Sopan yang sejak tadi menguping dari lantai atas merasa wajah dan telinganya memanas. Yakin sekali wajahnya saat ini merona hebat.

Ternyata, kakak-kakaknya sangat peduli pada dia, sampai menganggap serius pertanyaannya yang sekedar lewat saja. Ia sendiri menganggapnya sebagai angin lalu, karena tahu Gentar bakal kembali heboh lagi nanti, jadi tidak serius amat walaupun aslinya kepikiran.

Aduh, apa habis ini dia bikin puisi-puisi untuk para kakaknya? Atau panggang kue sebagai tanda terimakasih?

Ah, jangan. Terakhir kali dia mencoba bikin kue ala-ala kak Taufan, dapur mereka membara dan ia diomeli kakak-kakaknya seharian.

“—trus akhir-akhir ini aku belajar,” Gentar bercerita dengan penuh semangat, sampai tubuh Supra sesekali terlonjak karena sofanya bergerak heboh oleh Gentar, “kalau setiap nama itu ada artinya. Aku tuh jadi penasaran banget gitu.”

“Lalu?”

“Dari mas Frost, mas Glace, mas Sori, aku sendiri, sampai Sopan juga aku cari semua,” Gentar makin heboh. Mungkin sudah akan sampai puncak ceritanya. “Trus, Mas Supra juga!”

Supra menoleh cepat. Ia menegakkan tubuhnya. Matanya melirik cepat dari atas kepala Gentar lalu ke bawah lalu ke atas lagi ke bawah lagi, bagai alat scanner. Kewaspadaan yang familiar tampak jelas terlihat di matanya.

“Lihat apa yang aku dapat!” Gentar membentangkan secarik brosur mengkilap yang sama persis seperti di atas kasurnya.

Sopan menepuk jidatnya kencang.

“Pasti ayah dan ibu kasih nama Mas Supra karena motor ini kan!”

Buru-buru Sopan turun menghampiri dua saudaranya sambil menenteng kamus tebal yang sejak tadi ia dekap. Bentuk pertahanan terakhir. Tahu sekali dia, Gentar ada chance mengatakan hal ini pada Supra, yang akan berakhir pertikaian ribut keduanya.

“Bukaaaan!” Lembar yang sudah ditandai Sopan dibuka terburu. Nyawa Gentar sudah berada di telapak tangan Supra, masalahnya. “Lihat ini, Mas Gentar. Supra itu punya arti kurang lebih ‘di atas’ atau bisa juga diartikan jadi ‘melampaui’. Pasti yang dimaksud ayah dan ibu yang itu. Bukan yang motor, aduuh!”

Namun tetap tidak bisa dihindari. Supra memilih untuk melanjutkan lagi aktifitas menggoncang brutal tubuh Gentar. Sudah lelah sekali ia seharian di sekolah, adiknya satu ini berani-beraninya menyulut emosi begitu.

Sopan hanya bisa meringis pasrah. Mungkin besok lagi kalau Gentar mendadak tidak seperti biasanya, dia harus segera menanyakan sebabnya.

Minimal mengurangi peluang terjadinya pertikaian Gentar melawan salah satu kakak mereka—terutama Supra.

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now