24: Die

5 0 0
                                    

All routes, 20XX

"Apa kau bilang?"

"Aku menyerah! Masukan saja aku ke lapas anak, atau tendang aku ke luar sekrang juga. Aku tidak tahan lagi."

Dada Ruby naik turun menyiratkan banyak emosi. Kali ini dia menyerah, sudah cukup dengan permainan lubang hitam, kepalanya tertunduk dan perlahan dia bisa merasakan Nenek Tua itu menurunkannya dari penjepit raksasa, menatapnya dari atas lantas berkomentar, "Terserah padamu, kali ini aku akan membebaskanmu. Jangan kembali mencuri lagi, lain kali aku benar-benar akan mengirimmu ke lapas anak. Pergi!"

Ruby terjatuh dengan pikiran linglung. Apa? Kali ini dia bebas begitu saja? Dirinya berdiri kaku, masih terheran-heran lantas menengadah menemukan Nenek Tua yang kini kembali sibuk dengan musik jadul. Sementara di sisi lain terdapat jam besar digital dengan angka-angka merah menunjukkan waktu pukul 14.01. Berarti kini dia bebas dari lubang hitam itu?

Ruby melangkah dan terus melangkah, melewati pintu ke luar dengan tangan kosong. Dia benar-benar kebingungan bagaimana semua hal terjadi begitu cepat seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah lubang hitam itu lenyap. Tanpa disadari dia melangkah kembali ke apartemen susun, tempat tinggalnya berada. Aroma busuk dan lembab, begitu padat dan juga seruan-seruan kasar menyambut indra pendengarannya. Ah, ini nyata. Dia kembali.

Ruby terus berjalan melewati lorong kumuh, terus lurus hingga sampai di rumah kecilnya. Segera saja dia masuk tanpa kata-kata membaringkan tubuhnya menarik selimut usang, dia memejamkan mata kuat-kuat, mengabaikan perasaannya yang terluka, oleh orang tua maupun teman-teman anehnya dari lubang hitam. Pada akhirnya dia kembali ke sini, tempat orang seperti dirinya berada, sendirian, diabaikan.

Sakit, ini menyakitkan.

Ruby tanpa sadar menitikkan air mata, menggigit bibirnya kuat hingga berdarah.

Kini semua sudah berakhir, berakhir tak bersisa.

...

Jika pada akhirnya kembali ke tempat yang sama, untuk apa dia mencoba lagi? Olive bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah selamanya dia akan terjebak di bandara penuh mayat? Dirinya tak tahu, terlalu banyak yang terjadi membuat dia tersadar, sudah waktunya dia berhenti. Dia kini ke luar dari bandara, tepat ketika ke luar, terdapat pria gendut dengan seragam satpam.

"Hey, anak kcil tak seharusnya di mari!" seru orang itu menyeret Olive yang kini mengeluarkan tatapan kosong, hampa dan tidak ada tanda kehidupan. Gadis ceria itu bungkam, kini dia seperti mayat hidup, kosong dan hampa. Kontras dengan pakaiannya yang penuh warna, dia tidak lagi mengeluarkan tawa menyenangkan. Semuanya sudah berakhr sekarang. "Di mana rumahmu? Ck, tidak baik anak kecil berkeliaran."

Rumah? Apa dia memilikinya? Olive tertawa miris, dia tersadar sudah tidak lagi memiliki tempat pulang, lantas dengan senyum menyedihkan dia menengadah tertawa hambar. "Olive ... tidak punya rumah. Olive yatim piatu," katanya membuat satpam mengernyit, menatap kasihan.

"Bawa saja Olive ke panti asuhan." Melihat rasa kasihan itu tidak membuat Olive merasa lebih baik, pada akhirnya dia akan kembali ke tempat terkutuk itu. Olive menarik napas dalam-dalam berusaha tersenyum. "Bisa antar Olive, Pak?"

...

Bing menghapus kedua sudut matanya, dia jatuh terduduk dalam lingkaran pemanggilan setan, dia sudah banyak melakukan kesalahan dan dia sudah tak kuat lagi. Dirinya terduduk di sana menyadari semua hanya akan terulang kembali, tangannya menyentuh bagian lantai depan sekolah dan dia merasakan tekstur lembab yang membekas. Matanya membola menyadari bahwa lingkaran iblis ini terbuat dari kapur, dia lupa akan hal itu.

Perlahan dan pasti dia menghapus setiap sudut lingkaran setan, mengotori tangannya dengan debu dan kapur. Setelah lingkaran itu memudar, tubuhnya tanpa aba-aba terasa begitu ringan, dia bisa melangkah ke luar dari batas-batas tersebut. Berdiri dengan lunglai dirinya tertatih berjalan menatap ke atas langit. Lelah, dia lelah. Tidak ada pilihan lain yang bisa membuat hidupnya lebih baik lagi, lubang hitam maupun hidupnya hanyalah petaka.

