30: Heretical Sect

8 0 0
                                    

Pantai, Pelosok Cosmin 20XX

"Kapan-kapan kalian harus mampir ke tempatku."

Setelah pertempuran hebat yang terjadi, Drako mendapatkan kristal portal untuk membuka gerbang ke perkampungan naga. Mereka pun menyerahkan semua kristal yang diambil dari tempat harta duyung pada Drako. Naga itu pasti akan menyimpannya dengan baik dan tak akan digunakan oleh oknum-oknum meresahkan seperti ratu.

Drako tersenyum hangat, dia sudah mengantar mereka ke Pelosok Cosmin sebagai pemberhentian selanjutnya. Olive mengangkat tangan, tersenyum lebar. "Olive akan merindukanmu!" Gadis kecil itu memeluk sang naga, yang dibalas pelukan hangat. Yang lain mengulum senyum kecil, kini mereka berada di rute akhir yang pernah mereka kunjungi, yakni pelosok Cosmin, pantai kecil dengan orang-orang bertopeng.

Drako mengangguk, melambaikan tangan akhirnya dia berenang kembali masuk ke dalam lautan. Mereka berbalik, menengadah menatap pulau kecil yang mereka pijak, menarik napas dalam-dalam kini mereka siap masuk untuk membuka rahasia yang disimpan oleh lubang hitam. "Jadi kalian yang selama ini menolong putraku? Aku sangat berterima kasih." 

Akhirnya mereka bisa bercakap dengan benar, sembari terus menelusuri hutan rimbun, Ibu Taher menempatkan satu tangan di dada, tersenyum lembut. "Aku Diana, kalian bisa memanggilku Diana." Kini Ayah Taher yang berdehem, sembari terus melangkah dia angkat suara. "Aku Claude." Perawakan Ayah Taher tinggi besar, tubuhnya tegap dengan sifat tubuh yang kaku, berbeda dengan sang ibu yang memiliki sifat tubuh yang hangat dan bersahabat.

"Sepertinya tidak sopan memanggil kalian begitu, Paman dan Bibi." Olive terkekeh kecil dengan bola mata yang bersinar-sinar, terlebih setela Diana mengelus kepala gadis kecil itu Olive semakin menempel. Rasanya dia teringat oleh sang ibu, Olive sedikit berkaca-kaca memeluk wanita itu dari samping yang kembali hanya tersenyum. "Baiklah, kalian bebas memanggilku apa."

Taher ikut senang bagaimana teman-temannya memperlakukan orang tuanya dengan baik, kini pandangannya beralih ke depan. "Itu apa?" Tunjuknya pada sebuah bangunan besar, itu seperti villa dengan warna hitam. Bagaimana ada bangunan seperti itu sedangkan warga setempat tinggal di gubuk? Merasa bertanya-tanya, akhirnya Ruby menjawab, "Yang kudengar saat tertangkap kemarin mereka membangun tempat itu untuk 'sesuatu'. Semacam tempat peresembahan bagi mereka."

"Dan kalian tahu sendiri bahwa orang-orang di sini mirip sekali seperti sekte sesat." Itu menjelaskan semuanya, lantas kenapa para kriminal yang terjebak di pulau ini ikut masuk dalam sekte sesat? Ini aneh, ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini. "Lalu apa yang akan kalian lakukan anak-anak?" Kali ini Claude melirik serius, karena jujur saja dia tak mengerti mengapa anak-anak begitu teguh ingin mencari lubang hitam.

"Sebenarnya ... kami berharap lubang hitam membawa kami ke tempat lain." Mereka membuang pandangan melirik sekitar, kenapa mereka begitu gigih ingin mencari lubang hitam? Karena mereka memiliki satu harapan, dibanding hidup yang bagai neraka dan tak punya tempat berpulang yang layak, maka mereka lebih baik menjadi pengelana ruang dan waktu. Ada secercah harapan, harapan hidup mereka bisa berubah.

Hampir setengah jam mereka berjalan, belum ada tanda-tanda kedatangan orang-orang bertopeng. Lantas suara bising menyambut mereka, lantas mengintip dari sela-sela rimbunan pohon mereka bisa melihat anak-anak kecil yang berada di tengah-tengah lapangan. Dengan tandu mereka semua diangkat ditemani iring-iringan besar menuju villa besar yang mereka lihat sebelumnya. "A- apa yang akan me- mereka lakukan?" Bing bertanya menyingkirkan semak-semak yang menghalangi penglihatan.

