Detak 7 - Bulu Ketek

260 19 1
                                    

Jam istirahat kedua, Doni menarik tangan Fajar menuju SMAN, tepatnya menuju kelas X-B dimana Amil berada. Dia tau kelas Amil karena tadi malam sempat ber SMS an lagi dengan Amil.

Begitu melihat Amil keluar kelas, Doni segera menarik tangan Amil membawanya kabur, Fajar akhirnya mengikuti.

Ketiganya menuju kantin belakang sekolah, membeli beberapa bungkus roti lalu mencari tempat sepi untuk mengobrol. Ketemu, di belakang sekolah di bawah satu pohon mangga.

"Kalian kenapa membawaku sejauh ini?" Tanya Amil kesal. Padahal dia sudah janji ingin makan gorengan bareng Rustam.

"Sudah santai aja! Sini duduk!" Ajak Doni.

Dengan gugup Amil duduk di sebelah Doni tapi matanya justru melirik pada Fajar. Amil duduk ditengah, disebelah kanan ada Doni, sebelah kiri ada Fajar. Kedua pemuda ini memang tipe Amil, berkulit gelap dan tidak terlalu ganteng. Amil memang menyukai lelaki yang berkulit gelap, menurutnya lebih jantan dan lebih menggairahkan dibanding yang kulitnya putih bersih. Astaga situasi ini benar-benar membuatnya gugup. Untuk mengurangi gugup dia ikut mengunyah roti selai nanas yang tadi dibelinya. Sesekali dia melirik pada Fajar.

"Jangan lihat ke kiri terus. Kiri itu tempatnya setan!" Ledek Doni yang ada disebelah kanan.

Karuan saja Fajar mendelik marah.
"Kontol!" Fajar ingin mengeplak kepala Doni, namun Doni sudah menghindar.

"Bisa gak jangan ngomong jorok" celetuk Amil.

"Siap say...eh maksudnya bos" ralat Doni cepat karena hampir keceplosan.

"Sebenarnya kalian mengajakku ke sini mau ngapain?"

"Tau? Tanya dia! Dia tadi yang mengajakku!" Jawab Fajar, lalu menyedot minuman teh gelasnya.

Amil kecewa, ternyata Doni yang ingin menemuinya, bukan Fajar pujaannya.

"Oh anu" Doni harus menjawab, karena Amil kini melihat padanya.
"Aku ingin menunjukkan ketekku. Seperti semalam di SMS. Aku mau buktikan kalau aku gak punya bulu ketek dan tidak bau!"

Amil sampai melongok tak percaya kalau Doni benaran serius. Fajar sendiri tak kalah kaget, ada panik yang menyergap hatinya, dia melirik pada Amil, ingin tahu reaksi pemuda itu akan ucapan Doni barusan.

"Jangan mau! Keteknya bau!" Cegah Fajar cepat.

"Enak saja, ketekku gak ada bulu!"

"Siapa tahu baru tadi kau cukur!"  Sergah Fajar lagi.

"Cukur jembutmu itu! Ini Mil kalau gak percaya" lalu benar saja cepat sekali Doni telah melepas kemejanya, kini dia hanya memakai kaus kutang, dia mengangkat kedua tangannya, benar tak ada bulu dibawah ketiaknya. Astaga Amil jadi salah tingkah sekarang.

"Si Fajar itu yang keteknya banyak! Jangankan ketek, panu juga ada!" Cerca Doni lagi.

Karuan saja Fajar kalang kabut dipermalukan seperti itu.
"Bohong!" Bantahnya cepat.

"Kalau gitu ayo tunjukin!" Tantang Doni.

"Sudah! Aku gak suka lihat ketek kalian! Kenapa aneh sekali tingkah kalian berdua?" Heran Amil dengan berbohong, padahal dia senang dan berharap bisa melihat ketek Fajar, jika memang berbulu pasti seksi sekali.

"Tau tuh si Doni, hari ini sifatnya homo parah!" Maki Fajar.
"Dahlah, jijik aku sama ketekmu" Fajar buang roti ditangannya yang sisa separuh, setelah meludah berkali-kali dia pergi dari sana.

"Baguslah kau pergi! Yuk Mil mau lihat apa lagi? Pasti aku tunjukin" Tanya Doni dengan cukup keras sambil memamerkan otot tangannya. Tiba-tiba Fajar datang  kembali dengan berlari, lalu menarik tangan Amil lalu mengajaknya menjauh.

"Jangan sampai kau ketularan ngegay kayak dia!" Ajak Fajar pula.

"Anjir lu! Gak asik!" Kesal Doni, cepat dia sambar kemejanya lalu berlari mengejar Fajar dan Amil.

