15: Big Brother

19 1 0
                                    

Pantai, Isolde 20XX

Malam datang, angin berembus menerbangkan pasir di sekitar pantai. Ombak menghantam pesisir, derasnya terdengar nyaring dengan udara dingin yang menusuk kulit. Dari rumah panggung sederhana, remaja berkulit coklat menatap keluar jendela. Tubuhnya menggigil, walau begitu pandangannya tak lepas dari laut lepas.

"Kak Taher."

"Ya?"

Dari salah satu pintu adiknya keluar, Taher tersenyum menggendong gadis kecil itu dan membuat mereka berdua menatap keluar jendela. Adik kecilnya mengerjapkan mata kecil, membuat sang kakak mencubit hidungnya gemas. "Kapan Ayah dan Ibu pulang?"

"Aku tak tahu, tapi kuharap secepatnya."

Keduanya menatap keluar jendela, akan tetapi malam semakin larut, orang tua mereka belum juga menampakan batang hidungnya. Taher masih di sana menunggu sementara adiknya di kamar, dia menyuruhnya untuk beristirahat. Pemuda itu mondar-mandir, melirik jendela, tidak beranjak pergi terus menunggu kehadiran orang tuanya, firasat Taher buruk sedari malam.

Namun, keesokannya orang tua Taher belum juga datang. Taher berinisiatif mulai mendatangi tetangga mereka yang akan berlayar ke lautan. Keluarga mereka nelayan, itu adanya hal wajar karena mereka terlahir di pesisir pantai. Isolde, salah satu daratan pantai terbesar di Negeri Philia. "Permisi," panggilnya mengetuk pintu.

Salah seorang ibu mendekat, wanita berumur puluhan keluar dari rumah, melirik siapa yang mengetuk pintu. Seingatnya orang tuanya pergi bersama salah satu tetangga mereka ke lautan untuk menangkap ikan. Mungkin ini bisa menjadi jawaban atas pertanyaannya ke mana orang tuanya pergi.

"Taher? Ada apa?" Taher tersenyum tipis, satu tangannya menggaruk kepala sembari pupil matanya bergerak gelisah. Dia mulai bicara bersitatap satu sama lain. "Anu ... saya mau bertanya soal Ibu dan Ayah. Bu Rima melihat mereka kah kemarin? Dari semalam orang tua Taher belum pulang."

"Hah? Belum?"

"Iya."

Taher menengadah, wajah Bu Rima berkerut, merengut heran. Itu semakin membuat Taher gelisah, sebenarnya ke mana mereka pergi? Tak dipungkiri kegelisahannya semakin nampak jelas. Dengan tidak sabaran tanpa basa-basi lagi dia mendesak mencari jawaban. "Bu? Ibu lihat mereka 'kan? Ayah Taher bilang akan menangkap ikan bersama Bu Rima."

Bu Rima mendesah panjang, menggeleng. Tanda dia tidak tahu apa pun. Taher terpaku, firasat buruknya semakin mendominasi. "Itu benar, orang tuamu akan pergi bersama ibu ke lepas pantai. Tapi, kemarin hingga siang Ibu sudah menunggu. Tidak ada tanda-tanda kedatangan mereka, jadi Ibu pikir mereka sudah menangkap ikan sendiri, pergi lebih dulu ke laut."

Pernyataan itu membuat Taher membeku di tempat. Kini dia benar-benar cemas, khawatir. Belum sempat berkata-kata, adik kecilnya yang berumur lima tahun berlari, tergesa-gesa menghampiri Taher, napasnya terengah-engah menunduk memegangi lutut. "Kak ... Kak. I- ibu dan ayah sudah ketemu!"

"Apa?!"

Tergesa-gesa Taher menggendong adiknya meleos dari hadapan Bu Rima. Ketemu?! Taher berharap demikian, iya, ini kabar baik. Keringat mengucur sedang napasnya tak beraturan, kakinya berlari kencang di dataran pasir. Adiknya menunjuk jalan, di salah satu perahu kebanggaan keluarganya terdapat banyak orang berkumpul. "Permisi!"

Taher merangsek maju masuk ke dalam kerumunan. Matanya membola, tubuhnya mulai gemetar ketika melihat perahu itu kosong. Tidak ada siapapun. Apa maksudnya ini?
"Apa, apa yang sebenarnya terjadi?!" Tidak, tidak, tidak! Tidak mungkin. Taher terduduk di depan perahu, tatapannya kosong.

Melihat hal itu salah satu tetua kampung mendekat, menepuk bahu Taher. Jelas membuat pemuda itu segera berbalik menatap nanar. "Ke mana orang tua saya? Kenapa hanya perahunya yang kembali?! Tetua! Jawab saya!"

"Tenang, Taher! Kau tenangkan diri."

"Tidak bisa!"

Taher melotot, nyalang suaranya mengudara. Tangannya semakin erat memeluk sang adik. Tanpa kata tatapannya menusuk, membuat semua orang membisu. Atmosfer ruangan mendingin perlahan Taher kembali berseru, "Jawab saya Tetua!"

Tetua melirik ke arah pemuda tersebut, anak muda yang baru berumur 14 tahun menatap nyalang. Taher terguncang , bukan maksud dia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Tapi, Taher tidak ingin mengakuinya. Mengetahui hal tersebut Tetua menghela napas panjang. Taher semakin mengeratkan pelukannya erat. Bersiap dengan jawaban yang keluar dari mulut Tetua. "Perahu ini hanyut di tengah laut. Kami tidak menemukan mereka Taher. Orang-orang yang menemukan perahu orang tuamu hanya bisa menemukan ini."

"Apa maksudnya?" Taher menggigit bibir, menurunkan sang adik yang mulai menangis. Dia perlahan bangkit, berjalan ke arah tetua menggenggam tangan pria tua itu erat, seluruh indranya terguncang. Tetua kembali melirik Taher dan adiknya bergantian menggelengkan kepala sedih. "Orang tuamu menghilang Taher."

Taher terpaku di tempat, membeku tidak bergerak. Kepalanya menggeleng keras-keras. Tubuhnya semakin tremor berada di dalam kerumunan, pikirannya melambung jauh, memikirkan kemungkinan terburuk. Tidak bisa. Tidak bisa begini. "Saya tidak percaya."

"Ini buktinya Taher." Tetua menunjuk kapal yang kosong. Membuktikan semua ucapannya bukanlah omong kosong. Adik Taher sudah menangis histeris, beberapa orang memeluk gadis kecil itu. Taher mengepalkan tangan erat-erat, air matanya turun. "Kami turut berduka," ujar Tetua menepuk kedua bahu Taher.

Perlahan menengadahkan kepala, Taher menarik napas, dia menghapus air mata di kedua sisi matanya. Matahari terik membakar mereka semua, Taher menyorot semua orang satu persatu tanpa terkecuali. Taher tidak bisa menerimanya. "Saya ... saya yakin orang tua saya masih hidup."

"Taher-"

"Tidak peduli apa yang Anda katakan orang tua saya benar-benar masih hidup."

Taher bersikeras. Dia tidak mau kehilangan orang tuanya secepat ini, tidak. Menghapus air matanya yang kembali turun, pemuda itu menggendong sang adik keluar dari kerumunan. Orang-orang berbisik tapi dia tak peduli lagi. Pada akhirnya dia akan percaya bahwa orang tuanya baik-baik saja.

Bahwa orang tuanya akan kembali.

Taher berusaha amat keras. Sangat keras malah sembari menunggu orang tuanya kembali. Dia mulai mengambil alih pekerjaan orang tua mereka, menjadi nelayan, tidak lagi sekolah, mengurus adiknya menjadi kakak pertama, mengambil beban sebagai punggung keluarga.

Pada akhirnya dia adalah anak keras kepala yang mengambil beban sebagai ketua keluarga. Dalam dirinya dia selalu berdoa pada Tuhan. Dia ingin orang tuanya kembali, tidak, walau dari luar terlihat tegar dia hanyalah anak kecil yang masih membutuhkan perlindungan. Dia bukan kakak yang dapat diandalkan, dia hanya anak kecil menyedihkan yang berusaha bertahan.

Hingga hari itu anak-anak aneh memintanya membantu untuk mencari lubang hitam. Sudah sebulan semenjak orang tuanya menghilang. Dia pikir semua hal tentang lubang itu omong kosong akan tetapi dia salah. Salah besar. Ketika perahunya limbung hendak terjatuh, di dasar laut terdapat lubang hitam menelan mereka yang tenggelam, tidak bisa bernapas.

Entah bagaimana hal ajaib itu terjadi.

Dan mungkin di tengah kesadarannya yang menghilang dia berharap hal lebih, terkait orang tuanya yang bisa kembali. Mungkin Tuhan bisa memberikannya keajaiban lain, bukan sekedar menyelamatkannya saat ini.

Bersambung ....

24 Desember 2023

The Hole [Proses Terbit]Where stories live. Discover now