• Sang Pendengar

558 82 4
                                    

Solar terbiasa mengadu pada Taufan. Bukan karena akrab, mulanya. Karena iseng dan malas melihat antrian sesi curhat pada Halilintar dan Gempa tak kunjung berakhir. Keburu ceritanya basi nanti, begitu alasan Solar kalau ditanya kenapa tidak cerita pada Halilintar dan Gempa. Namun akhirnya, ia menemukan kenyamanan pada sang kakak kedua, dimana ia tidak menemukan kehangatan tersebut dari kembaran Taufan lainnya.

Taufan akan mendengarkannya dengan seksama. Sesekali menimpali. Kadang juga mengompori. Cerita Solar jadi jauh lebih sedap dan berwarna karena reaksi-reaksi Taufan. Dan ujungnya adalah mereka berdua bergosip ria. Belum lagi kalau Taufan mulai mengeluarkan stok-stok jajan miliknya dari laci istimewanya. Wah, sudah pasti obrolan mereka tidak akan putus sebelum Halilintar menghardik mereka karena belum tidur padahal sudah larut.

Begitu pula dengan hari ini. Solar datang dengan wajah lesu. Tumben sekali. Biasanya si bungsu adalah yang paling memperhatikan penampilan lebih dari siapapun. Tapi, lihat sekarang. Bajunya berantakan, ada sedikit lebam di pipi, dan oh, kacamatanya tampak miring. Sepertinya akan ada berita besar yang disampaikan oleh Solar pada sang pendengar sejati.

Kalau saja Taufan bukan kakak yang baik, dia pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal melihat penampilan kacau si bungsu.

"Kak Blaze sialan," adalah kalimat pertama yang meluncur lancar dari mulut Solar. Ia melepas kacamatanya yang miring lalu merebahkan diri di kasur sang kakak, "kacamataku didudukinya sampai miring begitu! Besok aku sekolah bagaimana?"

"Besok libur Solar. Hari Minggu, kan?"

"Oh iya, benar," tapi Solar tidak peduli. Dia kesal bukan main. Kalau tidak ditahan Gempa dan Ice tadi, ia mau-mau saja menghajar balik sang kakak yang menolak mengaku salah itu. Sayangnya, ia langsung dipisah. Padahal sudah terlanjur bonyok begini. "Pokoknya, aku kesal sekali. Jadi miring loh kacamataku. Memangnya kak Blaze bisa menggantinya dalam waktu dekat? Pasti tidak bisa. Dia saja tiap hari beli jajan dengan kak Ice."

Taufan merentangkan tangannya, mengundang si bungsu untuk dia peluk. Sepertinya, hari ini ia sedang tidak minat dibercandai, maka Taufan akan mengabulkan. Dia akan menghibur sang bungsu sampai kesalnya mereda.

"Aku juga sedang tidak pegang uang. Kebutuhan sekolah sedang banyak akhir-akhir ini. Kalau begini aku terpaksa pakai kacamata miring bodoh ini sampai minimal bulan depan," keluh Solar dalam pelukan Taufan. Sesekali ia menghela napas panjang untuk meredam sesak karena ingin menangis saking kesalnya.

"Maaf Kakak tidak bisa bantu banyak, Solar. Kakak sendiri juga krisis keuangan. Tapi, kalau jajan, Kakak ada nih. Mau tidak?" Taufan menarik laci saktinya dan menunjukkan berbagai macam jajanan tersedia dengan rapi di sana. Tua muda siapapun yang melihat isi laci sakti tersebut pasti jadi terpancing ingin makan jajan.

Solar berbinar senang. Air mata yang tadi sudah menggenang langsung disekanya cepat. Ia dengan cepat menghampiri si laci sakti dan mulai menimbang, jajan mana yang enaknya dimakan terlebih dahulu. Bahkan ia juga memikirkan jajan mana yang kira-kira bisa dibawanya ke kamar.

"Terimakasih, Kak Taufan! Memang Kak Taufan yang terbaik!"

Taufan tersenyum lebar. Bangga sekali dirinya. Ketika saudaranya yang lain butuh usaha besar untuk dekat dengan si bungsu, Taufan mampu dekat dengan mudahnya. Cuma modal mendengarkan keluh kesah Solar dan sedikit—banyak sih—merelakan stok jajannya. Ia bahkan tidak perlu melewati pertengkaran-pertengkaran bodoh seperti Halilintar dan Blaze. Tidak perlu juga menawarkan berbagai macam bantuan seperti Gempa dan Ice.

Ia cukup duduk dan mendengarkan, Solar dengan senang hati menempel padanya serta percaya padanya sepenuhnya. Dan Taufan akan dengan senang hati menjalani perannya ini seumur hidup, demi si bungsu.

Rupa Tujuh SemestaWhere stories live. Discover now