Amil terdiam, dari sikap Fajar tadi tahulah dia bahwa Fajar bukan gay. Lagian Doni juga, apa-apaan sampai niat buat nunjukin ketiak. Duh, jangan sampai Fajar mikir yang enggak-enggak tentang Amil.
***

Pulang sekolah Amil terpaksa cari angkot lain, malu kalau bertemu Doni dan Fajar. Amil naik ke angkot lain yang belum banyak penumpang, dan siapa sangka ternyata Fajar mengikutinya, naik ke angkot itu.

"Lho Jar, kok ikut ke sini?" Tanya Amil bingung.

"Sengaja! Malas aku ketemu si Doni " Fajar keluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya, kemudian menghisap dengan penuh nikmat.

"Kau merokok?" Tanya Amil sedikit kecewa, dia selalu berharap Fajar menjadi seorang pelajar yang baik, tidak badung.

Fajar tertawa sejenak.
"Zaman sekarang mana ada anak laki yang gak merokok"

"Jadi aku ini gak laki!" Sewot Amil.

Fajar melirik geli.
"Mana ku tahu, kan gak pernah lihat itunya" Fajar menunjuk selangkangan Amil lalu Fajar hembuskan asap rokok.

"Semua orang sama saja, apa untuk dianggap laki harus badung dulu? Merokok, berkelahi, mabok.." ucapan Amil cepat dipotong Fajar.

"Ssttt, kamu laki kok. Jangan lakuin yang badung-badung ya. Karena itu yang bikin laki sepertimu langka dan istimewa"

Serrr, darah Amil berdesir seketika. Duh, indahnya, dia geer seketika.

"Hmm Mil, kamu beneran suka yang gak berbulu ketiak ya?" Tanya Fajar hati-hati.

"Hah apa? Itu...itu" duh Amil gugup, pasti Doni cerita yang enggak-enggak pada Fajar.

"Bohong! Aku aku suka kok sama yang berbulu. Ketiakku juga berbulu walau belum tebal" bantah Amil, entah mengapa ada raut lega di wajah Fajar.

Tiba-tiba Fajar berbisik pada Amil.
"Kalau mau lihat bulu ketek bilang samaku ya!" Lalu Fajar ngakak dengan begitu renyahnya.

Hah, tadi itu serius apa bercanda? Amil jadi bingung sendiri melihat tingkah Fajar barusan.

"Mil, minta nomormu boleh?" Tanya Fajar tiba-tiba sembari ulurkan sebuah pena.

Amil mengangguk, dia ingin mengambil buku di dalam tas untuk menuliskan nomor hape nya, namun Fajar mencegah.

"Disini saja!" Pinta Fajar sembari ulurkan telapak tangan kanannya.

"Hah apa? Kenapa aku jadi gugup?" Amil membatin. Ya, dengan gemetar dia menyentuh telapak tangan kanan Fajar, keras, kasar dan jantan. Disana dia menorehkan deretan angka nomor ponselnya. Selesai, namun belum sempat dia menarik tangannya yang memegang pulpen Fajar telah menggenggam tangan itu, dan gantian menuliskan nomornya ditelapak tangan Amil.

Itulah genggaman tangan mereka yang pertama, Amil seakan terbang disentuh seperti itu, sumpah! Kesan dan indahnya begitu abadi terpatri di dalam hati.

Keduanya tersenyum malu. Aktifitas saling menggoda mereka akhirnya terhenti dengan naiknya penumpang-penumpang lain ke angkot itu. Fajar dan Amil duduk berdampingan, tatkala angkot itu melaju, bahkan dengan entengnya Fajar bersandar dipundaknya. Saat itu memang hal seperti ini masih lumrah, orang-orang hanya menganggap itu hal wajar sebagai sahabat. Tentu beda dengan zaman sekarang yang begitu sensitif akan kedekatan dua lelaki.

Jujur orang-orang zaman sekarang seperti lebih welcome terhadap banci dibanding terhadap lelaki gay. Ya meski banci juga kerap dicerca namun mereka masih bisa tampil di depan umum tanpa perlu merahasiakan identitas kebancian mereka. Tentu berbeda dengan sepasang gay yang harus menjaga seluruh tindak tanduknya di lingkungan, jangankan berpelukan, bergandengan tangan saja rasanya sudah sangat berdosa sekali di mata masyarakat.

Amil membiarkan Fajar bersandar di bahunya, karena jujur dia bahagia melakukannya. Bahkan berharap sandaran Fajar di bahunya akan terus terjadi disetiap hari berikutnya. Angkot pun bergerak karena penumpang yang telah penuh. Fajar sendiri tak menggubris orang-orang yang heran melihatnya bersandar pada Amil, tapi bukankah hal itu lumrah saja? Toh dikelasnya yang semuanya lelaki hal seperti ini sering terjadi. Dia menganggap ini hanyalah sebatas rasa persahabatan, dia tak tahu bahwa orang yang disandarinya ternyata menyimpan cinta terpendam untuknya. Cinta yang tak kalah agungnya seperti cinta diantara seorang lelaki dengan seorang perempuan
***

DETAK [SELESAI]Where stories live. Discover now