• Adik dan Kakak

713 92 1
                                    

Sebelum dinobatkan menjadi kakak teladan dan adik yang bisa diandalkan, Gempa hanyalah anak-anak biasa yang suka berbuat resek. Selama ini seluruh perhatian dan kasih sayang memang tercurah padanya yang anak bungsu, meskipun sebenarnya ia, Halilintar, dan Taufan adalah anak kembar. Tapi, Gempa tidak mau tahu, dia tetap bungsunya. Dia akan tetap minta diperhatikan terus dan akan ngambek jika diabaikan.

Namun, nasibnya bagai dibalik ratusan derajat sejak Blaze lahir. Tambah parah lagi ketika Ice menyusul lahir. Dan puncak keparahannya ketika Duri dan Solar bergabung di keluarga mereka yang besar. Gempa menangis tantrum di pelukan sang ayah.

Dia merasa sangat tua sekarang. Padahal, kalau Gempa mau, Gempa tidak ingin jadi tua mendadak begini. Gempa masih ingin dimanja. Gempa masih ingin main rumah-rumahan sama Taufan dan Halilintar. Gempa masih ingin mengambil uang saku Halilintar lalu digunakan untuk membelikan Taufan jajan. Pokoknya, masih banyak wishlist Gempa yang belum ingin dicentang.

Bagi Gempa, punya adik—apalagi adiknya empat biji begini—itu menyusahkan sekali. Dia ditawari punya adik satu saja, dia tolak mentah-mentah. Lah, ini malah ada empat. Kayak anak kucing punya Fang, keluh Gempa kecil. Dan adik-adiknya ini makin menyusahkan lagi ketika mereka tumbuh besar lalu mulai berisik menggunakan mulut-mulut kecil mereka. Sekali lagi, persis seperti anak kucing punya Fang, kata Gempa.

Sayangnya, adik-adiknya seperti tidak paham atau malah tidak mau mengerti dengan sinyal-sinyal kebencian yang dilontarkan Gempa setulus hati. Sudah dipelototi, tetap menempel. Dilirik tajam, mereka tertawa. Makanan dirampas, mereka setuju saja. Dicubit Gempa pun mereka hanya tertawa lalu balik mencubit sang kakak—di menit selanjutnya dapat terdengar tangis Gempa yang menjadi-jadi. Dan masih banyak hal-hal buruk yang Gempa lakukan agar mereka enyah, tapi adik-adiknya justru makin lengket padanya. Rasanya, Gempa ingin menangis kencang.

Empat adiknya ini benar-benar lengket padanya. Bahkan, ia tidak pernah selengket itu pada Taufan dan Halilintar. Pun anak-anak ini, mereka bahkan seperti tidak ada keinginan untuk lengket pada dua kakak sulung mereka. Pokoknya, di mata empat adik ini, hanya Gempa yang paling bersinar, yang lain tidak menarik—iya, Halilintar dan Taufan tidak menarik.

"Kak Gempa hangat, empuk, dan tenang," ujar Ice tiba-tiba saat sedang tiduran di paha kiri Gempa yang sedang membaca, "kak Hali dan kak Taufan mana bisa begini?"

"Kamu pikir, Kakak penghangat ruangan?" Gempa mendengus kesal. Ingin sekali beranjak dari duduknya, tapi empat adiknya masing-masing bersandar nyaman padanya.

Ice tertawa pelan tidak jadi kembali tidur. Pelukannya mengerat pada boneka pausnya yang wangi karena baru saja dicuci Gempa. Ia melanjutkan testimoninya atas sang kakak ketiga, "Kak Gempa juga pintar dan baik. Suka berbagi susu buatan Kakak. Enak, loh. Solar dan Duri saja mengakui. Tuh, langsung tertidur."

Gempa melirik pada paha lainnya yang juga terasa agak kram. Hatinya sedikit menghangat secara aneh waktu melihat dua adik kembarnya tertidur pulas dengan botol dot kosong di tangan mereka. Kekenyangan menghabiskan susu buatan Gempa.

"Kami tuh, sayang banget sama Kak Gempa," sambung Ice. Matanya sayup-sayup ingin terpejam tapi dia usahakan mati-matian untuk tetap terbuka. Ingin dipuji karena sudah menemani Gempa belajar untuk ulangan besok pagi. "Soalnya, cuma Kak Gempa yang perhatian sama kami. Suka kasih kami jajan dan susu buatan Kak Gempa yang enak banget itu. Coba Kak Hali dan Kak Taufan. Mana mau mereka. Bicara sama kami saja tidak mau. Memangnya kami batu?"

Gempa tertegun. Ice selama ini dikenal sebagai adiknya yang lebih sering diam. Kalaupun bicara, dia banyak omong kalau sedang bersama Blaze. Sisanya dia lebih senang diam dan mengangguk saja mengiyakan semua orang. Dan saat ini si adik yang paling diam itu bicara banyak padanya, boleh tidak ya kalau Gempa ingin menangis sekarang?

"Eeeh, Kak Gempa jangan menangis," sudah terlambat untuk Ice, karena Gempa sekarang sesenggukan dalam diam, tidak ingin membangunkan adiknya yang lain. Ice buru-buru memeluk Gempa, karena hanya itu cara yang ia tahu untuk menghentikan orang yang menangis. Biasanya, Duri juga langsung berhenti menangis kalau ia peluk. "Aku cuma ingin cerita saja. Soalnya, Kak Gempa akhir-akhir ini seperti ingin sekali kami pergi. Blaze jadi bingung, aku juga. Aku minta maaf Kak kalau bikin Kakak sedih,"

Gempa menggeleng kuat-kuat. Ia berusaha mengembalikan pelukan Ice. Tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk Ice mengerti bahwa kakaknya sedang memeluknya juga.

"Harusnya Kakak yang minta maaf, Ice."

Dari Ice, Gempa menyadari bahwa ia senang jika usahanya diterima dan disadari. Adik-adiknya selama ini selalu senang dan bahagia tiap kali ia menyodorkan jajanan dan membuatkan susu. Tidak peduli kadang jajannya sudah remuk, sudah dia makan separuh, atau rasa susunya agak hambar, adik-adiknya tetap senang dan memuji Gempa. Padahal, di mata Gempa itu adalah hal biasa. Halilintar dan Taufan sering ia buatkan, tapi biasa saja tuh reaksinya.

Sepertinya, mulai saat itu Gempa jadi sedikit lebih mencintai perannya sebagai 'kakak' dari empat biji adiknya. Walaupun niatnya masih agak miring—ingin dipuji susu buatannya enak—tapi tidak masalah. Gempa ingin kali ini ia bisa membusungkan dada dan sombong pada kedua kakaknya.

"Kak, susu buatanku kata adik-adik enak. Punya kalian dipuji tidak?"

Kakak-kakaknya mendadak jadi pengrajin susu setiap malam dan pagi secara bergantian.

Rupa Tujuh SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang