3. NEW STORY

28 8 2
                                    

Cahaya yang remang-remang ditambah dengan awan yang gelap membuatnya harus mengerutkan dahinya agar bisa melihat jelas siluet di depannya itu "iya?"

"Itu, pena milik saya yang tertinggal." jelasnya

1 sumber cahaya di halte itu tiba-tiba saja mati membuat sekitarnya menjadi gelap.

Xana seperti orang bingung, ia takut orang di depannya ini orang jahat yang ingin berbuat hal yang tidak-tidak kepadanya.

Xana cepat-cepat merogoh tas selempang yang dia gunakan, untuk mengambil ponselnya, segera menyalakan senter, sosok yang didepannya hanya memperhatikan tanpa niat untuk membantu.

Setelah Xana menyalakan senter ia menyorot langsung kepada sosok lelaki yang ada dihadapannya, sampai membuat sang empu menutupi  wajahnya dengan telapak tangan kekarnya.

"Saya hanya ingin mengambil pena itu lalau pergi, jangan panik seperti itu." Ia tertawa kecil, menertawakan Xana yang panik ketakutan.

Xana menganga, lalu ia meng off kan senter di ponselnya itu

Gadis itu segera berdiri lalu menunduk malu, Xana langsung menyodorkan pena yang ada ditangannya "Maaf, aku sungguh minta maaf."

Sosok pria itu tertawa renyah. "tidak pa-pa, wajar untuk takut pada saya karna tiba-tiba menghampiri wanita yang sedang sendirian. Bolehkah?" Sosok pria itu menunjuk ke arah kursi kayu tua meminta izin agar dirinya bisa duduk.

Xana menjadi kikuk sendiri "silahkan." Ia sendiri mendudukkan dirinya

Setelah sekian banyaknya menit yang terbuang mereka hanya saling diam menikmati jalanan kosong yang diguyur hujan, siapapun yang melihat pemandangan hal itu akan terhipnotis atas keindahannya, "kau sendirian?, tidak takut?" Tanya pria itu agar bisa mencairkan suasana.

"I-iya, sedikit. tapi aku harus pulang tidak ada halte lain selain ini jadi terpaksa." canggung Xana, ia merutuki dirinya sendiri karna begitu jelas bahwa dia merasa gugup.

"Syukurlah saya kembali ketempat ini, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi,"

"dunia ini penuh dengan orang-orang brengsek, jadi kau harus berhati-hati. Jangan percaya pada siapapun manusia tidak ada yang benar-benar tulus membantu, kecuali ada yang ingin dia dapatkan dari orang itu. Bahkan diri saya sendiri,"

"Karna semua toko sudah tutup disana," Xana menunjuk ke-arah kirinya yang tadi ia lewati "Dan saya ingin cepat pulang."

Tiba-tiba saja angin kencang payung yang lelaki itu bawa terhempas jauh, bahkan sudah tidak ada dari pandangan mereka.

"Payung anda!" Xana memekik panik, berbeda dari sang tuan dia hanya tersenyum

"Tak selamanya payung bisa melindungi kita dari air hujan, sesekali kita juga harus merasakan jentikan air hujan yang membuat tubuh sakit, dan dingin anginnya. Bila payungnya suatu saat rusak kita sudah terbiasa." Ia menatap jalanan kosong

"Lalu kau pulang?" Refleks Xana, pertanyaan yang bodoh menurutnya.

"Saya akan menunggu bis, anda sendiri?," ia balik mempertanyakan.

"sama seperti anda." Singkat, Xana tidak tahu mau menjawab apalagi.

"Bagaimana anda bisa tau pena nya tertinggal di sini?" Xana sangat penasaran, bagaimana lelaki ini menggunakan otaknya sampai-sampai dia mengingat pena nya tertinggal di halte.

"Hanya tempat ini yang saya singgahi selepas dari perpustakaan."

Xana mengangguk mengerti "pena anda sangat indah, itu sangat klasik." Xana mengakui pena miliki lelaki itu sangat indah sampai ia berfikir untuk memajangkan di museum nasional Jakarta

"Terimakasih, ini hadiah pertama yang orang tua saya berikan sewaktu duduk di bangku sekolah menengah pertama, ini sangat berharga." jelas lelaki itu sambil tersenyum menampilkan lesung pipinya, sepertinya ia mengingat pada jaman dia masih duduk dikursi SMP terlihat jelas dari pahatan senyumnya dia terlihat bahagia.

"Bukan kah? barang berharga seharusnya tidak kau bawa kemana-mana, karna terlalu berharganya. bila tadi tidak ditemukan olehku, dan ditemukan oleh orang yang jahil bagaimana?"

"Karna ini sangat berharga, saya akan membawanya kemanapun. Pena ini seakan menjadi jimat kemanapun saya membawanya saya akan selalu berhasil, dan untuk mendapatkan pena ini. saya harus mengorbankan masa kanak-kanak yang dimana seharusnya seukuran untuk umur anak sekolah menengah pertama sangat gemar bermain dengan teman-temannya."

Sorot mata seseorang memang tidak bisa berbohong, seperti yang Xana lihat sekarang, lelaki itu menyimpan kenangan indah sekaligus bencana.

"Anda sangat beruntung, saya pertama kali masuk sekolah menengah pertama tidak mendapatkan apapun." Xana tidak tahu apa yang dia sendiri bicarakan. Pria itu tertawa seolah mengejek Xana, tapi ia tidak bermaksud.

"Jega, Eljega Vandiaga." Ucap tiba-tiba pria yang duduk disebelahnya "hah?" Jawab Xana bingung.

"Nama saya. Namamu?" Xana mengangguk ia mengerti sekarang "Xana, Haxana Iccaza."

ONLY ME, AND RAIN. (ON GOING)Where stories live. Discover now