18. Saling

125 11 14
                                    

Drama pertemanan itu sama saja seperti hubungan lainnya. Kadang baik, kadang kurang baik.
Yang penting semoga semua pembaca karya saya selalu dalam keadaan baik.

"Jadi gini Mas. Pihak penyelenggara sedang menangani ini mulai dari masalah isu dan keamanan perangkat para peserta, juga keamanan kantor. Terus, kak Sinar juga sedang tangani soal kebobolan di perangkat lunak yang kita pakai," jelas Arga pada Damar dan bu Sal.

"Pertama Corp kita sudah keluar banyak uang untuk support kompetisi ini. Harusnya kalau mau bikin brand baru, langsung bikin aja. Nggak perlu ikut kompetisi dengan CEO baru yang kita semua juga belum kenal baik," kata bu Sal.

"Bu Sal, dijaga tuh mulutnya. Kak Sinar sama Mbak Lintang itu sekarang lagi kena serangan mental," balas Arga.

Baru beberapa detik mereka saling diam, tetiba ponsel Arga berdering. Ada panggilan masuk dari Sinar.

"Iya kak," kata Arga.

"Ke kantor THE NEXT, sekarang ya. Ada hal penting yang harus kamu lihat," kata Sinar.

"Siap," jawab Arga. Lalu panggilan berakhir.

"Saya coba ngomong sama Lintang sebentar," pamit Damar.

Saat Damar masuk kamar Lintang masih berbaring meringkuk di ujung kasurnya.

"Lin, ada panggilan ke kantor, kalau kamu pergi aku bisa temenin. Anak-anak ikut juga nggak papa kan?" Damar berbicara pelan pada Lintang.

"Aku belum bisa ketemu siapa-siapa. Tapi ini penting, jadi tolong kamu yang pergi ya," tulis Lintang di ponselnya.

"Ya udah, aku pergi ya," pamit Damar. Ia kecup kening dan pundak istrinya.

***

Damar pergi dengan Arga, sedangkan bu Sal langsung kembali ke kantor Pertama Corp. Begitu sampai di lokasi THE NEXT, mereka langsung menuju ruang komputer pusat. Di sana sudah ada Sinar bersama dengan Raya.

"Gimana kak?" Tanya Arga.

"Sistem keamanan aplikasi saat ini cukup, dengan tingkat keamanan menengah," jelas Sinar, singkat.

"Dampaknya...?"

"Untuk sementara kita tak bisa dapatkan pengunduh baru. Itu sengaja harus dilakukan," jelas Sinar.

"Sorry kalau saya ikut campur." Damar membuka komentarnya. "Mbak Sinar mungkin tipe pemrogram yang lemah di bagian security. Jadi saran saya lebih baik kita temukan rekayasa sudut pandang foto-foto kemarin," lanjut Damar.

"Untuk apa?" Tanya Sinar.

"Kemarin itu data untuk presentasi tetiba menampilkan file yang di-remote dari jauh oleh seseorang. Begitu kan?" Kata Damar.

"Iya," kata Sinar.

"Nah. Itu bukan orang lain. Temukan kedok rekayasanya dulu, dia pasti akan datang sendiri untuk memperbaiki. Pasalnya, kita akan sulit bertahan kalau dia tidak menyesal atas apa yang dia lakukan. Orang itu bisa jadi tersangka kejahatan IT, asalkan kita bisa temukan titik rekayasanya," jelas Damar, panjang.

"Dio tidak mungkin datang, saya juga tidak akan melihatnya lagi," ucap Sinar.

"Bukan seperti itu cara menghentikan kecurangan," kata Damar. "Saya akan bantu untuk ungkap sudut pandang pengambilan fotonya. Mana laptop yang kemarin dipakai?" Damar serius.

"Sorry, saya keluar ya. Ini mungkin urusan internal kalian," pamit Raya, keluar ruangan.

Bukan hal sulit bagi Damar untuk menyelesaikan hal semacam itu. Bekerja di pemrograman mesin kasir juga membawanya pada pengalaman melacak jejak kejahatan digital.

"Saya keluar sebentar," Sinar merasa canggung jika nanti Damar membuka foto-fotonya bersama Lintang.

"Tak perlu canggung. Ini semua akan berlalu," kata Damar.

Sinar kembali duduk di kursi komputer ruangan tersebut yang sedari tadi ia gunakan. Tak mungkin Sinar tak canggung, yang sedang menangani foto-fotonya itu adalah suami dari orang yang pernah ia sukai.

"Ini kopinya," Arga menyuguhkan secangkir kopi pada Damar, "Kalain berdua ini bikin saya bangga sekali lo berada di tim ini," kata Arga.

"Bangga? Karena kena masalah besar?" Tanya Sinar.

"Ih kak Sinar kok ngomongnya gitu sih," balas Arga.

"Sudah," Kata Damar, sembari memundurkan tempat duduknya dari layar komputer. "Foto-foto ini hanya masalah rekayasa sudut pandang, terus ada juga yang pakai editing. Kita bisa laporkan ini sebagai kejahatan IT, dan pencemaran nama baik," jelas Damar.

Sinar dan Arga tepuk tangan, "Kereeen," komentar Arga.

"Ya udah, saya langsung pamit ya," kata Damar. "Laporan detilnya sudah saya cantumkan semua, sudah saya email juga," lanjutnya.

Lalu Damar beranjak keluar dari ruangan. Sinar dan Arga turut serta mengantarnya sampai ke parkiran.

"Mas Damar, maaf soal..." ucap Sinar, terputus.

"Kamu sama Lintang?" balas Damar. "Setelah kuungkap foto-foto tadi, itu terlihat seperti foto normal antara perempuan. Mamaku dan kakaknya, biasanya juga begitu," jelas Damar tanpa beban.

"Aku juga nggak percaya sih kak," kata Arga. "Kan emang mbak Lintang itu baik dan hangat gitu sama semua orang," imbuhnya.

"Tuh, bener kata Arga," kata Damar. "Oh iya. Tolong bereskan masalah ini, dan tadi semua foto Lintang sudah saya samarkan, dia paling nggak suka dipublikasi. Kalau proses sudah selesai mohon jangan ada yang simpan atau memposting lagi. Kalian berdua juga tetep semangat ya." Demikian Damar menutup pertemuan.

Dia adalah orang yang tepat di waktu yang tepat

Dan aku hanyalah waktu yang jadi rumit pada cinta yang sulit

***

Sementara itu Raya terjebak perdebatan seperti biasa dengan suaminya. Kali ini hanya perkara suaminya sudah terlalu lama menunggunya di parkiran.

"Biarkan saja teman kamu itu terkena isu, toh beritanya juga sudah menyebar. Sudah kubilang, kamu tidak perlu menjadi serepot ini untuk membuktikan sesuatu pada orang lain kalau kamu cukup layak di dunia bisnis," kata Firman, keras.

"Udah ya mas, kita langsung cari makan saja," balas Raya.

"Aku belum selesai," kata Firman, jengkel.

"Ok, aku harus apa?"

"Berhenti...!"

"Nggak bisa," balas Raya, cepat. "Dari hasil survei, 85% rata-rata peserta di sini bergabung karena melihatku sebagai influencer. Namaku punya pengaruh besar dalam event ini. Bahkan Lintang yang dulu mentorku, sekarang ini dia jadi peserta di bawah penilaianku," jelas Raya.

"Dan nama besar kamu itu adalah karena kamu istriku. Itu juga dari image baik keluarga kita di mata banyak orang," kata Firman, menyakitkan.

Raya tak tahan lagi, ia lepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil lalu berjalan cepat. Firman mengejar istrinya, memaksa menarik lengan Raya untuk dijatuhkan ke pelukannya. Tentu itu bukan hal sulit.

"Jangan tantrum di sini, ini parkiran umum, ada cctv," bisik Firman.

Raya semakin ingin melepaskan pelukan tapi Firman yang seorang motivator kejiwaan itu selalu punya jurus menenangkan Raya dalam pelukannya. "Tenaang... i love you, so please, kita kembali ke mobil," kalimat itu terucap dengan tensi tenang yang cukup mampu membuat Raya tak memiliki pilihan selain takluk.

Kemudian Apa...?Where stories live. Discover now