"Kamu pinjam mobil lagi? Untuk apa? Aku turun di halte depan situ saja."

Setelah kaia menunjukkan tempat perhentiannya, Prabas melajukan mobilnya lebih cepat dan sengaja melewati halte bus dengan cepat.

"Pangestu!"

"Ups, hehe."

"Ups?" Kaia menoleh ke arah pria di sampingnya dengan kesal.

"Kaia, sebelum kamu banyak komentar. Aku bawa mobil ini karena ada keperluan."

"Kalau begitu turunin aku di halte bus terdekat. Aku mau pulang."

"Aku bisa antar," jawab Prabas masih mempertahankan senyum lebarnya karena merasa bahagia setelah melakukan harmless prank kepada gadis itu. Menjebak Kaia begitu mudah dan itu menggelitik Prabas membuatnya tak bisa berhenti tertawa.

"Ah, keperluannya sudah selesai dan sekarang aku baru mau pulang. Karena kebetulan ada kamu bagaimana kalau ak natar saja?"

"Tapi..."

"Kaia, santai aja. Nggak semua harus dipikirin. Uang bensin yang temanku waktu itu masih lebih banyak. Kita bisa pakai mobilnya lagi."

Kaia menghela nafas panjang. "Titip terima kasih lagi untuk temanmu itu."

Prabas mengangguk. "Sama-sama."

Kaia mengalah dan membeirkan alamat rumahnya. Prabas belum pernah mengunjungi rumah milik Kevin dan Tio Saujana. Ia tahu mereka berdua sedang sibuk dengan maka malam direksi nanti pukul tujuh malam. masih ada waktu dua jam sampai makan malam dimulai, Prabas punya banyak waktu untuk mengantar Kaia.

Mereka tiba di rumah milik Tio Saujana. Rumah dengan dua lantai berkonsep minimalis. Taman rumahnya cukup sederhana dengan semak-semak juga bunga hijau. Garasi kecil yang mungkin hanya muat untuk satu mobil.

Kaia mengambil tasnya.

"Kamu mau mampir dulu?" tanya Kaia berbasa-basi.

"Boleh," jawab prabas dengan enteng.

"Eh?"

Kaia tak siap bahwa pria itu akan menerima tawarannya. Ia pikir Prabas akan menolak seperti kebanyakan temannya dulu. Prabas memarkirkan mobilnya dengan rapi kemudian mematikan mesin dengan cepat. Pria itu berlari cepat ke sebelah untuk membukakan pintu mobil untuk Kaia.

Bukan begini seharusnya. Seharusnya Prabas menolak ajakan Kaia, bukan justru menerimanya. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Kaia sudah terlanjur menawarkan dan Prabas menerimanya, jadi konsekuensinya adalah Kaia harus melayani tamunya dengan baik.

"Terima kasih," ujar Kaia setelah Prabas menutup pintu mobil kembali di belakangnya.

Kaia sedikit canggung karena sudah lama sekali rasanya membawa teman ke rumahnya. Terakhir ketika semester yang lalu ketika ia mengerjakan tugas kelompok salah satu mata kuliah. Itu pun beramai-ramai dan ada papanya yang menyediakan makanan.

Prabas berjalan di belakang Kaia sambil melihat skelilingnya. Perumahan di situ cukup tertutup sepertinya. Setiap rumah dibatasi dengan tembok juga pagar yang tinggi. Sama halnya seperti rumah milik Prabas tapi perumahan milik Tio Saujana jauh lebih sederhana.

Prabas melihat Kaia yang melepas sepatu dan diletakkan di rak kayu di samping pintu. Ia meniru cepat dan mengucapkan salam ketika masuk.

"Duduk dulu. Kamu mau minum apa? Ada teh hijau, jus jeruk sama teh melati."

"Um... ada kopi?"

"Ah... kopi... sepertinya masih ada."

"Kopi boleh deh."

Kaia tertawa kecil dan mengangguk. Sepertinya tamunya satu ini sedikit berbeda. Pada umumnya tamu normal ketika ditawari minuman mereka akan menolak atau memilih sesuatu yang tak akan merepotkan pemilik rumah.

