Detak 15 - Larut

198 16 1
                                    

Maaf guys kalau alurnya terasa lambat, karena memang author ingin membangun chemistry yang kuat antara Fajar dan Amil. Untuk saat ini konfliknya belum kuat. Buat yang berharap ada esek-esek, maaf ya, kisah ini lebih ngutamakan alur romansa nya, jadi adegan ena-ena tak akan banyak diekspose.
***

Fajar sedari tadi terdiam, wajahnya kusut, belajarpun jadi tak menentu. Ingin bolos tapi rasanya dia sudah terlalu sering melakukannya, jika ketahuan maka dia akan langsung didepak DO dari sekolahnya. Meski swasta namun sekolah ini menjadi salah satu favorit se Kabupaten. SMK ini dan SMA nya selalu menjadi pilihan utama bersama sekolah negeri top lainnya hingga berbeda dengan sekolah swasta lain, sekolah ini tak pernah kekurangan murid bahkan terpaksa harus menggunakan seleksi untuk menyaring peserta didik.

Pak Iwan, guru PKN yang terkenal killer sedari tadi mengoceh membahas kebebasan pers juga perkembangan media massa di depan kelas. Sumpah tak satupun perkataan Pak Iwan nyangkut diotak Fajar.

Doni teman sebangkunya menepuk pundak Fajar. Lalu menyodorkan sebuah kertas yang berisi nota. Memang sangking killer nya Pak Iwan semua siswa tak berani bersuara saat dipelajarannya.

"Knp mukamu kusut, nyet?" Nota Doni.

Fajar dengan ogah-ogahan mengguratkan pena di kertas itu, tepat di bawah nota Doni.
"Gak mood"

"Gara-gara STvan ya?"

"x_x bukan!"

"Oh pasti gara-gara Abang Ruhi? Iya kan nyet" tulis Doni lagi.

Seketika Fajar mengerjap, segamblang itukah perhatiannya pada Amil hingga Doni dapat melihat dan menyadarinya.

"Anjing, busuknya otakmu bodat!" Tulis Fajar.

"Udh, santay wae, aku gpp kog, paling cari bibir seksi yang lain!" Balas Doni.

Fajar mendelik, apa-apaan ini? Geramnya bukan main, dia keplak kepala Doni dengan buku hingga Doni mengaduh-aduh. Membuat suara ribut ditengah keheningan kubur.

"Hei apo kojo kelen beduo disitu!" Celaka, Pak Iwan membentak dengan logat pesisir, bisa dipastikan beliau sedang marah. Pak Iwan memang punya kebiasaan memarahi siswanya pakai logat daerah.

"Celaka!" Fajar cepat meramas kertas nota mereka, menggumpalnya menjadi kecil lalu di masukkan ke dalam restleting tepat di dalam sempaknya, kini kertas itu bersemayam anteng didepan pekukur tidur Fajar. Sengaja, Fajar takut kertas itu diambil Pak Iwan dan menjadi alat untuk mempermalukannya.

"Badiri kelen!" Perintah Pak Iwan kepada Fajar dan Doni.

Fajar dan Doni saling pandang lalu berdiri dengan saling mengikut menyalahkan.

"Kau Dondon! Cubo ko ulang pelajaran tadi!" Bentak Pak Iwan pada Doni.

"Eh anu pak!" Doni menggaruk kepalanya yang gak gatal.

"Kenapo anumu! Ondak lopaskah?" Bentak Pak Iwan lagi.

Karuan saja satu kelas mentertawakan mereka. Paling keras tentu saja Ivan dan Andre yang duduk dibarisan lain. Doni memandang jengkel kepada dua sohibnya itu yang sepertinya bahagia sekali dia di-bully Pak Iwan.

"Tidak pak!"

"Cubo ko torangkan lagi kajian tadi!"

"Anu pak" Doni bingung perasaan tadi Pak Iwan bahas-bahas koran dan majalah.
"Kita harus rajin baca koran dan majalah" sahut Doni asal.

"Koran dan majalah apo yang pornah ko baco!?" Pak Iwan bertanya dengan membentak.

Doni semakin bingung, seumur-umur dia gak pernah baca koran dan majalah, dia putar kepala, tiba-tiba dia teringat pada majalah yang pernah dipajang didepan sebuah toko.
"Majalah DR pak!"

Jawaban  Doni seketika membuat Pak Iwan mendelik. Majalah DR adalah majalah terbitan Medan yang memuat berita kriminal dan ada cerita dewasanya di halaman-halaman akhir majalah.
"Pongong! Macam mano utakmu tak heng kolo bacoanmu yang begitu, ke sini kau!"

