32: Final Destination

10 0 0
                                    

Pantai, Pelosok Cosmin 20XX

"Jika kau mengatakan iya, maka selama ini kau yang membuat rute kejam ini," singgung Ruby, dia masih sangat dekat dengan Nyonya. Hingga akhirnya samar-samar melihat rambut hitam Nyonya yang terurai, kontras dengan jubahnya yang serba putih. Mendengar hal tersebut Nyonya hanya tertawa lepas, lantas mengacak-acak rambut Ruby. "Anak pintar."

"Jadi jawabannya iya?" Olive menyela, kini gadis kecil itu menggeser duduknya di samping Nyonya yang terdiam, melirik ke arah samping dan menatap Olive. "Aku sendiri tidak bisa menjelaskannya." Itu adalah jawaban yang dikatakan oleh Nyonya membuat mereka semua terduduk, membisu di tempat. Lantas apa tujuannya mengatakan dia tahu pasal lubang hitam?

Kali ini Nyonya menunjuk pintu ke luar, membuat semua atensi mengarah pada pintu ruangan. "Terakhir, ada satu pertanyaan yan harus kutanyakan pada kalian sebelum kalian melanjutkan perjalanan bersama lubang hitam." Nyonya mendesah panjang lantas memejamkan mata, kali ini bicara lebih jelas, tidak penuh teka-teki atau tebak-tebakan lagi. "Pilihlah. Menjadi pengelana? Atau hidup di duniamu ini?"

...

Setelah mereka mengabaikan pertanyaan tersebut, Nyonya menjentikkan jari membuat lubang hitam kembali hadir dan menelan mereka. Selanjutnya mereka kembali muncul di lorong pun koridor membuat mereka terus melangkah mengelilingi mansion, seolah tempat ini tak berujung. "Ini gila." Olive memegangi lutut, tersengal-sengal kelelahan.

Bukan tanpa pasal Olive berkata demikian, sudah terhitung putaran ke belasan kali mereka melewati ruangan yang sama. Yakni ruangan yang memiliki pintu terbuka dengan karpet merah yang menutupi lantai, tapi tak ada wanita aneh itu lagi. Mereka telah menaiki anak tangga, bahkan melewati lorong yang memiliki jendela yang sama, seolah mereka berputar-putar di tempat yang sama. Padahal mereka sudah menelusuri jalan berbeda walau pada akhirnya selalu kembali ke tempat awal.

"Ini aneh. Bagaimana kita bisa keluar dari tempat ini?" Kali ini mereka ditemukan lagi oleh persimpang dengan tiga jalur yang berbeda. Ada anak tangga, belok ke kiri dan belok ke kanan. Mereka sebelumnya sudah melewati ketiganya walau pada akhirnya sama saja. Bing mengacungkan tangan, sedari tadi bocah itu bepikir lama. "Mari kita berjalan kembali ke belakang menyusuri jalan."

"Apa maksudmu?"

"Sedari tadi kita berputar-putar saja, jika kita bisa menemukan jalan tengah dengan kembali, maka kita bisa ke rute awal dan behasil melewati ujian ini. Kita hanya harus kembali." Itu hanyalah sebuah teori, jika kita sampai di titik awal maka kemungkinan besar mereka bisa bebas. Walau hanya teori tak ada salahnya mencoba. 

Diana dan Claude berjalan paling depan, menuntun anak-anak kembali ke jalan sebelumnya. "Ini melelahkan." Andrew bergumam, dia terduduk di lantai bersandar pada dindng, memang pada awalnya dia tidak merasakan sakit setelah masuk dalam lingkaran persembahan dan wanita itu meneteskan cairan ungu. Tapi, tampaknya itu tidak berlangsung lama, hanya setetes dan tidak bertahan selama tiga jam lebih.

Melihat Andrew yang kelelahan Diana berinisiatif ikut berjongkok, membuat mereka beristirahat dari berputar-putar. Pantas saja mansion hitam tak dihuni oleh penduduk desa, ini tempat aneh yang tidak terjamah, banyak hal yang tidak bisa diprediksi contohnya membuat mereka berputar-putar di tempat yang sama. Setelah lima belas menit beristirahat, akhirnya mereka kembali beranjak dari duduk dan melangkah ke arah sebaliknya.

"Tempat ini memusingkan," ujar Ruby melipat kedua tangan di depan dada, matanya menilik sekitar dengan cermat. Terdapat angin yang berembus, menerbangkan rambut pendeknya, itu berasal dari jendela yang terbuka, benda yang mereka lewati belasan kali. Di sana pun terdapat lukisan-lukisan indah, hanya saja semuanya bergambar sama, yakni wanita dengan jubah putih tanpa memperlihatka wajah. 

