25: Normal Life

5 0 0
                                    

All Routes, 20XX

"Kami pulang."

Ruby tersentak dari tidur lantas terbangun mendapati orang tuanya yang kembali dari pabrik, mereka memasang wajah masam dan suram. Itu membuat Ruby keheranan, apa yang terjadi? Dia tak tahu, karena itu dia bergegas memasak nasi sebelum dipukuli, tapi belum sempat beranjak, tanpa diduga merasakan sang ibu yang tiba-tiba memeluknya. 

Ruby tak membalas pelukan itu, dia masih cukup terkejut dengan apa yang terjadi. Apakah orang tuanya kini berubah? Tapi, itu terlampau mustahil. Tidak ada yang seperti itu. "Ibu? Ada apa?" tanyanya, tangannya sedikit terangkat hendak membalas pelukan sebelum dia menyadari suatu hal. Ibunya hamil, pasti perutnya yang besar akan membuatnya tidak nyaman berpelukan, tapi sekarang mengapa dia tidak merasakan tonjolan?

"Kau kini satu-satunya putri kami."

"Apa?" Ruby melebarkan mata, firasatnya buruk terlebih kini dia merasakan tangan sang ayah yang menyentuh kepalanya lembut. Kehangatan yang asing, ini pasti adalah hal gila. Apakah dia bermimpi karena ingin merasakan kasih sayang sampai segitunya?  "Bayinya? Ke mana bayinya?" Pertanyaan itu membuat tubuh kedua orang tuanya membeku di tempat, tidak bergerak barang sedetik. 

"Jangan bicarakan itu!"

"Lupakan hal seperti itu. Kau tidak punya adik, ingat itu baik-baik."

Apa yang manusia terkutuk ini lakukan? Bergelut dengan pikirannya sendiri Ruby akhirnya paham sesuatu. Jangan-jangan ... bayi itu .... Dia memasukan tangan ke saku, di sana dia mendapati kaos kaki kecil, itu dia dapatkan dari rute di mana Andrew berada. Dia pikir bayi itu tanpa sadar menjadi harapannya agar keluarga ini bisa bahagia. Ternyata dia salah, kedua orang ini ialah manusia bejat. Bibirnya bergetar ketika melontarkan pertanyaan.

"Kalian ... menggugurkannya?"

...

Olive bersama dengan satpam mengendarai mobil, gadis itu membisu sepanjang perjalanan duduk di jok depan bersama satpam. Olive tidak mengatakan apa-apa, setelah diketahui dia masuk ke dalam bandara yang memuat mayat-mayat penderita covid. Maka satpam yang ada memastikan dia sudah divaksin, setelah melakukan pengecekan sederhana terbukti bahwa Olive tidak terindikasi virus covid. 

Olive hanya bisa menerima hidupnya kini sebatang kara. Hidup di panti asuhan tempat eksploitasi anak-anak dengan keji, ya, dia akan kembali ke sana. "Kenapa kau diam saja?" tanya satpam masih fokus menyetir, sesekali menoleh ke arah Olive. 

"Olive tidak tahu harus berkata apa." Ketika sudah jatuh begini bagaimana lagi caranya dia bisa bangkit? Orang yang paling ceria dan takut akan kesepian. Seorang gadis kecil pengecut yang tidak mau sendiri dan menjerumuskan dirinya dalam lubang hitam, bahkan rela masuk ke panti asuhan kejam untuk menyambung hidup. 

Namun, hey, tunggu! Apakah hidupnya berakhir hanya seperti ini? Dia bisa mengubah sesuatu, ada kepercayaan diri yang diam-diam bangkit. Akan tetapi dia mustahil kembali ke bandara, mungkin dan mungkin ada sesuatu lain yang bisa dia lakukan. Olive meremas kedua tangannya melirik ke arah satpam tersenyum. "Pak Satpam mau temani Olive melihat-lihat panti asuhan?"

...

Bing melipat kedua kaki meringkuk di ujung kamar. Setelah menangis hebat, menuntut banyak hal dari sang ibunda kini dia dikurung di dalam kamar. Dia dipaksa membersihkan diri dan tidak mengatakan hal tidak berguna lainnya. "Hah ... i- ini hidupku se- sekarang." Dia menengadah menatap langit-langit ruangan, termenung semakin dalam. 

Kini dia kembali ke kehidupan normalnya yang membosankan. Mungkin ini lebih baik daripada tenggelam dalam lubang hitam. Lagi-lagi dia hanya mengasihani diri sendiri, dia beranjak dari pojokan kamar ke meja belajar, membuka buku-buku sekolah. Dia harus menyibukkan dirinya sendiri, melupakan petualangan mendebarkan juga mematikan yang dialami.