"Kita ikuti mereka." Ruby memutuskan, mulai melangkah keluar dari tempat persembunyian, sedangkan Diana mencekal lengan Ruby, menggeleng kecil, khawatir. "Itu berbahaya, 'Nak. Kita tidak tahu tujuan apa yang mereka inginkan dengan membawa anak-anak kecil itu, kalian pun hanya anak kecil. Berbahaya bertindak." Tampaknya Diana cukup khawatir, dia masih trauma dengan kerajaan duyung jadi lebih berhati-hati. Taher menepuk lengan ibunda kini menggenggamnya. "Tidak perlu khawatir, Bu. Ruby dan teman-temanku tahu apa yang mereka lakukan. Kami bisa mengatasinya."

"Tapi-"

"Mereka menyelamatkan kita, kita harus percaya pada mereka." Kalu ini Claude yang meyakinkan sang istri. Andrew melipat tangan di depan dada, iring-iringan itu semakin jauh, rumah penduduk sepi tiada orang. "Ayo, kita segera beranjak." Andrew menginterupsi, membuat semua mata tertuju ke arahnya. Diana yang masih bimbang melirik suami dan putranya bergantian, wanita itu ingat cerita Taher bahwa anak bungsunya meninggal, memang tak ada yang tersisa lagi, maka tak ada salahnya ikut mencari kesempatan lain. Akhirnya dia mengangguk, membuat mereka bergegas mengikuti iring-iringan.

Ada sekitar seratus orang yang mengiringi tandu-tandu yang diangkat oleh para pemuda, mereka bersorak sorai saling berseru membuat iring-iringan semakin ramai. "Untuk keabadian, untuk kekuatan, untuk cinta!" Kata-kata itu terus berulang, terngiang-ngiang, mereka mengendap-endap mengikuti dari belakang, bersembunyi di balik pepohonan. 

Di depan iring-iringan mereka melihat pagar setinggi lima meter menjulang tinggi berwarna hitam, pagar dibuka dan membiarkan orang-orang bertopeng masuk. Tidak, itu bukan seperti villa lagi, itu sudah seperti mansion. Ruby melirik ke belakang, ada yang kurang. "Di mana Andrew dan Bing?" Mereka saling pandang, benar, kedua anak itu tidak ada di sana. Lantas dari arah belakang kedua anak itu muncul, keduanya membawa banyak topeng. 

"Ki- kita harus menyamar."

"Benar, kata Bing kita bisa menyamar dengan memakai topeng ini." 

Itu benar! Penyamaran adalah salah satu yang mereka butuhkan selama ini. "Kerja bagus!" Olive mengacungkan jempol, mulai memakai topeng. Lantas ketika semua topeng telah terpasang, mereka ikut masuk ke dalam mansion serba hitam. Kali ini di aula besar mereka dapat melihat ada sebuah goretan besar membentuk pola lingkaran dengan aksara yang tidak diketahui menghias lantai. Mereka semua tak mengenakan alas kaki, di tengah goretan lingkaran anak-anak ditempatkan beserta juga tandunya.

"Apa yang mereka lakukan?" bisik Ruby. Lagi-lagi para penduduk membunyikan semboyan yang kembali dielu-elukan, terus berulang. "Untuk keabadian, untuk kekuatan, untuk cinta!" Lagi dan lagi semboyan itu dilontarkan, tampak di tengah ruangan anak-anak berdiri, dari kejauhan mereka bisa melihat anak-anak itu menangis, sebagian histeris. Penduduk pulau tak tampak simpati, mereka yang tersisa tidak mengondisikan anak-anak kini bersujud, melakukan gerakan menyembah. Topeng masih terpasang di wajah mereka.

"Untuk keabadian, untuk kekuatan, untuk cinta!"

Mereka ikut mengikuti gerakan menyembah, sekedar formalitas agar penyamaran mereka tak diketahui. Samar dari kepala yang tertunduk mereka melihat pria tua, yang dulu mereka temukan sebagai tetua membawa sebilah belati. Ada sekitar tiga anak kecil, tangan mereka disayat membuat darah menetes menuju lantai. Secara ajaib lingkaran itu menyala dengan cahaya putih, tapi hanya sebentar membuat sorakan kembali bergema. "Tenanglah. Mereka bukan anak dalam ramalan."

Para penduduk tampak kecewa, sementara tangisan anak-anak semakin histeris. Apa sebenarnya yang dilakukan sekte sesat ini? Mereka masih terpaku sebelum tetua yang kini menunduk, mulai bersujud. Ada seseorang dengan jubah turun dari anak tangga, suaranya halus dan juga membuat bulu kuduk berdiri. "Tampaknya anak-anak ramalan belum ditemukan."

Siapa orang itu?

Bersambung ....

11 Januari 2024 

The Hole [Proses Terbit]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin