27. Jangan Menghilang Lagi

143 9 0
                                    

Apa kabar reader...?
Selamat membaca...
Share baiknya, diskusikan buruknya

Kini kompetisi Next Level yang pernah Lintang ikuti tiga tahun lalu semakin besar. Jika tiga tahun lalu baru beberapa brand saja yang mendigitalisasi usahanya, tahun ini justeru tema utamanya adalah bisnis rintisan berbasis aplikasi. PC (Pertama Corp) milik Lintang kembali turut serta, dengan dipimpin oleh Arga. Namun, uniknya kali ini menjadi pembimbing dari brand KANTORAN yang kini sudah tak lagi bersama dengan Raya. Kini Raya sudah memenuhi mimpinya berada di jabatan tertinggi sebagai komisaris penyelenggara. Namanya juga kian bersinar dan semakin cantik dengan berbagai tempelan brand ternama di seluruh penampilannya. Sekaligus jaraknya semakin tak tersentuh oleh kedua temannya.

"Bu Sal, karena Arga sangat sibuk jadi saya titip saja," kata Sinar. Ia mengajak bu Sal bertemu, berdua saja saat jam istirahat makan siang.

"Apa ini?" Tanya bu Sal, mengarah ke dompet pouch berukuran A5 yang diberikan padanya,

"Ini kunci loker kantor saya yang berisi berbagai file penting dan juga kelengkapan data blue print, serta berbagai data keuangan," kata Sinar.

"Oh iya, kamu kan mau cuti seminggu," kata bu Sal. Namun, ia juga merasa janggal, "Eh, tapi kalau cuman mau cuti, kenapa sampai kaya mau pergi lama sih?"

"Pokoknya titip aja. Nanti tolong buka saat sudah ada kabar dari saya aja ya," kata Sinar.

"Siap..." balas bu Sal. "Lintang sudah tahu?" Tanyanya, kemudian.

Sinar hanya mengangguk, tanpa jawaban pasti.

Saat sore hari tiba pada hari tersebut Sinar berjanji pada Alir untuk menemaninya merakit mini studio. Rencananya Alir ingin membuat kanal youtube yang akan menayangkan konten crafting. Namun, sebelum itu Sinar terlebih dulu ke dokter yang sedang praktik di RS tempat ayahnya dirawat.

"Gimana dok, hasilnya?" Tanya Sinar. Beberapa hari yang lalu ia baru saja melakukan pemeriksaan kanker yang sempat terdiagnosa pada tulangnya.

"Apa yang kamu tanyakan? Setahun ini saya sudah membujuk kamu untuk chemotherapy." Rupanya kini tak hanya kaki palsu, Sinar juga mengidap kanker seperti ibunya, yang meninggal setahun setelah melahirkannya.

"Akan saya putuskan minggu depan ya dok."

"Selalu kata itu lagi," balas Dokter. "Sinar, bertahan hiduplah demi ayahmu," imbuhnya.

Sinar hanya tersenyum. Di lubuk hatinya belakangan ini ia mulai berpikir, "Sebenarnya demi siapa aku hidup dengan segala aturan ini? Suntik insulin, periksa darah sebelum makan. Jaga pola makan, sampai mengganti kaki dengan yang palsu agar aku terlihat lebih optimis dalam hidup. Faktanya, hidup yang panjang tidak ditentukan oleh bertahan demi siapa, tapi karena Tuhan masih menghendakinya."

Saat melintasi lorong untuk ke ruang dokter ia melihat ada Lintang di sana. sedang mengisi kegiatan bercerita yang diadakan RS. Hal itu dilakukan untuk kesehatan spiritual para pasien lansia. Lintang awalnya hanya menawarkan diri untuk mencoba melakukan demi keperluan konten saja. Namun ternyata suara lembut dan cerita tentang para Nabi, serta berbagai cerita hikmah yang ia antarkan penuh cinta kasih membuat para pasien senang. Bahkan tak jarang beberapa perawat juga ikut mendengarkan. Saat itu Sinar juga langsung duduk untuk ikut mendengarkan.

"Mbak Lintang , apa Nabi kita pernah ditinggal mati anaknya?" Tanya ayah Sinar. "Apa dia bersedih?" Imbuhnya.

"Oh iya, pernah. Di saat putra Nabi Muhammad yang bernama Ibrahim wafat. Allah mengambilnya pada usia balita, tepatnya 18 bulan dalam hitungan bulan Hijriyah disebabkan oleh sakit. Ibrahim bin Muhammad menghembuskan napas terakhirnya dalam dekapan sang ayah. Lalu sang Nabi berkata dengan berlinang air mata yang tak terbendung, "Ini adalah air mata kasih sayang. Air mata yang mengalir deras karena kesedihan. Namun, kita tak akan mengatakan yang tak diridhai Allah. Sungguh aku bersedih atas kepergianmu wahai Ibrahim, putraku..."

Lintang masih terus melanjutkan kisahnya, "Jadi, air mata kesedihan Nabi atas kehilangan putranya itu beliau sebut air mata rahmat, di mana dalam keadaan tersebut ada proses merelakan."

Setelah itu tiba-tiba ayah Sinar berdiri dan menggandeng tangan Sinar untuk ia ajak berdiri juga, seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting pada semua orang.

"Teman-teman semuanya... perkenalkan, ini anak saya namanya Sinar," ucapnya.

"Yah, semua orang sudah mengenal saya," kata Sinar, malu.

"Dia cantik kan? Dia juga sangat baik dan pintar. Doakan anak ini berumur panjang. Jika Nabi saja tak sanggup menahan tangisnya saat sang anak pergi, apalagi saya," ucap sang ayah di depan semua orang.

"Ayah..." Ucap Sinar, sembari menatap lembut wajah ayahnya yang sedang sadar dan ingat betul bahwa Sinar adalah anaknya.

"Hiduplah dengan berumur panjang dan bahagia. Kamu adalah satu-satunya harta yang kumiliki di dunia ini," balas ayahnya. Air matanya menetes pelan, demikian pula dengan Sinar. Dadanya terasa penuh. Lalu ia pun memberikan pelukan erat pada sang ayah, tanpa ada kalimat apa pun. Tentu saja keadaan berubah jadi serba haru juga terasa hangat di saat yang sama.

***

Selepas kegiatan bercerita Lintang menumpang mobil Sinar seperti biasa.

"Apa kata dokter?" tanya Lintang.

"Nggak ada capek-capeknya dia minta aku buat chemo," jawab Sinar.

"Terus?"

"Jangan bahas ini deh," kata Sinar. "Lin, sorry aku baru bilang ini. Aku ambil cuti seminggu dari kantor," lanjutnya.

"Mau ke mana? Aku ikut," balas Lintang cepat.

"Sore ini aku langsung berangkat. Memangnya kamu nggak izin dulu sama Damar, sama anak-anak?" kata Sinar.

"Ok, kita ke rumahku dulu. Aku pamit, beres-beres, terus baru kita bareng-bareng berkemas di rumah kamu," paksa Lintang.

"Lin..."

"Apa...? Mau ngilang kaya dulu lagi kan? Nggak akan terjadi, kesehatan kamu sudah buruk banget sekarang," omel Lintang. Dan akhirnya Sinar menurut saja.

Tak sulit mendapatkan izin dari keluarga Lintang.

"Mas, beneran aku nggak papa pergi?" Tanya Lintang pada Damar, yang saat itu sedang serius membereskan bekas makannya sendiri.

"Aku yang justeru mau tanya sama kamu. Apa nggak ada masalah kalau aku gantikan semua pekerjaan kamu? Berberes rumah, mengurus anak-anak, dan... menunggu kamu pulang," gombal Damar.

Lintang tersipu malu. "Ih, makin pinter aja gombalnya, geli tau..."

"Ya udah, yuk, aku bantu berkemas, biar berangkatnya nggak kemaleman."

***

Kemudian Apa...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang