03: Meet Again

43 6 2
                                    

Bandara, Ines 20XX

"Astaga ... kita tak bisa menampung anak ini lagi. Kita tidak punya *Ceta yang cukup bahkan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak kita."

(Ceta adalah mata uang yang berlaku di Negeri Tora. 1 ceta = Rp.1000)

"Tapi, Kakak sudah memintaku untuk menjaganya. Kita tak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. Tanah Kakak juga sudah tidak ada yang menyewa setelah adanya *pengembangan budidaya tanaman hidroponik."

(Hidroponik merupakan cara menanam yang tidak menggunakan tanah sebagai media tanam, namun memanfaatkan air dan media tanam berupa benda padat seperti cocopeat, spons dan sebagainya.)

Gadis kecil berumur sembilan tahun dengan kunciran di kepalanya menunduk, mendengarkan pembicaraan kerabat-kerabat. Pandangannya kembali beralih pada dua foto di depan dua peti mati. "Olive tidak apa-apa. Olive bisa tinggal sendiri. Olive bisa ...."

Para kerabat terdiam, tidak tega, hati mereka terenyuh mendengarkan kata-kata Olive. Dengan segera nenek sang gadis memeluk Olive, rambut ikalnya itu berantakan, matanya yang berair berusaha ditahan mati-matian. "Nenek tahu, nenek tahu Olive kuat. Mama dan Papa sudah di surga. Olive tidak perlu khawatir."

Olive menghapus air matanya, sekarang dia sendirian. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan, yang tersisa hanyalah tanah tempat keluarganya bertani, akan tetapi itu juga sudah tidak mendapatkan keuntungan apa pun. Tapi, jelas bahkan jika kerabatnya kasihan, mereka tidak akan mau repot-repot mengurusnya, bahkan sang nenek yang memeluknya.

"Olive bisa, Olive bisa sendiri!"

Tidak ada yang menghentikan dirinya. Olive sebatang kara. Bahkan tanah warisannya diambil oleh para kerabat, Olive tida mengerti jadi hanya mengangguk jika diminta tanda tangan dokumen peralihan warisan. Sekarang dia di sini, di depan panti asuhan, samar ketika para kerabat pergi tawa mereka terdengar, munafik yang jelas.

Olive tidak mengerti, bagaimana orang tuanya bia meninggalkan dia, semuanya menyakitkan. Di panti asuhan dia memiliki banyak teman, tapi tidak. Mereka diam-diam diperintah bekerja paksa. Menjual koran, bunga-bunga, bahkan gadis-gadis dewasa di sana pegi ke club, melayani pria-pria hidung belang.

Olive mulai menyadarinya dan kabur. Hanya satu tempat yang dia ingat, sebuah bandara tidak terpakai tempat orang tuanya terbaring mati. "Huft! Olive pasti bisa!" Hanya satu yang tahu, setelah corona tidak ada kuburan lagi yang bisa menampung jenazah. Jadi sebagian besar warga yang terkena wabah disimpan di bandara ini, terisolasi.

Cukup sulit untuk masuk akan tetapi akhirnya berhasil. Di antara mayat-mayat yang tergeletak dengan kantong jenazah oranye dia mencari mayat orang tuanya. Setelah enam jam baru dia menemukan mereka, jasad yang dingin. Olive tidak mau sendiri, jadi dia terbaring di sana bersama kedua orang tuanya. Mayat yang berbau busuk dan mengeluarkan bau anyir. "Peluk Olive, Ma, Pa."

Namun, ketika malam berlangsung Olive tersadar bahwa mayat-mayat itu hidup, awalnya dia senang melihat orang tuanya bergerak, tapi tidak--- setelah mereka mengigit dan mengunyah kepalanya. Itu menyakitkan, Olive berteriak dan yang terjadi selanjutnya lubang hitam menyerap tubuhnya, ketika membuka mata di kembali ke titik awal di depan bandara, tepat pukul 14.00.

Olive juga mulai mencari cara agar keluar, tapi tak berhasil hingga akhirnya menemukan pengalih perhatian yang selalu bersuara setiap jam 19.00, berupa musik. Tentu saja itu membutuhkan banyak waktu bahkan jika dia harus digigit berkali-kali dan dikunyah hidup-hidup sebelum kembali ke waktu awal. Pada akhirnya setelah terjebak, kembali sadar dia sendiri, dia terkejut menemukan Ruby. Anak kecil lain yang terjebak oleh lubang hitam.

The Hole [Proses Terbit]Där berättelser lever. Upptäck nu