Prabas berhenti di dinding yang penuh akan foto-foto lama milik Kaia. Di bawahnya terdapat kabinet kayu coklat yang juga penuh akan foto keluarga Saujana. Namun sebanyak apapun Prabas melihat, ia tidak menemukan satu pun foto ibu Kaia.

Senyumnya terukir melihat salah satu foto Kaia di masa kecil. Pria itu mengambil pigura tersebut dan dilihatnya dengan lekat. Gadis itu tertawa lebar dengan gigi berlubang. Tangan Kaia terangkat ketika Tio mengangkatnya tinggi-tinggi. Kevin malu-malu memeluk kaki papanya sambil melihat ke arah kamera.

"Cutest little peanut..." Prabas tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya melihat foto kelulusan TK Kaia. mengenakan toga yang kebesaran anak itu tersenyum namun matanya sembab seperti barusan menangis. Prabas melirik ke arah dapur tempat Kaia menghilang. Tangannya bergerak sendiri untuk mengeluarkan foto kecil itu dari piguranya.

"Pangestu? Mau pakai gua?" tanya Kaia melongokkan kepalanya di pintu dapur.

"Tidak usah gula."

"Okey, kamu tunggu di sofa dulu ya."

"Hm-hm."

Tangannya kembali bergerak mengutak-atik foto TK Kaia tersebut kemudian masukkan selembar foto ke dalam saku jasnya. Ia menyembunyikan pigura kosong tersebut ke tempat lain.

Bersamaan dengan Kaia yang tiba membawa kopi juga sekotak buah-buahan, Prabas pun duduk di sofa.

"Aku lihat semua foto di sana tapi nggak lihat foto mamamu," ujar Pabas membuat raut wajah Kaia berubah.

Gadis itu duduk di seberang Prabas dan tersenyum kaku.

"Ah... mama sama papa sudah cerai lama. Aku sama kakak dirawat sama papa."

"Oh, maaf."

"Nggak apa-apa. Itu sudah sangat lama aku nggak pernah ketemu sama mama lagi jadi... udah lama beranjak dari masa lalu."

"Mamamu nggak pernah berkunjung lagi?"

Kaia mengangguk. "Karena sudah meninggal akibat kecelakaan. Beberapa bulan setelah perceraian."

Dua kata itu membungkam Prabas sepenuhnya. Sepertinya itu bukan topik yang baik untuk dibicarakan saat ini. Pria itu menoleh sekelilingnya untuk mencari topik lain.

Kaia sudah lama melewati fase kesedihan itu. Ia tidak lagi menangis semalaman untuk mencari mamanya. Kaia yang masih kecil tidak tahu apa-apa tentang konflik orang dewasa. Tapi setelah dewasa, di usianya ke delapan belas tahun, kakaknya menceritakan semuanya kepada Kaia. Tentang alasan mengapa kedua orang tuanya berpisah dan bagaimana mamanya meninggal di sebuah kecelakaan lalu lintas.

Rasa getir itu memang masih ada. Tapi ia mencoba melihat semuanya di sisi yang terang. Meliat perjuangan papanya yang tetap bertahan setelah semua pengkhiatan juga kehilangan orang yang dicintainya. Papa sudah berusaha sebisa mungkin untuk merawat mereka. Kaia ingin membalas kasih syanga itu dengan batiknya, Salah satunya adalah dengan tidak membawa-bawa masa lalu lagi di kehidupan mereka.

"Oh, bagaimana proposalmu? Apakah sudah diterima?" tanya Prabas mengalihkan pembicaraan mereka.

"Masih menunggu keputusan ketua tim untuk memutuskan, soalnya ada dua proposal lain yang bagus. Jadi Bu Martha masih mempertimbangkan," jawab Kaia.

"Begitu rupanya... tapi aku percaya kalau proposal kamu diterima.

Kaia mengangguk. "Semoga saja."

***

Pipipi! Ada pencuri! Pak Tio, rumah Anda kebobolan, Pak!

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now