"Kata-kata Bing benar!" Taher mengepalkan tangan, meninju udara kegirangan. Yang lain menghembuskan napas. "Setelah kembali ke jalan sebelumnya, akhirnya kita sampai di titik awal, aula tempat persembahan." Itu benar, kini mereka sampai di aula, di sana terdapat dua lorong yang membuat mereka harus memilih mengikuti jalan yang mana. 

"Ma- mari ke sisi kanan." Sepertinya efek sihir itu sudah habis bagi Bing. Anak itu kembali berbicara gagap, tapi itu tidak mengganggu mereka untuk menelusuri mansion hitam luas milik Nyonya aneh. Segera suara derap kaki terdengar, mereka menuju sisi kanan yang cukup gelap, tampaknya matahari mulai terbenam menyisakan mansion gelap dengan remang-remang cahaya dari lampu sorot kuning yang menerangi koridor.

"Ini buntu."

Mereka mendesah panjang, tapi meneliti sekeliling Olive berusaha mencopot salah satu hiasan dinding berupa lukisan besar. "Kau butuh bantuan?" Andrew menaikkan sebelah alis, kali ini dia melepas lukisan itu dibantu oleh Claude yang sedari tadi membisu tak bersuara. Ketika lukisan dilepas, kini di baliknya terdapat tombol berwarna merah, melompat kecil Olive berhasil menekan tombol dan membuat dinding di depan mereka bergeser dan mulai terbuka.

Di dalamnya menghadirkan sebuah lift tua dengan pintu besi geser besi, luasnya cukup menampung enam orang. "Biar saya yang menggendong Olive," kata Claude kini mereka masuk ke dalam lift tua. Pintu lift kuno itu seperti teralis, sehingga bisa melihat proses ketika naik dan turun. Penumpang lift juga bisa melihat mesin di atasnya.

Pada bagian kanan dalam lift terdapat tuas yang berfungsi sebagai pengontrol naik atau turun, sedangkan di sisinya terdapat lubang kunci. Bagaimana mungkin ada lift di dalam mansion? Masih terheran-heran mereka dikejutkan denga lift yang tidak menyala, seolah tidak berfungsi. "Aku akan mencari kuncinya," cetus Ruby keluar dari lift. "Kau yakin bisa sendiri?" 

"Aku yakin." Kini mereka menunggu di tempat, sedangkan Ruby melaju pergi menuju aula utama. Dan pergi ke sisi kiri yang belum mereka telusuri. Ada hal yang tidak mereka ketahui, sedang Ruby mengetahuinya. Dia bergegas dengan napas tersengal-sengal masuk ke dalam lorong dan menemukan Nyonya di sana. "Kau ... sebenarnya apa yang kau inginkan?"

Nyonya yang mendapat sambutan itu terkekeh. "Kau memang lebih pintar dibanding anak-anak yang lain." Ruby mendelik, napasnya naik turun menatap lurus ke depan. "Aku tahu kalau kami anak-anak dalam ramalan itu bukan? Kau sudah memprediksinya. Tapi, yang tidak kumengerti kenapa kau mempermainkan kami?" 

"Dan cairan ungu itu ...."

"Kau benar. Aku sengaja mempermainkan kalian." Nyonya kini membuka jubah, menghadirkan wajah cantik tetapi pucat didalamnya. Di tangannya dia mengeluarkan belati kecil, alat yang digunakan oleh Tetua untuk menyayat lengan anak-anak. Ruby mematung, matanya membola sedang napasnya tertahan. "Apa yang kau ingin kulakukan?"

Tatapan Nyonya kosong, tidak ada kehidupan di sana. Sembari terus mengulurkan belati dia berucap, "Bunuh aku." Ruby refleks menggeleng, mundur beberapa langkah. Kali ini dia tertahan untuk tidak menjauh menemukan lubang hitam di belakangnya, seolah menghalangi dia untuk bergerak lebih jauh. "Bunuh aku," katanya lagi kali ini memberikan belati itu ke tangan Ruby. 

"Ini pemberhentian terakhir kalian. Karena itu, kunci itu ada di dalam perutku. Karenanya bunuh aku maka kau dan temanmu bisa bebas dari semua penderitaan."

Ruby sekali lagi menggeleng, tak dapat bergerak. Dia akhirnya memilih mundur masuk ke dalam lubang hitam dan hanya kembali terus menerus di hadapan Nyonya. Kali ini bukan tawaran, tapi perintah. Matanya yang hampa terus memohon agar memberikannya kematian, bulu kuduk Ruby berdiri karenanya. "Bunuh aku, Ruby!"

Bersambung ....

13 Januari 2024

The Hole [Proses Terbit]Where stories live. Discover now