Satu, dua, tiga detik dia terpaku tanpa bisa memproses apa pun. Mendesah panjang, mengacak-acak rambutnya Bing menidurkan kepalanya di atas meja. Membosankan, melelahkan, pun memuakkan. "Bing! Kau harus belajar! Tidak ada omong kosong lagi sekarang, belajar yang giat," teriak Ibu dari lantai bawah. Bing tidak menyahut dan mengangguk dalam diam, kembali fokus membolak-balik halaman.

"Lu- lubang cacing?" Bing menggosok matanya melihat tulisan itu di salah satu buku pelajaran. Di sana terdapat catatan kecil tentang lubang cacing, semua pengertiannya sama dengan lubang hitam yang menelannya kemarin. "Da- dalam fisika dan fik- fiksi, lu- lubang ca- cacing adalah jalan pintas me- melalui ruang dan wa- waktu. Hingga se- sekarang masih be- belum diketahui apa- apakah lubang cacing ter- terbentuk secara a- alami. Ji- jika lubang cacing benar ada, un- untuk membuat lubang cacing tetap ter- terbuka, sejenis ma- materi akan dibutuhkan."

Materi? Materi apa? Ini dengan jelas menerangkan soal lubang hitam, mungkin saja lubang hitam adalah lubang cacing. Akan tetapi materi apa yang membuat lubang hitam itu tetap terbuka? dia kembali membuka halaman buku. Tapi, sia-sia, itu hanya catatan kecil saja. Beralih ke ponsel mencari lubang cacing di situs internet, semakin banyak ia tahu semakin membingungkan. Sebenarnya lubang hitam itu apa? 

...

"Kami turut berduka cita."

Taher tertunduk, tubuhnya jatuh terduduk di depan peti mati. Setelah dia kembali, dia menemukan adiknya yang sudah kehilangan nyawa. Pandangannya kosong menatap ke arah peti tidak menjawab panggilan dari orang-orang. Rasanya dia sudah tidak mau berurusan dengan orang-orang. Kini dia sebatang kara, tidak ada lagi keluarga maupun teman.

"Taher." Tetua memanggilnya, tapi bocah berkulit coklat itu terus melangkah dari ruang berduka menuju tepi pantai. Air matanya sudah kering setelah menangis terlalu banyak. Bahkan orang tuanya terjebak di dalam lautan dalam kurungan duyung. Bahkan dia tidak dapat pergi ke sana tanpa bantuan teman-temannya maupun lubang hitam.

"Apakah aku mati saja?" tanyanya pada diri sendiri lantas tertawa miris, hidupnya sudah berakhir sekarang. Dia kini melintasi tepi pantai berjalan linglung sendirian menuju perahu. Mungkin ini adalah akhirnya, dia begitu putus asa dan kelelahan, rasanya seolah dunia runtuh tidak lagi utuh. Semua yang dimilikinya kacau, berserak, seolah Tuhan mengejeknya membuat hidupnya berantakan.

Padahal selama ini dia adalah anak yang baik, perhatian dan pekerja keras mungkin sedikit keras kepala. Mengapa Tuhan mengutuknya dengan semua bencana yang datang beruntun ini? Mulai dari kehilangan orang tuanya, pernah mati karena masuk lubang hitam, lantas dengan meninggalnya sang adik. Pada akhirnya apa yang Tuhan inginkan darinya selama ini?

Dia melangkah terus berjalan ke pesisir, lantas mendapati perahu kebanggan keluarganya, dia tersenyum kecil menyentuh perahu dan menatap lautan. Benar, pada akhirnya dia keluarga nelayan yang hidup dan mencari nafkah dari lautan. Mungkin dia bisa melaut untuk terakhir kalinya. Tanpa pikir panjang dia mulai mendorong perahu ke sisi lautan dan terus membawanya ke laut.

Aroma laut menyerbak, baru saja melewati pesisir beranjak ke laut, mungkin untuk menyusul kedua orangtuanya angin besar berembus. Membuat pasir-pasir berterbangan menutupi pandangan. Dari atas terdapat helikopter yang turun membuat dirinya terjatuh terbawa angin, setelah helikopter itu mendarat dia menengadah menemukan sosok yang tidak asing.

Bersambung ....

6 Januari 2024

The Hole [Proses Terbit]Where stories live. Discover now