BAB 02

19.2K 764 10
                                    

"Selamat, Tari! Kamu hamil!"

Tarima spontan diserang rasa kaget mendengar seruan dokter kandungan yang sekaligus juga salah satu sahabat baiknya, Kenanga Weltz.

Tarima refleks pula memegangi perutnya. Ia mengusap pelan dengan rasa tak percaya.

"Aku benar hamil?" Tarima memastikan lagi.

"Iya, seriusan hamil. Aku lihat ada benda yang baru sebiji kacang di rahim kamu, Tari."

"Kapan terakhir kamu menstruasi?"

Walau belum bisa mendamaikan rasa kaget di dalam dirinya karena kehamilan ini, berusaha segera mengingat tanggal datang bulannya.

Selalu dicatat di ponsel, namun tak mungkin diambil handphone saat sedang berbaring.

"Kayaknya tanggal lima bulan lalu."

"Tanggal lima? Aku cek dulu usia kandungan kamu sekarang sudah minggu keberapa."

Tarima hanya mengangguk pelan. Bingung ia harus berkomentar bagaimana karena masih tak menyangka bisa positif hamil.

"Wah, sudah lima minggu. Selamat, ya!"

"Kak Sadha pasti senang kamu hamil. Aku akan suruh dia masuk dan lihat kamu, ya."

"Eh, Kena. Tunggu." Tarima menahan sang sahabat. Tentu, Kenanga tak lanjut berjalan.

Kembali mendekat ke ranjang pasien.

"Kenapa, Tari?"

"Waktu ini, aku cek pakai testpack, tapi semua garis satu. Artinya negatif hamil, 'kan?"

"Iya, negatif."

"Tapi sekarang kenapa aku malah hamil. Aku nggak ngerti kondisiku, Kenanga."

"Mungkin kamu cek pakai testpack terlalu dini sejak terakhir kamu berhubungan intim."

"Kadang alat kayak gitu bisa salah."

"Kamu telat menstruasi bulan ini. Terus aku lihat ada bakal janin tumbuh. Itu artinya kamu lagi hamil. Apalagi, kamu mual-mual."

Tarima sejujurnya masih bingung. Bertanya lebih lanjut pun tak akan membuatnya jadi semakin paham. Malah tambah pening.

Mengingat, kepalanya sudah pusing sejak pagi. Tentu saja untuk digunakan berpikir tak akan bisa maksimal masalah kehamilan ini.

Perasaan campur aduk.

Antara lega karena misi sudah berhasil untuk direalisasikan, setelah dua bulan menanti.

Lalu, ada perasaan cemas akan tanggapan dari Sadha karena pria itu seperti tak begitu ingin memiliki anak, dari cara berbicara selama ini.

"Aku yakin kamu hamil, Tari."

Tarima mengangguk pelan. Mungkin sang sahabat melihat keraguan pada wajahnya.

"Gimana keadaan calon anakku?"

"Sejauh tadi yang aku lihat, masih aman. Tapi dua minggu lagi perlu ada pemeriksaan ulang biar kita tahu lebih detail perkembangan."

"Oke, Kenanga." Tarima menjawab sekenanya lagi karena tak punya pertanyaan diajukan.

"Aku kasih tahu Kak Sadha, ya."

Kali ini, disetujui ucapan Kenanga.

Kawannya itu melesat cepat keluar ruangan pemeriksaan. Dan segera pula kembali masuk sembari mengajak Sadha, hitungan detik saja.

Kenanga berceloteh memberi tahu dirinya yang positif hamil, sementara sang suami hanya diam dengan memasang raut dingin.

Entah mengapa, perasaan semakin tak enak dalam menghadapi Sadha. Seperti akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan padanya.

Firasatnya terlalu sering tepat.

"Kamu yakin dia hamil?"

"Iya, Kak Sadha. Aku yakin."

"Apa itu anak saya?"

Tepat setelah Sadha menyelesaikan kalimat tanya bernada sinis, pria itu pun sudah tepat berdiri di hadapannya, dekat pinggiran kasur.

Mata sang suami kontrak nyalang menatap padanya, seolah sangat marah dengannya.

"Saya tidak yakin kamu hamil anak saya."

Belum hilang ketersiapan atas pertanyaan Sadha pada Kenanga. Kini, ia malahan secara langsung mendapat tuduhan sinis dari pria itu.

Mulutnya tak bisa membuka untuk tunjukkan bantahan. Padahal, seharusnya menjawab dengan lantang jika ia tengah mengandung darah daging dari sang suami kontrak.

"Bagaimana bisa itu bukan anak Kak Sadha?"

Kenanga pasti ikut terkejut, sehingga ekspresi sang sahabat memerlihatkan kebingungan.

Suasana mendadak sangat tegang.

"Dia bisa saja tidur bersama pria lain."

"Mungkin mantan kekasihnya."

"Siapa nama mantan kekasihmu, Tari? Dirga?" Sadha bicara kian sinis.

"Benar itu nama mantan pacarmu?"

Tarima memanas mendengar tuduhan keji suami kontraknya yang tak pernah dirinya lakukan.

"Kenanga ...,"

"Iya, Tari?"

"Bisa tolong keluar sebentar? Aku mau bicara dengan Mas Sadha."

"Oke, aku akan keluar."

Tarima tak menjawab apa-apa lagi. Lalu, perlahan bangun dari ranjang pasien guna bisa berdiri berhadap-hadapan dengan Sadha Putra Panca.

Kurang dari tiga menit, ia sudah berada tepat di depan suami kontraknya.

"Aku tidak pernah tidur dengan dia, Mas!"

"Saya punya bukti kuat, Tarima."

"Aku nggak pernah tidur dengan Dirga." Tarima masih melontarkan jawaban yang sama.

"Jadi, Mas nggak mau mengakui anak Mas sendiri?"

"Kalau Mas nggak mau, nggak apa-apa. Kita batalkan kesepakatan kita."

"Aku akan mengembalikan semua uang Mas. Lalu, ceraikan aku Mas." Tarima bicara sungguh-sungguh dengan tekad sudah bulat.

"Aku akan membesarkan anak ini sendiri," kukuhnya sangat yakin.

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now