Air mata kembali berhamburan, seragamnya kini kumal dan kotor, langit sudah menjingga membawa dia melangkah pergi ke rumah. "Bing. Bisa-bisanya kau membolos sekolah dan les. Ibu sudah membayar mereka mahal!" Sambutan yang pahit, Bing tertawa lirih membiarkan air matanya lolos di hadapan sang ibunda, hal itu membuat wanita di depannya tersentak, terlebih pakain kotor juga luka di beberapa bagian tubuh Bing.

"Bing sudah tidak kuat, Ibu. Bing sudah tidak tahan." Dengan paksa bocah itu tersenyum sembar berlinang air mata. Dia sudah tidak kuat, semua ekspektasi orang tunya membunuhnya perlahan, tak jauh berbeda dengan lubang hitam. "Kalian membunuhku ... kalian membunuhku ...," gumamnya dengan tubuh gemetar, menarik pakaian sang ibu membiarkan wanita itu tau efek yang sudah menderanya selama ini. "Aku ... tak jauh berbeda dengan kakak. Aku ... aku anakmu, Ibu. Aku putramu ...."

Bing lelah, dia sudah tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Seiring matanya mengabur dibasahi air mata tubuhnya terjatuh di pelukan ibunda. Bing memejamkan mata, dengan suara gemetarnya kembali bersuara. "Tolong anggap aku sebagai anakmu, Ibu. Kumohon ...."

...

Andrew muak.

Dia muak setengah mati dengan semua hal.

Mulai dari sakit-sakitan, dikhianati sang kakak bahkan ditelan lubang hitam abnormal.

Dan sekaran tepat di waktu biasanya dia menemukan anak-anak kecil aneh itu, mereka tak lagi hadir. Apakah mereka semua sudah lepas dari lubang hitam? Benarkah begitu? Dia terus terpaku di kursi taman, hanya menunggu tema-temannya datang tapi tidak ada juga. Jadi mereka menyerah?

Tapi, dia tidak mau menyerah. Andrew bangkit dari kursi taman, langkahnya diikuti oleh bodyguard yang mengekor mengikutinya. "Aku akan pulang." Terdapat kerutan di kening bodyguard. Andrew menghela napas menoleh dengan tatapan tajam. "Aku ingin kembali, apa kau tuli?"

"Ah, tidak. Siap, Pangeran. Mari." Bodyguard menurut, masih keheranan padahal sebelumnya pangeran ini gembira sekali ke luar dari kediaman mereka. Dia tidak menyangka jika tuannya akan kembali secepat ini. Sedangkan Andrew melangkah dengan mantap tidak berpaling. Persetan dengan kakak yang berkhianat dan anak-anak itu maupun lubang hitam. Kali ini dia ingin mengambil jalan hidupnya sendiri.

...

Jika teman-temannya tidak ada yang kembali apa yang harus dilakukannya?

Taher bersikeras ingin orang tuanya diselamatkan. Tapi, hingga sore tidak ada tanda-tanda kedatangan teman-teman kecilnya. Karena itu dia bersikeras untuk berlayar sendiri pergi ke kerajaan duyung. Walau begitu tidak ada tanda-tanda kedatangan badai yang menerjang, hanya air laut yag tenang dan damai.

Bahkan dia tidak melihat lubang hitam ketika dia sengaja menenggelamkan diri ke laut. Taher dengan berat hati kembali naik ke atas permukaan mengendarai perahunya untuk pulang. Bagaimana jika persyaratan untuk menemukan lubang hitam adalah bertemu teman-temannya? Taher tak tahu, dia hanya bisa bekerja keras untuk mendapatkan yang dia inginkan.

"Aku pulang." Taher melngkah menuju rumah, tapi dia tidak mendengar suara adiknya saat kembali padahal langit sudah gelap. Apakah ainya belum pulang bermain? Taher berpikir demikian melangkah masuk dan mengganti pakaian. "Annalise," panggilnya tidak ada jawaban. Lantas dia segera melagkah masuk ke kamar sang adik dan menemukannya terbaring tertidur lelap.

"Annalise ...." Taher mendekat, lagi-lagi tak ada sahutan. Mulai panik Taher mendekati adiknya lantas menyentuh tubuh sang adik. Dingin. Taher tersentak, gelombang rasa takut menerkamnya hidup-hidup, dia menggoyangkan tubuh adiknya merasakan napas Annalise terhenti. Tidak. TIDAK! "ANNALISE!"

Bersambung ....

5 Januari 2024

The Hole [Proses Terbit]Where stories live. Discover now