Detak ke 54 - Sabar Yang Habis

208 16 1
                                    

"Tolonglah Mil, cabut tuntutanmu itu. Kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan" Pak Zaid memelas kepada Amil.

Pak Kades membawa warganya yang saling bertikai itu untuk mendamaikan. Bersama mereka turut hadir perwakilan dari pihak kepolisian. Semuanya berkumpul di rumah Amil, termasuk Fajar. Lelaki ini tak henti-hentinya memandangi Amil yang duduk berdampingan dengan Arum, sang istri. Fajar menatap Amil dengan sedih, karena sedari tadi lelaki yang masih dicintainya itu memandang rendah kepadanya.

"Maaf Pak Zaid, kesabaranku sudah habis. Keluargaku tak pernah mengusik kalian tapi kenapa kalian selalu mengganggu kami?"

"Karena kau homo" celetuk Bu Asnah yang memang juga homophobia.

"Heh nenek lampir, jaga mulutmu! Apa suamimu yang ustad itu tak pernah mengajari bertutur kata dengan baik?" Semprot Arum geram melihat tingkah Bu Asnah.

"Ajari dulu suamimu itu jangan jadi homo sok jago! Sombong! Ingat ya homo itu diharamkan oleh Tuhan!" Sahut Bu Asnah tak mau kalah, sifatnya sama seperti anaknya, sama-sama tak punya mulu.

"Lihat sendiri kan Pak Kades! Inilah sebabnya kenapa aku tak mau berdamai dengan keluarga ustadz ini" geram Amil.

"Bu sebaiknya jangan begitu, ini demi kebaikan anak kita, Zakiya" nasehat Pak Zaid.

"Bapak ini gimana sih? Sudah tugas homo ini buat memuliakan keluarga ulama"

"Cih" sombong Amil.
"Tak ada kebaikan buat anakmu yang sudah memfitnahku, menyebutku mencabuli anak di bawah umur"

"Memang fakta kau menyodomi murid sendiri" keras Bu Asnah lagi.

"Mana anaknya? Bawa kesini! Kalau memang aku pernah melecehkan anak dibawah umur sekarang juga bawa aku ke penjara. Mana buktinya? Mana korbannya?" Tantang Amil.

Bu Asnah diam seketika, semua itu memang hanya fitnah belaka. Amil tak pernah terbukti melakukan perbuatan nista itu.

"Terus keluarga bapak ini mau apa?" Tanya Amil kepada Pak Rudi dan Bu Ros, juga kepada Fajar.

Pak Rudi tercengang, baru kali ini Amil menanyainya dengan kasar, padahal selama ini Amil selalu ramah dan baik kepadanya.
"Nak Amil, menantu kami memang salah, namun tak ada kesalahan yang tak dapat dimaafkan. Tuhan saja Maha Pemaaf..."

"Sayangnya aku bukan Tuhan, aku manusia yang kalian sebut sebagai homo" potong Amil cepat.

"Tuh sadar sendiri kan" celetuk Bu Asnah.

"Diam dulu Asnah!  Hajjah kok mulut kayak pantat ayam!" Bu Ros akhirnya menyahuti Bu Asnah. Dia sudah geram akan kedegilan istri ustad satu ini.

"Mil, bapak mohon, bagaiman pun kau sudah bapak anggap seperti anak sendiri. Apalagi kau dan Fajar teman dekat.." ucapan Pak Rudi dipatahkan oleh Amil.

"Siapa bilang Fajar teman dekatku? Aku muak melihatnya. Teman yang sering culas kepadaku, bahkan sering menganiayaku"

Jlebb, entah mengapa mendengar ucapan Amil itu Fajar merasa sakit yang hebat. Matanya langsung berkaca-kaca.
"Mil, sebenci itukah kau kepadaku?" Rintihnya di dalam hati.

"Masih syukur suamiku tak melaporkanmu Fajar ketika kau mengamuk di rumah ini dan membuatnya babak belur masuk ke rumah sakit" tuding Arum menimpali.

Fajar tak tahan lagi, air matanya tumpah.
"Mil maafkanlah aku Mil, aku tahu aku bejat dan keparat. Bunuh aku Mil jika perlu!"

Pak Kades kembali mencoba memediasi usaha perdamaian itu. Yang akhirnya Amil menyetujui namun dengan syarat ganti rugi yang jumlahnya tidak sedikit.

"Enak saja seratus juta!" Geram Bu Asnah.

DETAK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang