Bab Dua Puluh Tujuh

141 26 80
                                    

Jean membuka matanya perlahan. Dia masih bergelantungan di dinding dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Luka lebam, bekas sayatan lebar, dan luka bakar ditemukan di sekujur tubuhnya yang hampir telanjang bulat.

Pandangan si kesatria pirang kabur. Dengan napas yang terdengar berat, Jean menggeleng beberapa kali, berharap pandangannya kembali jelas. Namun, sebanyak apa pun dia menggelengkan kepala, pandangannya tetap buram.

Dia menengadah. Sudah berapa hari dia terjebak dalam ruangan ini? Dua? Tiga? Entahlah. Jean sudah tidak menghitung lagi sejak penyiksaan itu dimulai.

Dinding di depan Jean kembali terbuka. Dia bisa melihat bayangan Teresa yang ditemani Suzanne masuk ke ruangannya. Begitu kedua orang itu masuk, dinding menutup kembali dengan sempurna.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Teresa pada prajurit yang berjaga di ruangan Jean disekap. "Apa dia sudah mengakuiku sebagai tuannya?"

"Be-belum, Yang Mulia," jawab prajurit berambut hitam dengan takut-takut.

Teresa terlihat marah. "Ini sudah tiga hari. Kenapa kalian masih belum bisa membuat dia mengakuiku sebagai tuannya? Apa kalian sudah melakukan perintahku dengan benar?"

"Ka-kami sudah melakukannya sesuai perintah Yang Mulia," sahut prajurit berambut hitam. Dia mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada Teresa yang berjalan menuju Jean. "Kami sudah memukulnya dengan tangan kosong, memukulnya dengan benda tumpul, menyayat kulitnya, sampai membakar kulitnya dengan logam panas, tapi ...."

Jean menatap Teresa dengan senyum seringai di wajah seolah dia ingin menunjukkan kemenangannya.

"Siksa dia!" perintah Teresa penuh amarah.

Salah seorang prajurit berbadan besar langsung memukul perut Jean yang sudah tidak terlapisi sehelai kain pun.

"Ugh!"

Prajurit lain yang berdiri di belakang si prajurit berbadan besar melanjutkan rangkaian siksaan dengan memukul kepala Jean menggunakan tongkat bergerigi.

"Siapa nama Tuanmu?" tanya Suzanne.

"Reinhard ... van de Laurent," jawab Jean tertatih.

Suzanne memberikan isyarat pada seorang prajurit yang bersiaga di samping tungku panas. Si prajurit dengan sigap menangkap sinyal dari Suzanne. Dia mengambil besi panas lalu menempelkannya pada kulit Jean.

"Aaargh!!!" teriak Jean kesakitan. Wajahnya memerah dan otot-otot terlihat jelas di pelipisnya.

"Siapa nama Tuanmu?" tanya Suzanne lagi setelah si prajurit menyingkirkan besi panas dari kulit Jean.

"Rein ... hard .. van de ... Laurent ...."

"Kurang ajar!" umpat Teresa.

Tawa kecil dari Jean membuat Teresa menoleh cepat ke arahnya. Si kesatria pirang menengadah dan menatap lurus Jean.

"Bukankah ... aku sudah bilang?" Dia mengambil napas. "Aku tidak akan pernah mengakuimu sebagai tuanku. Tuanku hanya Yang Mulia Reinhard van de Laurent!"

"Dasar keparat!" umpat Teresa lagi seraya memukul pipi Jean keras.

"Yang Mulia, bagaimana kalau kita lanjut menggunakan rencana cadangan saja?" usul Suzanne. "Penyihir itu mengatakan kalau kontrak antara si pemanggil dengan griffin akan terputus setelah si pemanggil mati."

"Ah ... benar juga. Sejujurnya aku tidak terlalu membutuhkan kesatria kerempeng seperti dia. Aku hanya menginginkan griffin miliknya," ucap Teresa. Dia menatap rendah Jean yang masih tertunduk. "Kita bunuh saja dia."

Ledakan besar terjadi di belakang punggung Teresa dan Suzanne. Semua orang menoleh dan mendapati dinding di belakang mereka sudah hancur berkeping-keping.

Jilid III. Celena and The Broken Seal [HIATUS]Where stories live. Discover now