• Gentar Gundah

286 55 4
                                    

Beberapa kali Supra memaki pelan. Buku paketnya yang sudah jadi lembaran-lembaran lepas sesekali jatuh berantakan dan membuatnya semakin mengomel kesal.

Salahkan Sori yang tadi menarik buku paket matematikanya ini sekuat tenaga. Anak itu kadang suka kehilangan kontrol kekuatannya, dan berakhir menjambak sang buku paket, bukannya menarik pelan-pelan dari rak buku.

Ambyar sudah buku paket serapuh kesabaran Supra hari ini.

"Gentar?" Si anak nomor tiga melongokkan kepalanya, mengintip kamar dua adiknya yang tampak kosong melompong.

Aneh. Barusan dia melihat Gentar berjalan masuk ke kamar saat ia sedang berseteru dengan Sori, tapi sekarang anak itu sudah menghilang.

Supra kembali melangkahkan kakinya, mengedarkan tubuhnya mencari adik keduanya.

Harusnya, si anak serba-bisa-membetulkan-segala-hal itu tentu bisa menangani bukunya yang tercerai-berai ini. Masalahnya, sekarang dimana adiknya yang paling berisik itu berada?

"Gentar!"

Oh, anak itu sedang duduk di ambang pintu belakang rumah, rupanya. Menikmati angin yang akhir-akhir ini sering berhembus sepoi-sepoi menyejukkan.

"Kenapa, Mas?" Tanya Gentar bingung. Biasanya, Supra mencarinya cuma untuk mengomel atau menemaninya berbelanja. Namun, melihat sang kakak kali ini membawa buku pelajarannya, Gentar jadi tidak bisa menebak apa mau Supra sekarang. "Kayaknya, lega banget lihat aku di sini,"

"Memang!" Si anak nomor tiga nyengir lebar, tampak sekali kalau ia lega bisa menemukan adiknya yang ini. Supra segera duduk di samping Gentar, ambil posisi yang sama enaknya biar bisa turut merasakan hembusan angin yang terasa sejuk. "Kamu sibuk tidak? Aku mau minta tolong. Buku paketku dihancurkan Sori sampai buyar jadi lembaran begini. Kamu bisa betulkan tidak, ya?"

Gentar tidak langsung menjawab. Ia mengamati lembaran-lembaran buku yang disodorkan Supra. Sepertinya sang kakak sudah mengurutkan halamannya sebelum berniat mencari keberadaan Gentar, soalnya ini sudah urut dan tinggal menyatukan.

"Bisa?"

"Bisa, sih," sebuah kotak perkakas yang diletakkan Gentar tak jauh dari tempat ia duduk ditariknya pelan. "Harusnya bisa."

Maka, Supra pun duduk manis bersabar menunggu buku paketnya berhasil 'dibetulkan' sang adik. Ia asyik memperhatikan dalam diam, bagaimana Gentar mulai melubangi bukunya dengan paku kecil dan menjahitnya sederhana dengan senar sisa bekas mereka dulu main layangan.

"Kamu kenapa diam saja?"

Tangan Gentar berhenti bekerja. Ia memalingkan wajahnya menatap sang kakak yang tengah menatapnya dengan ekspresi bercampur. Tak pasti apakah betul khawatir atau sekedar penasaran belaka.

"Biasanya, Gentar cerewet sekali sampai aku pusing," tubuh Supra bersandar santai pada dinding di belakangnya, masih tetap memperhatikan gerak-gerik Gentar dengan seksama, "tapi, hari ini diam sekali. Kenapa? Sariawan? Radang? Atau apa?"

"Nggaklah!"

"Nah, trus?"

Gentar terdiam. Matanya bergulir gelisah, sedangkan tangannya seperti kaku tidak bisa bergerak lagi melanjutkan kegiatannya menjahit buku sang kakak.

"Gentar?"

"Aku se-beda itu ya dari kalian semua?"

Dua pasang iris saling bertemu dan Supra langsung mengerti bahwa adiknya yang satu ini sedang gundah. Hal yang sangat jarang terjadi, tapi tidak masalah, Gentar yang adik Supra ini pasti bisa melewati badai yang berlalu-lalang ini.

"Siapa yang bilang padamu? Tumben tidak kau hajar?"

