04: School Burned

21 3 2
                                    

High School, Gemma 20XX

Setelah ditelan kegelapan, lubang asing berwarna hitam yang menyerap mereka kembali menghilang, kali ini mereka berada di tempat lain. Pusaran hitam itu berputar-putar, seperti cairan cat hitam yang meleleh dan mulai menghilang di telan bumi. "Ruby! Kau keren!"

Dan Ruby kini harus menerima fakta bahwa perjalanan ini tidak akan semudah yang dia kira. Memangnya dari awal dia punya pilihan? "Okay, okay, Olive. Aku menghargainya." Keduanya kini berada di tempat asing lain. Olive berjalan dengan tangan berayun, menghentakkan kakinya ke lantai kotor. "Ini seperti sekolah. Bukan begitu Ruby?"

"Aku tidak tahu, aku tidak pernah sekolah," jawab Ruby lurus, tidak ada rasa malu di dalamnya. Akan tetapi Olive yang mendengarkan hanya terpaku, berbalik ke belakang, kemudian tersenyum sedih memeluk Ruby dari samping. "Tapi, kenapa ya ini terlihat buruk?"

Ruby mengangkat bahu. Di depan mereka kini terdapat lorong panjang juga kelas-kelas. Semuanya hitam-hitam, terdapat abu yang mengotori lantai, kursi dan meja patah yang tergeletak berantakan. Lampu sepertinya rusak, bahkan langit-langit hampir roboh yang terlihat reyot, kayu-kayu yang terbakar berjatuhan menuju lantai putih kusam.

"Tetap di belakang." Ruby memperingati menahan langkah kaki Olive. Sementara Olive di sisi lain menatap sekeliling, dia tersentak merasakan bulu kuduknya berdiri. Rasanya sangatlah dingin, dia merapatkan diri pada Ruby. "Sepertinya tempat ini berhantu!" Ruby terkekeh, menggelengkan kepala terus berjalan.

"Hantu itu hanya imajinasi."

"Hantu sungguhan!"

"Kenapa berpikir begitu?"

"Lihat saja tempat ini menyeramkan, jelek, juga ... bahkan semuanya terbakar ... mengerikan!"

"Sepanjang hidupku selama 12 tahun. Hantu itu tak ada, aku tak pernah melihatnya."

Olive menghentakkan kakinya ke lantai, lampu warna-warni dari sepatunya terlihat jelas, melangkah duluan mendahului Ruby. Rambut hitam sepundak milik Ruby terjun jatuh ke pundak, gadis dingin itu melihat ke salah satu kelas untuk menemukan buku-buku setengah hangus, mungkin sekolah ini dulunya terbakar. Tapi, kenapa?

Ruby menahan dirinya untuk tidak memikirkan hal itu. Dia sadar betul apa yang tengah terjadi di sini, andaikan dulu ketika sekolah ini bagus dia bisa bersekolah, seperti anak pada umumnya. Mungkin itu akan lebih menyenangkan ... mungkin. Tidak. Ruby menggelengkan kepala meletakkan buku-buku, sudah bisa makan saja dia harus bersyukur. Jangan menjadi tamak. Itu hanya membuat semuanya lebih merepotkan.

"Ruby!"

Ruby beranjak dari ruang kelas, berhati-hati karena bangunan ini bisa hancur kapan saja, karena semuanya sudah terbakar hangus, rapuh. Mengikuti sumber suara dia mendapati Olive di ruangan ujung koridor, gadis itu membuka kain putih lusuh yang menutupi benda besar. "Lihat, piano!"

Ruby menyipitkan mata, tersenyum memperhatikan tingkah Olive yang kegirangan. Dia melompat-lompat ke dekat piano, membuat bangunan bergetar, keduanya saling tatap, kemudian tertawa--- setidaknya Ruby tersenyum. "Kau tahu cara memainkan piano?"

Olive mengangguk, dagunya terangkat pongah menyeringai lebar. "Tentu saja~ kalau tidak, mana mungkin aku di sini kan?" Ruby mendengkus melihat kepercayaan diri Olive. Melipat kedua tangan bersandar pada pintu yang berdebu. Ruby memperhatikan setiap gerak Olive, mulai dari merenggangkan jari dan duduk di kursi.

"Mau lagu apa? Twinkle twinkle little star?"

"Aku tidak tahu. Mainkan saja."

Ruby mendengarkan, bahkan dia yang tidak tahu apa pun tentang musik pasti bisa tahu ini ialah lagu sederhana. Sekiranya dia pernah mendengar lagu itu dari mainan anak-anak lain di tempat wisata ketika dia mencari uang.

Sedangkan Olive fokus sekali dengan permainan pianonya, terkekeh manis terus membuat jari-jarinya menari-nari di atas piano. Rambut biru yang diikat, serta mata zamrud-nya bersinar-sinar indah. Sesekali bersenandung menikmati musik.

"Dulu, Papa Olive senang membawakan lagu ini sebelum tidur."

Ruby meluruskan pandangan, menatap ekspresi sedih rekan kecilnya. "Mama dulu yang nyanyi." Kemudian Olive melirik Ruby, tersenyum manis, membuat wajah imutnya bersinar-sinar di bawah cahaya senja. "Sekarang Olive yang bawa lagu ini buat Ruby."

Ruby terdiam, sebelum menghela napas memejamkan mata, sudut bibirnya tertarik. "Baiklah ... Orang tuamu sepertinya sangat baik, hum?"

"Ya, mereka sangat baik."

"Lalu mereka ke mana?"

"Pergi. Mereka jadi zombie di tempat bandara itu."

Olive turun dari kursi kemudian menggenggam tangan Ruby. Gadis kecil itu menengadah kemudian memasang ekspresi jahil, mengerutkan dahi sembari menutup hidung. "Huek! Bau! Ini pasti Ruby masuk ke tong sampah."

Tidak salah sih. Ruby mengacak-ngacak rambut Olive kemudian melangkah keluar dari ruangan itu. "Salah siapa dekat-dekat. Tidak ada yang memintamu berada di sampingku." Olive tertawa berjalan di belakang Ruby. Sejujurnya ada satu hal yang mereka cari, yaitu lubang hitam lain untuk menghisap mereka ke tempat lain.

"Omong-omong kau tahu lubang hitam itu?"

"Olive tidak tahu! Yang Olive tahu, setiap hampir mati. Lubang hitam itu selalu ada, terus menyerap kita mengembalikan kita pada waktu semula pada jam 14.00."

"Tunggu. Jam 14.00?"

"Iya."

Ruby mengerutkan dahi, kemudian menutupi kepala Olive selagi mereka merunduk melewati reruntuhan bangunan sekolah. "Aku pun jam 14.00. Tepat pertama kali masuk ke dalan lubang hitam."

"Kalau Olive jam 14.00 ketika mulai memasuki bandara."

Keduanya saling pandang. Kemudian semakin bingung, sebenarnya itu apa? Kenapa mengincar mereka? Semakin dalam masuk, semakin waspada keduanya menatap ke depan. "Aku berasal dari Manch. Kau tahu? Tempat di mana banyak pabrik."

Olive mendengarkan, sesekali menggenggam ujung pakaian Ruby erat. Takut-takut karena matahari di sini mulai terbenam dan tidak ada lagi cahaya yang tersisa. "Bandara itu ada di Ines. Olive berasal dari Ines."

"Aku tahu. Itu tempat orang-orang menanam padi dan tanaman lain. Untuk kehidupan sehari-hari masyarakat."

"Iya, tempat tinggal para petani bekerja."

Keduanya diam, napas mereka sesak karena sisa abu pembakaran. Gelapnya ruangan membuat mereka buta, tak dapat melihat. Hingga akhirnya menuruni anak tangga. Keduanya berpegangan erat, Ruby masih menggenggam tangan Olive sebelum tangan itu terlepas dan terdengar suara terjatuh.

"Olive!"

Ruby berteriak, dia terduduk terus menuruni anak tangga. Yang terjadi selanjutnya suara bisik-bisik terdengar, dari setiap penjuru, saling berbisik gila memenuhi koridor. "Olive!" Lagi-lagi Ruby berteriak, bahkan setelah merosot ke anak tangga terakhir dia tidak dapat menemukan Olive.

"Sshhh ... Sudah malam ... Murid-murid pulang ...."

"Huhuhu ... Pulang ... Pulang ... Istirahat!"

"PULANNNGGG!"

Ruby menutup telinga, suara bising itu membuat telinganya sakit. Dia tidak takut pada hantu, jika ada dia akan meninjunya. Yang dia khawatirkan ialah Olive. "Diam setan! Kalian bahkan tidak bisa kulihat! Jadi diam sialan!"

Teriakan Ruby menghentikan bising dari bisik-bisik gaib. Karena selanjutnya, lampu menyala terang. Ruby memejamkan mata, perih, dan ketika menengadah. Dia dapat melihat Olive mengapung di langit-langit reruntuhan, sembari mencekik dirinya sendiri menggumamkan namanya.

"OLIVE!"

Bersambung ....

4 Desember 2023

The Hole [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang