Bab Tiga Puluh Empat

104 19 36
                                    

Bilah pedang yang saling beradu disertai suara teriakan penuh semangat dari kedua sisi menjadi melodi peperangan antara Eona dan Euza. Dua kerajaan timur ini menambah babak baru pada rangkaian pertempuran antarsaudara yang telah terjadi setidaknya selama seratus sampai dua ratus tahun terakhir.

Laki-laki berambut oranye berlari menuju belasan prajurit yang berbaris dengan pedang terangkat. Namun, mereka bukanlah halangan bagi si laki-laki berambut oranye. Hanya berbekal tangan kosong, dia bisa menumbangkan mereka dan berada di sisi lain tanpa luka segores pun.

"Yosh!" teriak Jack penuh semangat. Dia meninju telapak tangannya sendiri. "Sudah lama aku tidak merasa sesemangat ini."

"Tetap perhatikan sekitarmu, Jack," ujar Oscar yang berada tak jauh dari Jack. Dia mengayunkan pedang rapier pada prajurit yang berniat menyerangnya dari samping.

"Mereka bukan masalah yang besar," kata Jack menonjok muka salah seorang prajurit ke tanah.

Darah merembes keluar dari balik helm si prajurit setelah menerima pukulan Jack yang begitu kuat sampai membuat tanah di sekitarnya hancur. Jack kembali berdiri tegak lalu membenarkan sarung tangan hitamnya.

"Sekali-kali kau harus mendengarkan ucapan Oscar, Jack," ujar Julius dari belakang punggung Jack.

Jack menoleh dan mendapati tiga prajurit Euza sudah terkapar di tanah. Julius mengayunkan pedang besarnya untuk membersihkan noda darah yang menempel di sana.

"Menyembunyikan diri lalu menikam korban adalah keahlian mereka," lanjut Julius.

"Ah, benar juga," sahut Jack setuju.

"Omong-omong, aku tidak melihat prajurit atau kesatria Noines sedari tadi," kata Oscar setelah menendang prajurit Euza yang berusaha menahan pergerakannya. "Aku juga tidak melihat kesatria kelas atas milik Euza."

"Benar juga. Aku baru sadar," ucap Jack.

Tiga panah api diluncurkan ke arah pasukan Euza. Suara hantaman diikuti teriakan terdengar dari arah jatuhnya panah.

"Mereka mungkin sedang menghadapi lawan yang lebih kuat di Gua Cranberra," sahut Simon seraya mempersiapkan kembali panahnya. "Bukankah seharusnya mereka sudah sampai?"

"Benar juga. Jika tidak ada halangan atau tidak tersesat, mereka seharusnya sudah sampai," kata Oscar.

"Jadi, tidak aneh kalau mereka tidak ikut dalam perang ini karena kondisi di sana lebih genting bagi mereka," tambah Simon.

Jack menghantam kepala prajurit ke tanah cukup keras. "Entah kenapa, aku jadi kesal mendengarnya."

"Aku juga."

Julius mengayunkan pedang secara horizontal yang membuat lima prajurit tergeletak sekaligus. Dia berbalik lalu menatap rekan-rekannya bergantian.

"Bagaimana kalau kita menyelesaikan ini lebih cepat lalu ikut berperang di sana?" usul Julius.

"Setuju!" sahut ketiga Paladin bersamaan.

***

Raphael, Harry, dan Jean duduk mengelilingi sebuah meja panjang dengan wajah serius. Bidak-bidak berwarna pirus dan abu-abu ditempatkan di atas peta Fanala yang tergelar di meja itu. Ketukan pelan dari luar membuat perhatian mereka teralihkan.

"Masuk," ucap Raphael.

Pintu terbuka. Aura masuk bersama seorang prajurit.

"Lapor, Tuan Kesatria. Kami sudah mengirimkan pasukan bantuan. Mereka seharusnya tiba besok dini hari," jelas Aura.

Raphael mengangguk-anggukan kepala. "Apakah peperangannya sudah dimulai?"

"Mereka sudah mengeluarkan suara peringatan terakhir. Sepertinya peperangan telah dimulai," jawab Aura lalu duduk berlutut di depan Raphael.

Jilid III. Celena and The Broken Seal [HIATUS]Where stories live. Discover now