Bab Dua Puluh Dua

135 38 39
                                    

Salju pertama di Eona.

Lapisan putih sehalus kapas sudah menyelimuti seluruh Istana Eden. Bersama dengan deru angin, salju memang turun lebat semalam. Dan bahkan mendengar ranting pohon mengetuk-etuk jendela kamarnya sepanjang malam. Pagi ini pun cuacanya masih kelabu. Sang mentari masih bersembunyi di balik gumpalan awan-awan.

Dan berjalan menuju cermin yang berada di tengah-tengah kamarnya. Hari ini adalah hari yang telah ditentukan. Dia akan memulai perjalanan menuju Lumina melalui jalur rahasia. Dan mengambil kalung pemberian Celena dari saku jaket lalu memakainya.

Ketukan pelan dari luar membuat laki-laki itu menoleh ke arah pintu. "Ya?"

"Yang Mulia Ratu menunggu Anda di ruang takhta."

"Baik."

Dan mengambil tas ransel miliknya lalu berjalan menuju pintu. Seorang prajurit sudah berdiri di depan pintu. Dia menundukkan kepala sampai Dan berjalan melaluinya.

Dua orang prajurit yang menjaga ruang takhta langsung membuat posisi siap begitu Dan sampai. Mereka membukakan pintu ruang takhta tanpa membuat pemberitahuan.

"Oh, Tuan Dan. Selamat pagi," sapa Pierce yang langsung meletakkan tangan kanan di dada kiri dan sedikit membungkuk ke arah Dan.

"Baru kalian saja?" tanya Dan seraya menatap Alicia, Pierce, dan Mira bergantian.

"Iya," jawab Pierce.

"Kenapa mereka memanggil kita kemari, ya?" tanya Mira seraya menatap Dan, Alicia, dan Pierce bergantian. "Kita akan berangkat hari ini, kan? Bukankah seharusnya kita berkumpul di depan gerbang?"

"Mungkin ada sesuatu yang mau disampaikan oleh Ratu Irene sebelum kita berangkat," duga Alicia.

Pintu ruang takhta kembali terbuka. Semua orang menoleh ke pintu. Irene sudah berdiri di depan dengan Dalton, Julius, Leticia, dan Lucien berada persis di belakangnya. Leticia terlihat berbeda. Jika biasanya dia selalu memakai gaun one piece panjang dan berbagai macam perhiasaan, gadis berambut ash pink itu hanya memakai kemeja putih lengan panjang dan celana hitam panjang yang dipadukan dengan sepatu boots berwarna cokelat tua sekarang. Tak ketinggalan, dia juga memakai pelat baja di dada. Lucien tidak terlalu terlihat berbeda. Dia hanya terlihat lebih sederhana daripada biasanya.

"Sepertinya semua orang sudah berkumpul, ya," ucap Irene lalu berjalan masuk.

Dalton dan Julius mengikuti Irene sampai ke kursi takhta, sedangkan Leticia dan Lucien berhenti di depan Dan.

"Kenapa Anda memanggil kami kemari?" tanya Dan. "Apakah ada yang ingin Anda sampaikan sebelum kami berangkat?"

"Tidak ada," jawab Irene.

Dan mengernyit. "Lalu?"

Irene tidak menjawab. Wanita berumur empat puluh tahun itu malah berbalik dan berdiri membelakangi Dan. Dia menatap bola permata berukuran cukup besar berwarna putih yang menjadi hiasan di pegangan kursi takhtanya. Setelah terdiam beberapa saat, Irene menekan bola itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Pierce kebingungan ketika getaran yang cukup kuat terjadi.

Lantai di samping kursi takhta terbuka. Terlihat beberapa anak tangga yang mengarah ke bawah.

"Jadi, ini jalan rahasia yang dimaksud?" gumam Dan.

"Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruang takhta. Jadi, tempat teraman di istana untuk menyimpan rahasia seperti jalan rahasia hanyalah ruang takhta," jelas Irene.

"Begitu rupanya."

Irene mengambil bola permata hiasan kursi takhtanya sebelah lalu berjalan menuju Leticia. "Leticia, bawalah ini."

Jilid III. Celena and The Broken Seal [HIATUS]Where stories live. Discover now