• Teh atau Kopi?

784 103 4
                                    

Solar mengerjapkan matanya sekali lagi. Kelopak matanya telah terasa berat, namun kantuk rasanya malas menghampiri dia.

Ia menghela napas pasrah.

Terbiasa tidur terjadwal dan tepat waktu, sekalinya ia melampaui jadwalnya, ia akan terjaga sampai entah jam berapa. Dan kali ini penyebabnya adalah Duri yang bercerita panjang lebar, membahas dari A sampai AA—lalu ZZ. Begitu puas berceloteh, sekarang ia tidur tenang di karpet lembut milik si bungsu. Ia bahkan sempat memonopoli bantal satu-satunya di kamar itu sebelum terlelap pulas.

Solar menarik napas dalam-dalam dan melangkahkan kakinya menuju dapur di lantai bawah. Segelas susu hangat atau secangkir teh hangat mungkin akan membantunya lebih mudah untuk tertidur.

Namun langkahnya terhenti setengah perjalanan kala ia melihat sosok familiar dalam temaram lampu ruang makan. Duduk dengan tenang. Sesekali menyesap sesuatu dalam cangkirnya.

"Anak kecil kenapa belum tidur jam segini?"

Oh, nadanya menusuk. Sudah jelas ini kakak sulungnya, Yang Mulia Halilintar.

Solar mengedikkan bahunya, tidak berniat untuk menjawab. Ia memilih untuk duduk di kursi sebelah kakaknya, bergabung di tengah kegelapan remang-remang ruang makan.

Halilintar mengangkat teko kecil di hadapannya, "teh atau kopi?"

Si bungsu bingung. Tumben sekali kakak sulungnya berinisiatif menawarkan bantuan terlebih dahulu. Biasanya, ia malah seenak jidat menyuruh ini dan itu pada si bungsu.

Solar tersenyum lembut meskipun ia tahu tidak akan terlihat, karena kakak sulungnya rabun, "teh saja, wahai Kakakku. Tumben sekali menawarkan—"

"Salah."

"Eh?"

Solar menoleh cepat menatap si sulung yang kini tengah memasang cengiran lebar aku-sangat-hebat-bisa-membodohimu-adikku.

"Ini kopi."

Detik itu juga Solar menghantam kepala sang kakak dengan sandal bulu-bulu bentuk kelinci miliknya.

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now