BAB 19

9.5K 557 13
                                    


Tarima tetap mematung berdiri.

Sang suami pun masih berlutut di depannya dengan bahu yang terus gemetar. Walau tak terdengar suara isakan sama sekali.

Entah sudah berapa lama, rasanya lumayan memakan durasi cukup panjang dalam posisi seperti ini. Lututnya pun sudah mulai pegal digunakan untuk berdiri tanpa bisa bergerak.

Jangan kira, Tarima tak berusaha menerus melepaskan diri. Namun, tenaganya terlalu kalah kuat dari sang suami kontrak.

Terlalu dekat dengan Sadha begini membuat dirinya kurang nyaman. Ia enggan terlibat kontak fisik apa pun dengan pria itu.

Dan masih selalu gagal dalam upaya untuk menjauhkan sang suami darinya.

“Lepaskan aku!” Setelah tidak bersuara lagi pasca beberapa menit lalu berseru marah.

Kembali meronta, tapi tak membuat Sadha bereaksi. Tetap egois bergeming.

“Aku bisa memukulmu, Mas.” Tarima tidak akan segan mengancam dengan serius.

“Lepaskan aku sekarang. Atau kepalamu akan aku pukul.” Tarima menekankan.

Tangannya sudah ditaruh pada kedua pundak Sadha yang masih bergetar, upaya untuk mendorong pria itu menjauhi dirinya.

Akan dibuktikan kata-katanya, tak peduli jika dianggap kasar bersikap. Asalkan bisa bebas dari Sadha yang terus memeluknya.

Namun saat baru akan dilakukan, sang suami sudah menggelepar ke lantai. Terjatuh begitu saja dengan tiba-tiba. Ia cukup kaget.

Pria itu menatapnya tajam.

Apa maksudnya? Marah? Justru dirinya yang harus mengamuk melihat tingkah Sadha.

Dibanding menanyakan pada pria itu, lebih bagus diabaikan. Akan percuma berdebat dengan orang yang tengah mabuk.

Waktu semakin larut, ia harus segera tidur.

Namun saat baru beberapa langkah berjalan, didengar suara hantaman keras di belakang. Seketika, ia pun berhenti karena cukup kaget

elakunya tak lain yakni Sadha Putra Panca.

Pria itu memukul-mukulkan tangan ke lantai, dengan posisi masih berbaring.

“Berengsek!”

Sang suami kontrak juga berteriak marah.

“Apa saya pantas dikhianati?”

“Saya sangat bodoh untuk diselingkuhi?”

“Saya kurang baik apa sebagai suami?”

“Kamu berselingkuh!”

“Kamu membodoh-bodohi saya dengan kehamilanmu!”

“Kenapa kamu menyakiti saya, Dewita?”

“Berengsek!”

Awalnya Tarima tak tahu arah dari semua racauan Sadha kemana, tapi setelah nama sang kakak sepupu disebut, ia baru paham.

Muncul rasa ingin tahu lebih banyak perihal kemelut masa lalu sang suami, yang mungkin akan dicelotehkan kembali oleh pria itu.

Saat seseorang dalam pengaruh alkohol begitu banyak, biasanya pendaman hati terdalam akan diluapkan dengan jujur.

Tarima tetap bergeming di tempat. Menunggu Sadha bicara lagi. Namun, pria itu hanyalah menghantam-hantaman tangan ke lantai.

Tarima pun teringat kembali dengan tangisan sang suami kontrak, beberapa menit lalu.

Jadi, bukan karenanya? Padahal, ia tadi amat yakin jika pria itu menaruh penyesalan atas tuduhan-tuduhan kasar disematkan padanya.

Namun ternyata untuk sang kakak sepupu?

Bayi Milik Suami DudaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora