11: Violence

20 1 0
                                    

Apartemen susun, Manch 20XX

Apa itu masa anak-anak? Bermain, belajar dan dicintai. Bukankah selalu begitu? Akan tetapi kenapa Ruby amat sangat sulit mendapatkannya? Kenapa dirinya harus terlahir begini?

Setiap pagi di ruangan sempit yang pengap, gadis kecil itu terbangun dari tidur. Hal pertama yang menyambutnya ialah langit-langit lembap jamuran, cat putih yang mengelupas, udara sesak yang hanya memiliki ventilasi udara dengan jendela kecil.

"Cih!"

Tubuh Ruby tersungkur ke depan, dia bisa melihat pria jangkung mengerutkan dahi menendang tubuhnya yang menghalangi jalan. Tentu saja, itu karena dia tidur di ruang tengah, dengan tv kecil sebagai hiburan. Tidak puas hanya menendang, Ruby tersentak ketika kepalanya ditempeleng, lagi-lagi dia hanya bisa menghela napas.

"Masakkan aku makanan! Ibumu itu seperti babi tertidur pulas."

Umpatan serta perintah itu membuat pekak, tapi, apa daya. Ruby tak dapat melawan, ekspresi datarnya menunjukkan bahwa ini ialah hal biasa. Dia bangkit, menyalakan kompor dan memasak telur dadar. Membuka rice cooker, di sana hanya terdapat sedikit nasi sisa semalam. "Cepat! Aku lapar!"

Ruby mengangguk cepat, tangan mungilnya bergerak mengambil nasi dan mengangkat telur yang sudah matang. Tergesa-gesa langkahnya menuju sang ayah yang merokok, asapnya memenuhi apartemen kecil. "Tidak becus!" Ruby menelan ludah, melihat ayahnya yang makan, mulutnya mulai berliur, tapi dia segera bangkit memasak nasi yang baru. "Ada apa?"

Ruby menggeleng, mendelik kesal ayah melanjutkan makan.

Ayahnya bekerja di pabrik. Dia pria kurus kering, tidak tampan, tidak punya uang. Ruby tak tahu mengapa ibunya menikah dengan ayah. Bahkan dia orang yang keras dan tempramen. Sedikit saja salah kata, selanjutnya yang terjadi pukulan demi pukulan didapatkan. Bahkan pria itu tega memukuli putri juga istrinya sendiri. Seorang figur rusak.

"Apa kau akan merokok terus? Kau tahu kita miskin, dan semuanya kau habiskan dengan rokok saja!"

Ruby lagi-lagi menarik napas panjang. Ibunya terbangun, di pagi hari ibunya sering mengomel. Mengatakan itu salah, ini salah, bertengkar dengan ayah. "Kau juga cari uang lebih banyak! Kau kan cantik, jual diri saja kita akan dapat untung," balas ayahnya.

"Kau bilang aku jalang?! Lantas kau apa? Gigolo sialan?"

Ruby merapatkan matanya, dia mengepalkan tangan. Dari jendela kecil di dapur dia bisa mendengar tawa anak sebayanya. Menggendong ransel pergi sekolah, diam-diam dirinya mengumpat, mau bagaimanapun dia hanya gadis 12 tahun. Ruby iri, dia ingin menjadi anak-anak itu.

"Bahkan aku tak tahu anak yang kau kandung itu anakku atau bukan."

"Ini anakmu persetan!"

Plak!

Ruby tersadar dari lamunan, ketika berbalik dia bisa melihat ibunya yang tengah mengandung ditampar. Sang ayah hanya memandang hina, memakai sepatu keluar dari rumah. "Karenamu aku tak bisa melanjutkan sekolah! Karenamu aku malu bertemu teman-teman!"

Ibunya adalah wanita cantik, kata ayahnya yang sering mabuk, dulu ibu adalah primadona sekolah, incaran semua pria. Ibu terlahir sebagai gadis kaya, hanya saja semenjak kehamilannya dengan ayah, ibu diusir dari keluarga. Setiap malam dia bisa mendengar tangisan ibu, menyesali pilihan bersama ayah.

Orang tua Ruby mengatakan itu kecelakaan. Hamil di luar nikah, nekat bermodalkan cinta, kemudian menikah di usia sekolah. Kakek dan nenek Ruby harus membayar 10.000 ceta pada pemerintah atas denda itu. Karenanya kelahiran Ruby tidak disambut dengan tangan terbuka.

