Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh

Start from the beginning
                                    

"Loh, kamu belum berangkat?"

"Mama sama Papa belum berangkat?" Kariza bertanya balik.

Diana tertawa pelan saat Kariza justri menanyakannya balik. Wanita setengah baya itu mengulum senyum. "Ini mau pamit berangkat sama Atha. Kirain kamu udah pergi. Mumpung kamu belum pergi kenapa nggak ajak Atha nonton tandingnya aja?" usulan Diana langsung ditolak oleh Kariza dengan gelengan kepala. Kedengarannya bukan ide yang bagus.

"Mama aja bangunin dia. Riza berangkat duluan ya, Ma."

》》》

Sabtu pagi menuju siang Atha di masa lalu diawali dengan kerusuhan. Perempuan bermata coklat itu kelihatan frustasi setelah tidak berhasil menemukan kalung yang diberikan Nara semalam. Sampai Atha sudah membongkar kasurnya. Dia mengacak rambutnya pelan dan untuk yang kesekian kalinya menoleh kearah Faust.

"Lo beneran nggak ngelihat kalungnya?" tanyanya lagi untuk yang ke seribu kalinya sejak terbangun setengah jam lalu.

Dengan napas berat Faust lagi-lagi menjawabnya dengan gelengan kepala. Berpura-pura tuli dan memilih untuk tidak memberitahu Atha bahwa kalung pemberian Nara sekarang tengah dibawa oleh Kariza.

Meskipun begitu, Atha tetap bisa mengendus bau-bau kebohongan yang sengaja ditutupi Faust. Tapi dia sendiri tidak begitu yakin apakah makhluk itu berbohong atau tidak. Wajah datar dan tenang Faust sama sekali tak terbaca.

"Udahlah, nanti saja kubantu carikan pulangnya. Mending sekarang kita berangkat." balas Faust yang pada akhirnya mengakhiri aktivitas mencari Atha.

Atha beranjak turun dari kasur lalu mengambil tas ransel kecilnya―namun pandangannya terhenti pada seragam atasan SMA yang dipakainya kemarin. Dia tiba-tiba teringat sesuatu dan wajah Irina yang muncul dalam ingatannya pun menjawabnya. "Ah iya, Irina kemarin nitip sesuatu buat Kariza." ucapnya sambil merogoh kantung seragamnya, mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah makanan.

Permen.

"Permen?" Atha mengucapkannya dengan tidak yakin. Seolah dia baru saja salah ambil. Tapi ketika dirogoh kembali, Atha tidak menemukan apa pun selain satu buah permen rasa jeruk tersebut. Mengendikkan bahu, akhirnya Atha memasukkannya kedalam tas.

"Oh iya." dia meraih gantungan kunci buzz lightyear yang didapatkannya dari Nara dan memakaikannya pada resleting ranselnya sambil mengulum senyum. "Selesai. Bagus nggak?"

Faust hanya manggut-manggut. Atha memutar kedua matanya melihat reaksi Faust yang terlihat tidak peduli. Memilih tidak terlalu memikirkannya, Atha pun membalikkan badan dan berjalan pergi menuruni tangga. Rumah sudah sepi sejak Diana dan Erik pamit padanya untuk pergi ke rumah Bibi Kariza, Jilan, kalau tidak salah namanya.

"Faust." Atha memanggil makhluk itu setelah keduanya mulai berjalan keluar dari kompleks perumahan. Sejak keluar rumah, Faust mengekorinya dengan terbang di sisi Atha―dia terlihat sangat lucu karena mengubah dirinya lebih dulu menjadi ukuran seekor peri. Ditambah lagi, pendar biru di sekujur tubuhnya yang memikat.

"Mm?"

"Gue nggak tahu jalannya."

Faust mengerem sayapnya mendadak dan dengan berat hati menghela napas. Makhluk itu berkacak pinggang lalu memutar badan menghadap Atha. Iris matanya yang hitam kelihatan besar dan menggemaskan menatap Atha lekat. "Yah, apa boleh buat." ucap Faust kemudian menjentikkan jarinya dan boom! dia berubah kembali ke ukuran normal. Faust membentangkan sepasang sayap hitamnya lebar dan mulai melayang di udara lagi―kali ini makhluk itu mengulurkan sebelah tangannya.

"Pegang tangan aku, Athalia."

Atha meneguk ludahnya lalu menutup mata. Dia menerima uluran Faust dengan ragu. Namun dalam sekejap Faust menariknya, merengkuhnya dalam pelukan yang tidak terlalu erat sebelum terbang tinggi di langit.

Replaying UsWhere stories live. Discover now