Bab Satu

364 54 71
                                    

Dingin.

Tubuh gadis kecil berambut cokelat kastanye yang terbaring di atas tandu itu sudah sedingin es. Matanya terpejam, bibirnya membiru, dan kulitnya sudah pucat pasi. Ia terlihat seperti boneka porselen tanpa riasan.

Hancur.

Anak laki-laki berambut hitam yang berdiri di samping raga gadis berambut cokelat kastanye itu merasa seperti mendengar sesuatu yang hancur berkeping-keping. Suaranya begitu jelas, tapi dia tidak tahu apa yang hancur.

Nyeri.

Dada kiri laki-laki kecil berambut hitam itu terasa nyeri. Rasanya seperti dihujam ratusan bahkan ribuan jarum. Sakit sekali. Nyeri di dadanya itu membuat kepalanya terasa pening dan mual. Suara yang ada di sekelilingnya bahkan mulai sayup terdengar. Dia belum pernah merasa sesakit ini.

Hampa.

Rasa nyeri itu perlahan mulai menghilang. Namun, kini berganti menjadi sebuah kehampaan. Pemandangan yang ada di depan anak laki-laki berambut hitam itu bahkan berubah menjadi monokrom. Dunianya telah berhenti berputar dan kehilangan warna seiring kepergian sosok gadis kecil berambut cokelat kastanye itu.

***

Angin musim semi yang berembus lembut menerbangkan beberapa helai anak rambut dua orang anak laki-laki yang sedang berdiri di depan sebuah batu nisan. Salah seorang yang berambut cokelat muda terlihat menangis sesenggukan, sedangkan anak berambut hitam yang berada di sampingnya hanya terdiam.

"Kenapa kau pergi begitu cepat?" ucap anak berambut cokelat muda seraya menyeka air matanya. "Kau bahkan belum mewujudkan impianmu untuk membuka toko bunga di distrik perbelanjaan."

Anak laki-laki berambut hitam itu masih terdiam. Matanya masih tertuju pada tulisan yang terukir di batu nisan keabuan dengan tanpa ekspresi.

"Maaf ... maafkan aku," ucap anak berambut cokelat muda itu seraya kembali menyeka air mata yang terus menuruni pipinya. "Maaf karena aku tidak cukup kuat untuk melindungimu."

"Ini bukan salahmu."

Suara datar dan nyaris tanpa emosi membuat anak laki-laki berambut cokelat muda itu menoleh ke samping.

"Kurasa sudah waktunya." Anak laki-laki berambut hitam lurus itu menghadap ke anak berambut cokelat muda. "Ada yang ingin kuberikan padamu," ucapnya seraya menyerahkan sebuah gelang tali rajut berwarna hitam.

"Apa ini?" tanya anak laki-laki berambut cokelat muda setelah menatap gelang yang kini berada di telapak tangannya selama beberapa saat.

"Aku mendapatkannya dari putri seorang bangsawan. Kurasa ini bisa membantumu menjadi kesatria dan masuk ke istana."

"Aku tidak bisa menerima barang seberharga ini," balas anak berambut cokelat itu seraya berusaha mengembalikan gelang itu. "Menjadi kesatria istana adalah impianmu."

"Sudah terima saja gelang ini." Anak laki-laki berambut hitam lurus itu kembali mendorong tangan teman sebayanya menjauh. "Lagi pula aku sudah tidak membutuhkannya."

"Tidak membutuhkannya? Apa maksudmu?"

"Aku akan pergi dari sini. Aku akan pergi mengelana."

"Kenapa tiba-tiba sekali? Pergi mengelana tidak sama dengan pergi berburu. Jika persiapanmu tidak matang, kau bahkan bisa mati."

"Aku tahu, tapi aku akan tetap pergi."

"Kenapa? Apa ini karena kematian Emma?"

Anak berambut hitam itu bergeming di tempat. Dia bahkan mengalihkan tatapannya.

Jilid III. Celena and The Broken Seal [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang