• Beda Sayang

720 98 1
                                    

Halilintar tersenyum senang menyaksikan adu mulut dua adik bungsunya. Lumayan, pikir dia. Seharian suntuk dibombardir ulangan setiap mata pelajaran, lalu sampai rumah melihat tontonan seru begini, sangat menyegarkan hati si sulung.

Hari ini topik pertengkaran yang diusung Duri adalah 'siapa yang paling disayang kakak-kakak?', dan Duri dengan wajah percaya dirinya menjelaskan secara rinci dari A sampai Z semua kebaikan para kakak yang dilakukan untuk dia. Mulai dari Halilintar yang suka menggendongnya sebelum tidur, Taufan yang suka memanggang cookies untuknya, susu buatan Gempa yang istimewa, main bola dengan Blaze setiap sore, sampai nyemil jajan bareng Ice tiap kakak yang satu itu pulang sekolah. Pokoknya, semua disebutkan Duri dengan wajah sombong.

"Memang Solar pernah melakukan apa dengan kakak—AAAAAHH, SAKIT SOLAR!"

Nah, yang barusan itu sudah dimulai deh bagian adu fisiknya.

Halilintar tersenyum makin lebar. Ia menyeruput es tehnya dengan senang. Bakal panjang nih pertengkarannya. Lihat saja, keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Duri yang mencubit Solar. Solar menginjak kaki Duri. Duri menggigit lengan Solar. Solar mancakar Duri. Dan seterusnya, dan seterusnya. Intinya sekarang sudah makin asyik.

"Kak Hali, jangan senyum-senyum sendiri kayak orang gila gitu," Gempa tiba-tiba muncul bersama Taufan dan langsung memegang masing-masing satu adik mereka, "adiknya bertengkar jangan cuma dilihat kayak sabung ayam gitu dong!"

Waduh. Ini sih alamat Halilintar bakal kena omel Gempa juga. Bakal habis dia hari ini setelah si Gempa selesai memberikan ceramah pada dua bungsu itu. Halilintar meneguk ludah kasar. Mampus dia hari ini.

"Duri duluan yang mulai!"

"Tidaaak, Solar saja yang gampang emosi!"

"Enak saja. Tadi siapa yang duluan mengaku-ngaku paling disayang para kakak? Dasar tamak!"

Astaga, belajar kata-kata kasar dari mana si bungsu satu itu.

"Loh, Duri kan benar? Ya kan, Kak Gempa? Kakak semua sayang Duri, kan?"

"Iya, say—"

"Tuh kaaan, Solar dengar, kaan?"

Solar terdiam. Sepasang mata silver miliknya berkaca-kaca. Mulutnya seperti mendadak kaku. Rahang kecilnya terasa ngilu akibat ia berusaha sekuat tenaga menahan gejolak dalam dadanya. Dia menatap nanar ketiga kakak sulungnya yang juga tampak terkejut dengan perubahan atmosfer di antara mereka. Detik itu, Gempa menyadari bahwa ia barusan salah memilih kata-kata.

Halilintar buru-buru loncat dari duduknya dan berhasil menangkap si bungsu yang tiba-tiba saja sudah lepas dari pegangan Gempa. Solar langsung memberontak dan menangis kesal saat si sulung menggendongnya sebagai upaya menghentikan dia yang mau melarikan diri ke kamar. Ia bahkan beberapa kali menggunakan tangannya dan berusaha memukul si sulung agar diturunkan. Kakinya juga secara aktif menendang-nendang kesal Halilintar.

“Duri, ayo ikut Kakak,” Gempa menggandeng Duri dan membawanya pergi menjauh dari Solar yang menangis keras. Duri sendiri wajahnya sudah tidak lagi tampak bahagia. Ia betulan kesal dan marah sekarang. Wajah bulatnya tertekuk dan bibirnya mencebik sebal. Ia segera mengikuti Gempa—dan masih sempat memberikan pelototan terakhir pada Solar sebelum akhirnya terseret menyusul langkah Gempa.

Taufan ikut bingung menghadapi si bungsu yang masih saja menangis dalam gendongan Halilintar. Setidaknya, sekarang dia sudah tidak meronta-ronta brutal. Kakinya sudah tenang melingkari tubuh Halilintar dan tangannya sudah merangkul si sulung erat-erat.

