“Bagaimana, pa?”

“Ai mampu?” tanya Tio kembali.

“Maksudnya?”

“Ai kan mudah sakit. Apa Ai mampu untuk ngikutin jadwal program yang padat itu? Kalau Ai merasa pasti akan kelelahan, papa sarankan tolak aja. Kalau Ai merasa nggak enak untuk menolaknya. Biar papa yang ngomong sama Si Ifrit. Kakakmu juga bisa kasih penjelasan. Kamu nggak harus merasa tidak enak. Opportunity baik nggak cuma ini kok. Di luar sana maih banyak kesempatan yang mungkin bisa membuka jalan karir Ari lebih baik lagi.”

“Tapi…” Kaia merasa dirinya tidak punya alasan kuat untuk menolak kesempatan ini. Memang, mungkin di luar sana akan banyak lowongan program magang yang lebih bisa dirinya kerjakan. Namun dengan privilege yang dimiliki nama salim rop, kesempatan emas ini tidak akan datang untuk kedua kalinya. Jika ditolak akan sangat mubazir. 

Selain itu yang membuat Kaia ragu, bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan jadwal yang padat. Namun keberadaan Prabas. Seandainya saja, kesempatan ini tidak ada sangkut pautnya dengan pria itu, Kaia mungkin akan seperti Seno. Menerima ini tanpa berpikir panjang.

Dan keesokan hari pun tiba dalam sekejap mata. Kaia, da keluarganya telah menemukan kesepakatan mufakat. 

Gadis itu masuk ke dalam lift dan menkan lantai sepuluh. Lantai dimana ruangan Direktur Utama berada. Kaia tiba lima menit sebelum jam yang dijanjikan. Beberapa memandang, melihat anak magang yang tak mereka kenal menyentuh lantai di mana sarang iblis berada.

Kaia mencoba untuk tetap tenang. Setiap langkah, ia mengatur nafasnya dengan baik. Ketika tiba di bagian ruangan Direktur Utama, Kaia bertemu dengan meja resepsionis yang berisikan dua asisten perempuan Prabas. Kaia menoleh ke arah meja kakaknya yang terlihat kosong.

“Selamat pagi, Bu,” sapa Kaia dengan sopan.

“Iya, ada yang bisa dibantu?”

“Saya ada janji dengan… Pak Prabas untuk jam sepuluh ini.”

“Ah… sebentar, ya.”

Kaia mencoba mengalihkan wajahnya ketika salah satu asisten di sana menatapnya dari atas hingga bawah. Kaia merasa dirinya tidak berpakain berlebihan. semuanya sesuai dengan dresscode kantor. Namun tatapan menilai dari perempuan itu membuat Kaia seperti sedang salah kostum.

“Pak Prabasnya ada di dalam. Silahkan masuk.”

“Terimakasih.”

Kaia diantar sampai ke dalam ruangan. Gadis itu tak berani melihat sekelilingnya. Namun satu yang kesan pertama yang Kaia miliki. Ruangan itu itu terlalu luas dan kosong untuk diisi oleh sebuah meja kayu besar, dua pot tanaman hijau dan empat sofa yang mengelilingi sebuah meja kopi yang terbuat dari kaca. 

“Selamat pagi, pak. Nona Kaia sudah tiba.”

Praba yang sedang sibuk membaca laporannya mendongak. Pria itu merapikan rambutnya sejenak dan menyuruh Kaia untuk masuk.

Setelah ditinggal oleh asisten tersebut, Kaia berdiri canggung di dekat pintu. Prabas yang berbalik untuk menelepon asistennya yang lain merasa aneh karena tidak mendengar suara langkah mendekat.

dan benar saja, saat ia kembali ke posisi semual. Kaia masih berdiri canggung di ujung ruangan.

“Kita nggak mungkin ngobrol dengan jarak sejauh ini kan? Kamu mau kita saling berteriak?” tanya Prabas yang menarik kursi di depannya untuk digunakan oleh Kaia.

“Ah, maaf.” Kaia pun bergegas meninggalkan tempatnya kemudian berlari kecil menuju meja kerja milik Prabas. Prabas tak lupa menyuruh Kaia untuk duduk karena jika tidak dipersilahkan, mungkin sampai pulang Kaia akan terus berdiri.

“Jadi… apa yang buat kamu datang ke sini?”

“Saya datang ke sini untuk menerima tawaran bapak untuk bisa bergabung dengan program magang perusahaan.”

“Okey,” jawab Prabas singkat.

Setelah Prabas memberikan jawaban pendeknya, terdapat keheningan yang menyelimuti keduanya. Kaia tidak tahu haus merespon seperti apa. Ia datang ke sini atas perintah Prabas yang untuk memberikan jawbannya. dan sekarang ia sudah menyampaikan ketersediaannya untuk bergabung. Lalu apa lagi?

“Sepertinya tujuan saya sudah tersampaikan. Kalau begitu saya izin kembali dulu. Terimakasih, Pak.”

“Belum semuanya.”

“Maaf?”

Prabas mengangkat cangkir porselein miliknya yang berisikan kopi. Kaia melihat cangkir itu. Itu adalah cangkir yang ia buat dan ia beirkan kepada Prabas saat mereka mengunjungi salah satu rumh pottery beberapa waktu lalu.

Warna pelangi dengan beberapa dekorasi gambar bunga terlihat sangat tidak cocok dengan ruangan minimalis yang hanya didominasi oleh warna hitam-putih. Prabas meletakkan cangkir itu dengan pelan pada tatakan kayu kecil di samping komputernya.

“Masih ada satu lagi yang butuh jawaban dari kamu.”

Kaia langsung mengerti apa yang diinginkan oleh pria itu. Prabas ingin jawaban Kaia atas tawarannya untuk sebuah hubungan pacaran dengan potongan hutang sebanyak sepuluh juta langsung. 

Kaia juga sudah memikirkan hal ini. Semua pilihan pasti ada konsekuensinya. Tinggal Kaia membandingkan benefit dan loss yang akan dihadapi ketika memilih nanti. Dan Kaia memilih untuk…

“Iya. Untuk tawaran sepuluh jutanya saya terima.”

***

Wahhh akhirnya couple ini nyusul jadian jugaaa. Kalian minta traktir apa nih ke Prabas?

Yang penting jangan jepit rambut aja, pasti dikasih ^^

Jangan Bilang Papa!Onde histórias criam vida. Descubra agora