BAB 06

12.8K 618 10
                                    

"Ini kabar yang sangat menggembirakan."

"Kita akan punya cucu, Ma."

"Akhirnya setelah tiga tahun berharap, akan ada penerus baru lahir di keluarga kita, Pa."

"Terima kasih, Tarima."

"Mama sayang kamu, Tari. Terima kasih untuk cucu pertama yang kami tunggu-tunggu."

"Sehat selalu, Nak."

"Tidak boleh terlalu capek. Harus banyak istirahat agar calon cucu kami sehat."

Tarima merasa haru melihat kebahagiaan yang ditunjukkan kedua orangtua Sadha. Ia dipeluk bergantian dan didoakan dengan tulus.

Tarima masih tak menyangka dengan berita kehamilan ini, akan membuat keluarga Sadha begitu riuh dalam menyambutnya.

"Terima kasih, Ma, Pa."

Baru dua bulan masuk dalam keluarga Weltz, Tarima sudah begitu nyaman dengan kasih sayang dan kehangatan orangtua Sadha.

Dirinya seperti dianggap putri sendiri.

Apakah mungkin karena Sadha adalah anak tunggal dan tak memiliki saudara? Sehingga kedua orangtua pria itu bisa menyayanginya?

Namun, ia tak boleh terlena akan posisi ini.

Jika semakin ditumbuhkan kepercayaan dan kasih untuk orangtua Sadha, maka tidak akan baik bagi rencana sudah dibuatnya.

“Bayimu sehat, Nak Tari?”

Cukup tersentak dengan pertanyaan sang ibu mertua yang disertai usapan-usapan yang halus di perutnya. Seperti sangat sayang.

“Iya, Mama Hanni.”

“Sudah tahu jenis kelaminnya?”

Tarima menggeleng pelan. “Nanti saat usia kandungan tiga bulan baru bisa, Ma.”

“Sekarang bahkan belum dua bulan,” imbuh Tarima memperjelas keterangannya.

“Semoga saja laki-laki cucu pertama kami.”

Tarima hanya bisa menambah lebar senyuman lagi atas doa yang diutarakan sang mertua. Ia tak tahu harus menanggapi bagaimana.

Di dalam hati, diamini juga.

“Tapi, apa pun diberikan Tuhan, kami akan menerima, asalkan cucu kami lahir sehat.”

“Benar, Ma. Papa juga tidak masalah jika cucu pertama kita perempuan. Yang terpenting sehat dan tidak kekurangan apa pun.”

Perasaan Tarima mulai terguncang dengan semua perkataan ayah dan ibu mertuanya.

Terdengar sungguh-sungguh tulus.

Kebimbangan hadir kembali dalam diri Tarima padahal sebelum datang ke rumah orangtua Sadha, ia sudah mantap dengan rencananya.

“Kamu harus jaga diri baik-baik, ya, Sayang. Jangan sungkan minta bantuan ke Mama.”

“Nanti saat kamu sudah dekat waktu lahiran, Mama dan Papa akan ke Indonesia.”

“Iya, Mama Hanni.” Tarima menjawab pendek saja karena tak menemukan kata lainnya.

"Sadha, kenapa kamu cuma diam? Kamu tidak ingin mengatakan apa-apa pada kami?"

Pertanyaan ditujukan pada sang suami oleh ibu mertuanya, membuat atensi ikut tertuju ke pria itu, walau enggan sebenarnya.

“Saya harus bilang apa, Ma?”

“Mungkin kamu harus meminta kami untuk menepati janji setelah kamu dan Tarima sudah berhasil memberikan kami cucu pertama.”

“Saya akan bahas setelah bayinya lahir.”

Bayinya.

Ckck. Dada Tarima langsung memanas.

Pemilihan kata yang sudah menjelaskan pria ity masih tak akan mengakui darah dagingnya sendiri.

Sadha memanglah sejak tadi bungkam. Tak ada sepatah kata dikeluarkan sang suami. Tapi sekali bicara, membuatnya berang.

Ekspresi wajah juga datar. Sedangkan, tatapan dingin, setiap kali jika tercipta kontak mata di antara mereka berdua. Walau tak banyak.

Tarima pun mantap lagi melancarkan rencana.

Tidak bisa terus terkungkung dengan statusnya sebagai istri Sadha dan mengikuti permainan yang sudah dibuat pria itu.

Walau harus mengorbankan rasa hormatnya pada kedua orangtua Sadha. Egois untuk kebaikan diri sendiri tidak akan apa-apa.

“Mama Hanni …,”

“Papa Buda …,”

Ayah dan ibu mertuanya pun kompak alihkan atensi kepadanya. Masih dengan senyuman hangat orangtua yang menyayanginya.

Sementara, ia tambah merasa tegang. Tidak dapat menunjukkan raut biasa-biasa saja, saat  belum tersampaikan satu pun patah kata.

Padahal, ia telah menyusun semua kalimat yang akan dilontarkan di dalam kepala.

“Ada apa, Nak Tari?”

Sang ayah mertua bertanya.

Satu embusan napas panjang dikeluarkannya, sebelum mulai bicara. Lidah sudah siap.

“Aku ingin menyampaikan rahasia penting.”

“Aku harap Papa Buda dan Mama Hanni bisa menerima. Mau juga memaafkanku.”

Kedua orangtua Sadha menatapnya bingung kali ini. Ekspresi sekejap saja berubah.

“Bayi yang aku kandung bukan anak Mas Sadha. Aku berselingkuh dengan mantan pacarku.” Tarima berucap begitu lancar.

“Aku minta maaf sudah mengecewakan Papa Buda dan Mama Hanni. Aku tidak bisa menjadi menantu yang baik.”

“Aku siap untuk bercerai dengan Mas Sadha karena aku sudah berselingkuh.”

Diperhatikan lebih saksama kedua mertuanya. Mereka bersamaan membeliak penuh kaget.

Dan tak lama kemudian, tangannya telah diraih oleh Sadha. Pria itu sudah mengambil posisi berdiri di sampingnya dengan kedua mata sangat nyalang padanya.

“Apa yang kamu lakukan, Tari?”

Tak dijawab pertanyaan dari sang suami yang bernada marah. Malah segera dihempas tangan pria itu yang memegang lengannya.

“Ceraikan aku, Mas Sadha.”

Tanpa menunggu reaksi suaminya. Ia mulai melangkah menjauh. Menuju pintu utama rumah orangtua Sadha. Dirinya akan pergi.

Biarkan pria itu yang bertanggung jawab atas kekacauan sudah dibuatnya. Sadha patut turut ambil bagian dalam masalah ini.

..........

Yok ramaikan dengan komen.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now