BAB 03

16.8K 779 8
                                    


Tarima kembali memandang layar ponselnya guna menghitung pergantian waktu terjadi.

Sudah lima menit berlalu.

Pintu apartemen Sadha belum membuka juga. Ia yakin suami kontraknya ada di dalam.

Mengingat, sekarang belum jam kantor. Masih pukul delapan pagi lebih lima belas menit.

Ditekan kembali bel. Tak akan menyerah.

Harus bertemu dengan Sadha dan utarakan semua yang mesti disampaikan ke pria itu.

Kali ini, usaha Tarima membuahkan hasil.

Suami kontraknya keluar.

"Maaf, kalau aku mengganggu. Aku cuma ingin bicara dengan Mas Sadha sebentar."

Sadha tak mengatakan apa-apa, namun dirinya diberi ruang untuk masuk ke dalam. Ia menuju ke deretan sofa yang dekat dengan pintu.

Namun, tidak duduk.

Sadha mengikuti di belakangnya. Tak lama, pria itu pun sudah menyusulnya. Mereka berdiri cukup berjauhan satu sama lain.

Tarima lalu membuka tas guna menyerahkan uang ratusan juta tunai yang ditarik kemarin dari bank. Diletakkan di atas meja.

"Ini baru lima ratus juta. Sisanya empat ratus juga, sudah aku pakai. Aku akan ganti dengan menyicil. Beri aku waktu untuk melunasi."

Sang suami kontrak masih diam. Tapi, dilihat bagaimana rahang wajah pria itu kian tegang. Kerutan di dahi yang tampak jadi bukti kuat.

Tarima pun belum selesai bicara.

"Aku ingin membatalkan kesepakatan. Dan Mas mulai bisa menggugat cerai."

"Aku juga akan pindah dari rumah Mas hari ini. Mungkin nanti sore aku keluar karena aku masih merapikan semua barangku."

Tarima menandakan pengakhiran semua yang harus dikatakan, dengan embusan napas cukup panjang. Ia berterima kasih pada diri sendiri karena tak gugup dalam berbicara.

Ditunggunya beberapa menit karena mungkin Sadha akan memberikan tanggapan, terutama kesetujuan akan mekanisme pengembalian uang yang diajukan olehnya tadi.

Namun, sang suami kontrak tetap diam.

Tarima memilih menyerah. Tak akan dinanti komentar Sadha. Enggan dibuang waktu lebih lama, disaat ada hal lain mesti dikerjakan.

Ia harus segera pergi dan kembali ke rumah Sadha untuk mengepak barang-barang.

Besok pagi harus benar-benar sudah pindah ke kontrakan barunya, sesuai jadwal dibuat.

"Aku pamit, Mas."

Namun baru akan melangkahkan kaki, tangan malah diraih oleh Sadha. Dipegang cukup erat sehingga lumayan sakit. Tapi lantas dilepas.

Mereka pun saling berkontak mata.

Tatapan sang suami kontrak dingin seperti tadi. Tak ada ekspresi apa-apa di wajah.

"Ambil uangmu kembali, Tari."

"Saya tidak memerlukannya."

"Kesepakatan kita juga tidak akan batal. Saya tidak akan menceraikan kamu."

"Saya juga butuh bayi yang kamu kandung untuk menjadi anak saya."

"Dan saya tidak peduli siapa ayahnya, asalkan orangtua saya bisa mendapatkan cucu."

"Apa?" Tarima merespons cepat. Suaranya pun meninggi karena kaget akan kalimat terakhir dilontarkan suami kontraknya.

Hati Tarima memanas seketika. Ia berupaya tak mudah terpancing emosi oleh kata-kata Sadha, namun dirinya sudah gagal.

Ucapan pria itu sangat mengusiknya.

Sadha pun diam, belum menunjukkan reaksi apa-apa atas tanggapan singkatnya tadi.

"Nggak akan aku kasih Mas memakai bayiku untuk kepentingan Mas sendiri."

"Kecuali Mas Sadha bisa mengakui kalau bayi yang aku kandung adalah anak Mas." Tarima memprovokasi dengan berani.

Sadha masih bergeming. Ia pun mengartikan sebagai penolakan atas tantangannya.

Lebih baik pula, dirinya segera pergi, daripada menciptakan pertengkaran yang membuat amarahnya membara dan tak bisa disudahi.

Namun sebelum benar-benar pulang, masih ada satu kalimat pamungkas yang sangat ingin dirinya sampaikan kepada Sadha.

"Sadarlah segera, sebelum Mas menyesal."

"Aku bukan tipe wanita yang akan mudah bisa memaafkan kesalahan seperti Mas lakukan."

"Dan satu lagi ..." Tarima mendadak terpikir kalimat sindiran yang akan menohok.

"Harusnya Mas berterima kasih padaku karena aku sudah bisa hamil. Sementara, mantan istri Mas tidak bisa memberikan Mas anak."

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now