“Solar,” panggil Taufan ketika tangis si bungsu mulai mereda sedikit, “kamu mendengarkan tidak, ya? Kak Taufan mau bicara, nih.”

Taufan tahu, adik bungsunya yang satu ini cerdas. Di usianya yang masih sangat belia ini, ia mampu dan mau sekali diajak berkomunikasi dengan baik. Bahkan Duri yang seumuran dengan dia saja masih belum bisa diajak bicara baik-baik.

“Kakak semua sayang Solar, loh,” ujar Taufan menyambung, dia tahu adiknya sekarang tengah menyimak perkataannya, “Duri juga kakak Solar, kan? Duri juga sayang sama Solar. Solar percaya tidak?”

Solar menggeleng cepat. Tanpa ragu sama sekali.

Halilintar tertawa kecil. Ia menurunkan Solar dari gendongannya dan membuatnya berhadapan langsung dengan Taufan yang memasang wajah seramah mungkin agar suasana sedikit lebih ringan.

“Sayangnya Kakak pada Solar itu tidak harus sama dengan yang disebutkan Duri,” si sulung menyeka air mata Solar yang sesekali masih saja jatuh. Si bungsu ini sepertinya benar-benar sedih. Hati Halilintar mencelos melihatnya. “Solar ingat tidak, kakak-kakak sering bantu Solar mengerjakan tugas menggambar dari guru?”

Solar mengangguk.

“Ingat juga tidak, Kak Blaze dan Kak Ice sering menyemangati Solar tiap diantar sekolah?”

Solar mengangguk lagi.

“Solar ingat juga kan, kalau Kakak dan Kak Taufan juga sering membantu Solar kalau susah bawa belanjaan?”

Solar kembali mengangguk.

“Itu namanya juga sayang, Solar,” Taufan menjawil pipi Solar gemas, “sayang itu beda-beda bentuknya, dan tidak harus sama. Tapi, Solar juga bisa minta yang sama dengan Duri kalau Solar memang mau. Kami kan bagaimanapun juga kakak Solar juga, ya kan? Tidak ada yang kami lebih sayang, atau tidak kami sayang. Kami sayang kalian. Kita kan saudara. Solar sayang kami juga, kan?”

Sekali lagi Solar mengangguk.

Halilintar mengusap pelan pipi si bungsu yang tampak lengket bekas jejak-jejak air mata, “jangan sedih lagi ya, Solar. Lagipula tadi kan Solar dan Duri awalnya saling bercanda. Kalau bercandanya sudah mulai tidak enak, langsung bilang saja ke Duri untuk berhenti. Duri pasti akan paham. Solar sering kan minta macam-macam ke Duri dan dikabulkan begitu saja sama Duri?”

“Oh iya, kalau Solar juga mau cookies Kakak bilang, dong,” Taufan menyodorkan toples cookies buatannya yang masih tampak penuh. Sepertinya, kemarin dia baru saja memanggang lagi, “Kakak selalu buatkan untuk Solar, tapi Solar selalu kabur tiap Kakak hampiri. Kakak kira, Solar tidak mau.”

“Habis ini saling minta maaf ya dengan Duri. Jangan lupa bilang pada Duri, kalau Duri boleh ikut kegiatan Solar, dan Solar juga boleh ikut kegiatan Duri. Dan kalau mau sesuatu, bilang sama Kakak, oke? Nah, sekarang cepat cari Duri sana!” Pungkas Halilintar final. Solar segera pergi dari hadapannya dan Taufan. Meninggalkan mereka sambil berteriak-teriak ribut memanggil Duri kemudian telah kembali tertawa bersama.

Halilintar menatap Taufan, yang dibalas anggukan mengerti oleh sang kembaran. Sudah jelas, habis ini baik Halilintar, Taufan, Gempa, dan bahkan Blaze serta Ice punya hal yang harus dibicarakan mengenai si kembar bungsu itu. Ada baiknya kesalahpahaman ini tidak terjadi lagi atau bahkan berlanjut hingga mereka besar nanti, karena hanya akan membuat para kakak ini lebih pusing lagi nantinya.

Si sulung menghela napas lelah. Berat sekali rasanya pundak anak tahun akhir sekolah dasar ini.

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now