• Kisah Si Pohon Nangka

484 74 8
                                    

Duri bersorak senang. Di tangannya terdapat secarik kertas lecek hasil undian dengan tulisan ‘pohon bambu’. Meskipun tidak seperti harapannya, ‘pohon beringin’, Duri tetap senang. Akhirnya, hari dimana dia akan pakai wig warna hijau di kepala dan pompom hijau di tangan akan tiba. Bahkan jauh-jauh hari sebelum dicetuskan ide pementasan drama, dia sudah merengek pada sang ibu untuk dibelikan wig hijau dan pompom hijau.

Kata Duri, “untuk persiapan. Jadi nanti kalau Duri dapat peran pohon, Duri sudah punya wig dan pompomnya.”

Tidak tahu dari mana Duri dapat pemahaman kalau pemeran pohon akan pakai wig dan pompom hijau, pokoknya dia bersikeras akan pakai itu kalau jadi pohon.

Duri meloncat-loncat senang. Sesekali memekik bahagia.

Beberapakali dia juga memeluk si kembaran yang tampak terpaku tidak bereaksi apapun setelah mendapatkan kertas perannya. Duri jadi bingung. Apa yang salah dari kertas undian Solar? Harusnya dia dapat peran yang dia mau, kan?

Solar mendengus kasar. Ia menyodorkan secarik kertas undian miliknya yang tampak jauh lebih kucel, sepertinya ia remat-remat kesal.

Duri mengeja pelan-pelan. Tertulis pada kertas Solar ‘pohon nangka’. Loh, bukan pangeran? Solar kalau tidak salah, maunya jadi pangeran, kan? Kok bisa begini, ya?

“Solar tidak jadi pangeran, Duri,” si adik mengadu. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya digigit. Solar tampak berusaha sekuat tenaga tidak menangis di kelas saat itu juga.

“Loh, trus siapa yang jadi pangeran?”

“Aku, Duri! Aku!” Seorang teman menyahut gumaman Duri yang terlampau keras. Ia salah satu teman sekelas si kembar, anak laki-laki yang disukai semua orang karena memang tampan dan ramah. Lihat saja, ia tersenyum ramah dan lebar, sampai Duri tidak enak hati kalau tidak membalas senyumnya—padahal ingin menggantikan Solar memelototinya.

Solar makin mendengus sebal. Sudah mirip banteng, pikir Duri. Tentu saja tidak disuarakan. Kembarannya itu bisa menangis kencang kalau dengar opininya barusan.

Duri ambil inisiatif. Dengan Solar dalam gandengan, ia membawanya mendekati ibu guru di depan kelas. Mau mengajukan protes, niatnya.

“Ibu guru,” panggil Duri. Matanya melirik sebentar ke sekitar, memastikan suaranya tidak terlalu kencang seperti sebelumnya, “boleh tidak kalau peran pangeran untuk Solar? Solar tidak dapat peran pangeran. Dapat peran pohon nangka. Solar tidak suka nangka.”

Sopan sekali, tapi sang guru bisa tahu kalau Duri saat ini sedang mendesaknya secara halus. Tatapan muridnya yang biasa mengerjap polos ini tampak memandangnya lurus dan tegas. Kalau tidak dituruti, bisa saja Duri akan berubah sikap padanya setelah hari ini, tapi kalau dituruti, si kembar tidak akan paham kalau mereka pasti akan berhadapan dengan konsep situasi dimana mereka harus menerima apapun tugas mereka. Maka dengan berat hati, sang ibu guru menolak menyetujui permintaan sopan Duri.

Bersama hati Solar yang dongkol bukan main, pulanglah Solar juga Duri ke rumah dan menutup hari itu.

Duri tidak bisa senang-senang lagi seperti di kelas tadi. Kembarannya bersedih hati begitu, bagaimana mungkin Duri bisa bahagia? Duri tetap senang dengan perannya, tapi dia tidak lagi bisa merasakan kesenangan menunggu latihan pentasnya kalau begini. Ia jadi sebal juga, kenapa bukan Solar saja yang jadi pangeran. Solar kan cocok. Adiknya itu yang paling keren di rumah ini, didukung sedikit saja sama Duri, Solar pasti tidak akan terkalahkan kerennya.

“Duri,” yang dipanggil tersentak kaget. Lupa Duri sedari tadi ia melamun, sampai tidak sadar kalau ia sedang di ruang makan bersama orang tua dan kakak-kakaknya, “Solar kemana? Tidak makan?”

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now