Si anak nomor lima menggeleng lesu. Benar-benar tidak sesuai dengan dia yang biasanya selalu bersemangat membara. "Lama-lama aku juga jadi kepikiran, Mas. Sekali dua kali aku hajar. Makin kemari aku jadi berpikir, oh mungkin mereka benar?"

Supra tergelak tiba-tiba, menjadikan Gentar mengernyit, tidak mengerti kenapa kakaknya mendadak tertawa kencang begitu.

"Memangnya mereka siapa? Mereka 'Gentar'? Tidak, kan?" Sang kakak menyeka ujung-ujung matanya yang sudah dikumpuli air mata, akibat tertawa terbahak-bahak barusan. "Kok kamu bisa percaya mereka yang bukan 'Gentar', ketimbang kamu yang betulan 'Gentar'?"

Gentar tercenung. Dalam hati ia mengakui kalau ucapan sinis Supra barusan benar, sama sekali tidak salah, tapi entah mengapa ia ingin menyangkal meskipun tidak tahu kenapa atau bagaimana caranya.

"Betul, kamu beda," telunjuk Supra menekan pelan lokasi dimana detak jantung Gentar dapat terasa paling kencang. Lalu setelahnya, ia menunjuk dirinya sendiri, "dan aku, juga beda."

"Eh?"

"Mas Frost dan mas Glace beda," Sori yang lewat karena sedang sibuk mencari pupuknya juga tak luput ditunjuk oleh Supra dengan santai, "Sori juga beda. Bahkan, Sopan juga beda. Kita semua beda."

Mulut Gentar tetap diam, membiarkan Supra menyelesaikan apa yang ingin ia ucapkan pada sang adik.

"Kalau sama, trus apa gunanya aku diciptakan tapi kamu juga diciptakan? Kan sama saja? Mending aku request biar tidak punya adik sekalian. Biar aku jadi bungsu bahagia,”

Gentar mengangguk ragu-ragu. Ingin membenarkan pernyataan Supra, tapi rasanya barusan ada yang ngawur deh dari ucapan sang kakak.

"Kami nggak butuh tiga atlet basket. Kami belum butuh pula tiga peserta olimpiade. Dan juga, kami sudah cukup dengan satu adik yang bertingkah sok dewasa. Sejauh ini, kami lebih butuh adik yang jago menggambar dan punya tangan ajaib yang bisa membetulkan semua perkakas rusak."

Kali ini bukan lagi senyum sinis atau senyum jahil yang dipasang Supra, ia memasang senyum terhangatnya demi memancing Gentar yang bibirnya sudah keriting menahan tangis.

Tangan sang kakak akhirnya terjulur hati-hati dan mengusap lembut buliran air mata yang jatuh berlomba di pipi si adik. Lucu. Adiknya yang ini lebih sering pasang muka sangar, ketawa keras, dan bertekad baja. Kalau melihat dia yang tiba-tiba sesenggukan begini, Supra mau bagaimanapun juga jadi teriris melihatnya.

"Omongan Mas saja biasanya kamu abaikan, kadang malah ngeyel ngotot juga. Giliran ada yang bicara jelek tentang kamu, malah kamu dengar," Supra terkekeh pelan. Tangannya terus menepuk lembut punggung Gentar yang berada dalam rengkuhannya. "Biarkan saja. Ngelunjak nanti mereka kalau kamu pedulikan."

Kepala Gentar mengangguk-angguk kecil dalam dekapan sang kakak, membuat Supra sontak menjauhkan diri dan melepaskan pelukannya paksa.

Geli, tahu. Rasanya, kayak ada kucing besar mendusel di dadanya. Masalahnya si kucing besar ini tidak tahu diri kalau bobotnya berat sekali dan berhasil bikin Supra agak terhuyung ke belakang karena tidak siap.

"Sudah baik kan, kamu?" Gentar kembali mengangguk sambil mengerjap polos yang dihadiahi Supra decihan pelan. "Nah, sana cepat selesaikan jahit bukuku. Lama sekali perbaikannya.”

Ah, memang dasar si anak nomor tiga ini kalau sudah kembali ke setelan awal jadi tidak bisa diajak manis-manis kayak kakak yang lain, deh.

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now