"Bu ... Ruby minta maaf. Ruby sungguh minta maaf ...."

"Kau anak pembawa sial!"

Mata Ruby membelalak, pukulan kembali mendera tubuhnya, nyeri, sakit. Dengan rotan kayu, sembari menangis ibu akan melambungkan kayu mengenai tubuhnya. Ruby hanya menunduk, diam, menggigit bibir bawah. "Ibu belum makan ... Ruby sudah mencari uang. Ini untuk makanan Ibu."

Ruby itu anak yang lembut, sejujurnya. Dia tak peduli seberapa banyak pukulan yang diderita tubuh. Yang dia tahu satu bahwa dia tak memiliki siapapun kecuali sang ibu. Pukulan ibu tak ada apa-apanya daripada ayah. Karena selanjutnya, seperti yang telah lalu ibu sembari sesenggukan akan memeluknya, kembali menyesal. "Maafkan Ibu, Ruby ... Maafkan Ibu ... semua ini salah Ibu."

Ruby hanya terdiam, ekspresinya kosong, mengangguk. Menarik pakaiannya menutupi luka, dia sudah terbiasa, tidak apa-apa. Setelah menjual bubble wrap dan menukarnya menjadi 50-80 ceta. Ruby akan membeli bahan makanan, membawanya untuk dia dan sang ibu. Kehidupan di kota mahal, terlebih di Manch.

Ruby sudah terbiasa.

Ruby sudah sangat terbiasa.

"Ibu akan pergi ke pabrik. Kau jaga rumah."

"Baik, Ibu."

Bohong. Dia takkan tinggal, dia akan pergi dari neraka ini. Mencuri barang-barang bagus untuk makannya. Di rumah dia tak pernah bisa makan, ketika kedua orang tuanya pergi bekerja di pabrik, Ruby akan keluar dari rumah. Melewati lorong bau dan sempit yang basah, lembap. Pandangan Ruby menatap sekeliling menemukan pemukiman orang-oang miskin.

Dia miskin. Orang tuanya miskin. Keluarganya miskin.

"Nak Ruby."

Ruby menoleh, di sana ada kakek tua yang tinggal di lantai bawah apartemen. Senyuman pria tua itu teduh, mengusap kepalanya, hanya satu yang Ruby tunggu, makanan. Dia pura-pura tersenyum manis, menunggu sebungkus roti diberikan. Memakannya dengan lahap, tak pernah menceritakan pada orang tua, mereka pasti akan mengambilnya.

"Kau masih terlalu kecil sayang. Seharusnya kau tidak merasakan hal seperti ini."

Ruby tak mengerti, bukankah semua orang hidup begini? Tapi, dia tak bicara hanya mendengarkan. Mungkin di luar sana, keluarga lain seperti di film-film, atau taman di mana dia mengajak anjing peliharaan berkeliling agar mendapatkan uang. Di mana dia melihat keluarga orang lain bahagia. Itu membuat Ruby terlampau iri.

"Aku harap kau menemukan jalanmu sayang."

Ruby mengangguk, anak itu tak banyak bicara. Setelahnya dia akan pergi ke taman, menawarkan jasa mengajak hewan peliharaan berkeliling, menjual koran, atau bahkan bunga-bunga. Ruby bekerja apa pun, hanya untuk uang, makanan, memperkecil perdebatan orang tua. Setidaknya selalu ada makanan di rumah.

Namun, itu tak cukup. Sehari Ruby bahkan sulit mengumpulkan 50 ceta. Karena itu pilihan selanjutnya mencuri. Yakni mencuri bubble wrap di pabrik tua dan menjualnya dengan harga murah. Uang yang dikumpulkan akan dibelikan beras, sayur, telur. Walau memang sedikit, tapi, karenanya dia akan semakin sedikit dipukul.

Ini sudah menjadi rutinitas harian, terkadang di masa-masa terburuk Ruby berharap bisa pergi, dia tak mau menderita selamanya. Mungkin Tuhan---entah ada atau tidak---mendengar keinginan Ruby. Gadis itu sadar ketika hari itu dia mencuri, tertangkap oleh Nenek Tua menyeramkan, dia sedikit berharap bisa masuk ke lapas anak. Setidaknya dia memiliki alasan meninggalkan keluarga.

Hanya saja lubang hitam itu hadir, membawanya, membiarkan dia memiliki harapan lain.

Bersambung ....

9 September 2023

The Hole [Proses Terbit]Where stories live. Discover now