Dengan gemetar Doni ke depan, hasilnya pantatnya kena libas rol kayu sepanjang dua meter yang tersangukt di dekat papan tulis. (Tahun 2008, hukuman fisik masih cukup lumrah terjadi di sekolah)

"Pogi ko ke lapangan. Lari ko keliling limo kali!" Tuding Pak Iwan, tanpa tunggu lebih lama Doni segera kabur ke lapangan, takut dilibas penggaris kayu lagi.

Fajar tertawa terbahak-bahak melihat Doni tadi. Tawanya kuat, bahkan yang paling keras.

"Kinin giliran ko Fajret!" Pak Iwan mendelik pada Fajar.

Fajar menelan ludahnya dengan berat.
"Habislah aku!" Keluhnya di dalam hati.

"Suko awak baco majalah?" Tanya Pak Iwan.

"Eng...eh suka pak! Salah satu hobiku!" Bohong Fajar, Ivan dan Andre telah senyum-senyum menahan geli.

"Majalah apo yang awak baco!?"

"Majalah...majalah" Fajar berpikir sejenak, tak mungkin dia bilang majalah DR seperti Doni tadi, bisa habis pantatnya. Atau majalah Playboy aja kali? Oh tidak, itu sama saja dengan cari mati.
"Majalah Bobo pak" jawab Fajar juga, dia buntu, ingatannya hanya satu, majalah kanak-kanak itu yang pernah dibeli adiknya.

Kembali kelas riuh dan tertawa. Pak Iwan manggut-manggut, tak salah sih. Toh isi majalah Bobo juga bagus kan? Ada liputan budaya daerah dan mancanegara?

"Yo sudah, awak ke lapangan, lari! Tigo sajo kelilingnyo!" Ucap Pak Iwan.

Fajar tersenyum, paling tidak hukumannya lebih ringan dari Doni, dia pun keluar kelas menuju lapangan.

Ternyata lapangan tidak sunyi karena anak-anak SMA kelas X-B pada berkeliaran, jam kosong karena guru sosiologi tak datang.
Karuan saja aksi Doni dan Fajar yang berlari keliling lapangan jadi pusat perhatian mereka. Apalagi Fajar dan Doni berlari dengan tingkah lucunya, saling menendang pantat.

Amil yang tengah duduk di bangku tepi lapangan di dekat pohon mangga tertawa melihatnya, di tangannya ada sebotol minuman mineral. Cepat-cepat Amil keluarkan hape Soner C902 nya, dia mengambil foto Fajar sebanyak-banyaknya, namun di satu kesempatan saat dia sibuk mengatur kembali setting kameranya, tiba-tiba kameranya tak lagi menangkap sosok Fajar. Dia sibuk arahkan kamera ponselnya ke sembarang arah mencari-cari sosok Fajar, dan dummmm, tiba-tiba saja kameranya menangkap wajah Fajar dengan sempurna. Cekrek! Bahkan satu potretan sempat terbidik.

Fajar benar-benar ada di hadapannya, tengah tersenyum begitu manisnya.
Fajar tanpa permisi ambil botol minuman yang diletakkan Amil disebelah duduknya.

"Makasih ya" Fajar nyengir lalu kembali berlari sembari bawa botol minuman itu, meneguk isinya dengan penuh dahaga. Dan saat momen itu Amil telah menghujaninya dengan bidikan kamera. Fajar benar-benar objek foto favoritnya. Apalagi dikejauhan Fajar memberinya gesture salam yang cool abis, yakni dua jari diletakkan di pelipis lalu jari itu dilepas dan ditujukan kepada Amil. Sumpah Amil semakin merasa begitu istimewa dibuat Fajar, meski Amil benar-benar tak tahu apa alasan Fajar melakukannya, apa karena rasa suka atau justru hanya karena persahabatan saja.

"Jar, tahukah kau? Semua tindak tandukmu semakin membuatku larut dan terus terjatuh ke dalam lembah cinta kekagumanku padamu. Ya saat ini aku hanya dapat mengagumimu, karena untuk memilikimu rasanya terlalu sulit untuk digapai. Tapi aku bahagia Jar, aku bahagia dengan semua ini. Semoga kebahagiaan seperti ini tak akan pernah berakhir" Amil terbengong memikirkannya, memikirkan cinta yang semakin membuncah sukmanya. Jujur sebelum Fajar dia juga pernah jatuh cinta di masa SMP dulu, terhadap Yusuf, lalu kepada Dika, Adul, Arifin, dan Fadli ah tapi semua itu masih labil, masih cinta monyet, justru Fajarlah cinta terbesarnya sekarang, sosok yang tak akan pernah bosan buat dipandang, tak hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati. Sosok yang benar-benar membuatnya larut selebur-leburnya.
***

DETAK [SELESAI]Where stories live. Discover now