BAB 04

16K 676 11
                                    

Tepat setelah membuka mata, Tarima lekas saja mengambil ponsel yang diletakkan di nakas. Hendak mengecek waktu.

"Sudah jam sepuluh?" Tarima melontarkan kalimat seraya bangun dari kasurnya.

"Pasti dia datang lagi," gumam Tarima seraya mempercepat langkah kaki keluar kamar.

Tempat ditujunya adalah jendela dekat pintu rumah. Di sana, ia akan dapat memantau mobil yang selalu mengawasi kediamannya.

"Penguntit menyebalkan!" Tarima pun berseru kesal selepas melihat ada kendaraan roda empat terparkir di depan gerbangnya.

Sudah satu bulan lebih, pola selalu sama.

Setiap malam, akan ada orang suruhan sang suami kontrak mengawasinya. Entah apakah tujuan pria itu, ia sama sekali tak tahu.

Dan mumpung malam ini, Sadha sendiri yang datang, maka kesempatan bagus untuknya bertanya pada sang suami kontrak.

Sebenarnya, Tarima tak menyangka jika pria itu akan berani mendatangi rumahnya, pasca ia meminta untuk berpisah sebulan lalu.

Sampai hari ini, belum ada pemanggilan dari pengadilan atas sidang perceraian. Padahal, Tarima sudah sangat menanti-nanti.

Dengan langkah mantap, ia keluar rumah.

Dikiranya, Sadha akan tetap bersembunyi di dalam mobil, namun pria itu mendekat ke arahnya yang masih di beranda depan.

Mereka akhirnya saling berhadap-hadapan pada titik temu dekat pagar rumahnya.

"Penguntit menyebalkan!" Tarima pun kembali menyerukan apa yang tadi telah dikatakannya agar didengar langsung oleh Sadha.

"Berhentilah menguntit!"

"Aku nggak tahu tujuan Mas menyuruh orang bergantian menguntitku di sepanjang hari, tapi berhentilah melakukannya."

"Aku nggak mau privasiku diganggu."

"Dan silakan, Mas pulang sekarang. Jangan pernah datang ke rumahku lagi."

Bicara beberapa potong kalimat dengan rasa kesal memuncak saja, sudah membuat napas Tarima menderu dan tidak beraturan.

Amarah akan pengintaian yang didapatkan sejak tiga minggu lalu, terlalu menggunung karena baru bisa dilampiaskan hari ini.

"Pulanglah Mas." Tarima mengusir kembali tanpa ingin menyahuti pertanyaan Sadha.

"Kamu harus ikut pulang bersama saya."

"Pulang? Ini rumahku. Dan aku tidak akan pergi ke mana-mana," sahut Tarima tegas.

"Selama kamu masih menjadi istri saya, kamu harus pulang ke rumah saya, Tari."

Tarima berdecak sinis.

"Bukannya sejak kita menikah, kita ini nggak pernah tinggal bersama? Mas di apartemen dan aku tinggal sendirian di rumah Mas."

"Mas cuma datang kalau aku minta. Itu pun tidur bareng untuk bikin anak yang pada akhirnya nggak bisa Mas akui."

Setelah beberapa menit disaksikan ekspresi sang suami kontrak datar-datar saja. Kali ini, tatapannya mulai menusuk dan tajam.

Rahang wajah pun mengeras.

"Ikut dengan saya pulang, Tari."

"Aku nggak mau!" Tarima berseru jengkel seraya menghempas tangannya yang ingin diraih oleh Sadha Putra Panca.

"Media akan menyoroti kita yang tidak tinggal satu rumah. Saya tidak mau ada skandal."

"Akan memengaruhi kredibilitas saya juga di partai, jika ada berita yang buruk."

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now