14. Berani Mencintai

136 14 10
                                    

Selamat membaca...
Terima kasih, sudah bersedia singgah sampai bab ini.

Masa lalu.

"Aku kabarin ibu kamu ya, kalau kamu sakit," kata Sinar, sambil memberikan obat dan segelas air pada Lintang.

"Nggak usah, besok juga udah baikan," kata Lintang.

"Nanti kalau aku sudah pergi, kamu jangan suka kaya gini. Kalau sakit cepetan ke dokter,"

"Besok, kita jalan yuk," ucapan Lintang itu terkesan memang ingin mengalihkan pembicaraan.

"Ke mana? Orang badan kamu masih panas gitu," kata Sinar. Ia letakkan tangannya di kening dan di lehar Lintang.

"Besok sembuh. Kita jalan ke tempat wisata, naik gondola, kita nikmati apa pun yang biasanya dilakukan orang-orang sebelum berpisah," jawab Lintang, ia turunkan tangan Sinar dai keningnya, lalu menggenggamnya. Ia memohon dengan tatap yang polos seperti adik kecil.

"Ok. Tapi kamu harus sembuh ya," balas Sinar.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Lintang sudah sangat bersemangat. Sinar hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.

"Harusnya dari awal kamu bilang kalau kamu pengen jalan-jalan," celetuk Sinar, sambil memakai sepatu. "Ini beneran udah sembuh ya?" Lanjut Sinar.

"Udah, beneran," kata Lintang.

Mereka bermain riang di sebuah tempat wisata outdoor yang cukup ternama, mereka tiba paling awal, 10 menit sebelum buka. Kalau akhir pekan mungkin sudah ramai, tapi karena itu adalah hari selasa jadi masih sepi pengunjung. Mereka menikmati satu persatu semua wahana, tawa riang terus mengembang di wajah mereka.

Sampai tiba lah saatnya makan siang.

"Si, kita ke sana yuk," ajak Lintang.

"Eh, makan siang dulu aja," ajak Sinar. Tanpa menunggu persetujuan ia langsung membawa Lintang masuk ke food court.

"Pak, saya pesan soto ayam, banyakin ayamnya, nasi dipisah, banyakin daun bawang sama bawang gorengnya," Sinar memesan itu untuk Lintang. "Satunya lagi nasi setengah porsi, langsung campur kuah," lanjutnya memesan makanannya.

"Ih, maen pesenin aja, emang aku udah pasti cocok?" komentar Lintang.

"Kebangetan sih, kalau nggak cocok. Aku itu tadi udah sok perhatian gitu, sama kamu," balas Sinar.

"Flirting tuh sama cowok, bukan sama aku," kata Lintang.

Sinar tersenyum tak menjawab, sembari melemparkan tatapan tak berkedip, sengaja menggoda Lintang.

"Plis deh, jangan lihat aku kaya gitu, kucolok nih," kata Lintang.

Tak lama pesanan datang, mereka adalah tipe orang-orang yang kalau makan tidak sambil ngobrol. Maklum saja anak-anak muda yang jajan dengan uang sendiri memang biasanya begitu. Selesai makan Sinar mengeluarkan obat dari tasnya. "Nih, diminum. Tadi itu hampir tertinggal loh," ucapnya.

"Iya mah," ucap Lintang, meledek Sinar dengan panggilan mama, karena perhatiannya yang sudah seperti ibu-ibu."Makasih." Imbuhnya.

Selesai makan mereka lanjut dengan berkeliling lagi, main game, dan juga naik wahana apa pun yang ada, kecuali wahana yang mendebarkan. Mereka berdua sama, tak berani. Tak lupa mereka juga berfoto setelahnya, yang terakhir mereka putuskan naik gondola. Jelas saja mereka tidak takut, di mana-mana yang namanya gondola pasti jalannya pelan.

Mereka duduk berjejer meskipun harusnya bisa duduk berhadapan.

"Kok rasanya aneh ya Si," kata Lintang. "Aku duduk situ aja," Lanjutnya, sembari pelan-pelan berdiri mau pindah duduk di kursi depannya.

"Di sini saja," Sinar mengisyaratkan Lintang untuk tetap duduk di sebelahnya. Sangat dekat terjebak pada tatap, desir asing yang terasa hampir sama di antara keduanya datang tak terkendali. Menyusuri seluruh lekuk wajah yang begitu penuh dengan kata cinta, "I Love U..." kalimat itu begitu jelas dalam raut mereka.

Cinta itu bertemu, tatapan terarah lurus ke bibir, semakin dekat hingga hanya terpisah oleh udara tipis yang berhembus dan tertahan. Lintang tersadar, langsung meninggikan tubuhnya dan memberi kecupan lembut di kening Sinar. Air matanya menetes pelan, kemudian menjadi berurai deras. Namun, kemudian gondola berhenti. Lintang keluar lebih dulu, dan berjalan cepat seakan ingin menjaga jarak langkah dari Sinar.

"Lin, maaf, tadi..." Sinar mendekati Lintang.

"Kita duduk di situ," kata Lintang. Ia tunjuk sebuah bangku duduk dari kayu.

Keduanya terdiam cukup lama, sampai akhirnya Lintang membuka kalimatnya.

"Si, terima kasih sudah mencintaiku sebegitunya. Aku, dan mungkin kita, sudah sama tahu jika hubungan ini tak akan ke mana," kata Lintang.

"Iya, aku tahu. Maaf, tapi juga terima kasih sudah membalas rasaku. Setidaknya patah hati pertamaku karena aku harus menyerah pada aturan Tuhan. Ini, mungkin adalah hal terbesar yang kulakukan saat menjadi dewasa," ucap Sinar.

Terdiam lagi, keduanya saling tatap, dan lagi-lagi hanya air mata yang bicara. Sinar berdiri, lalu menggandeng tangan Lintang untuk pergi meninggalkan tempat itu. menuju parkiran motor, dan melaju pergi ke sebuah jembatan yang bawahnya ada lintasan kereta api.

"Mau apa kita?" Tanya Lintang, bingung.

"Sebentar lagi kereta lewat, nanti kita teriak keras-keras, biar lega," kata Sinar.

Benar saja, sebentar kemudian kereta panjang melintas.

"Terima kasih Tuhan... Kau berikan keberanian padaku untuk mencintainya..." demikian teriak Sinar.

Lintang tak mengikuti, ia lihat lekat sahabatnya itu, lalu saat riuh kereta lewat sudah berhenti, ia dekap tubuh Sinar dalam peluknya, badannya terguncang hebat. Sinar tahu bahwa peluk itu tak ingin merenggang, ia pun berusaha menenangkan tangis Lintang.

"Besok-besok jangan patah lagi seperti ini," kata Lintang, sembari menyisihkan uraian rambut dari wajah Sinar.

"Kita hanya harus berhenti saling mencintai, kenapa tangismu seperih ini?" Ucap Sinar, menghapus air mata di wajah Lintang. "Nangisnya udah ya Lin, kita pulang, udah mulai mendung, takut kamu sakit lagi," lanjutnya.

***

Subuh di hari itu Lintang terbangun telat, jadi ia tak sempat bertahajud. Dirinya baru beranjak bangun saat adzan subuh berkumandang, langsung wudhu, kemudian shalat subuh. Usai shalat ia melihat sofa depan TV tempat biasanya Sinar tidur. Cukup terkejut waktu melihat selimut dan bantal sudah tertumpuk rapi, menunjukkan jika pemakainya telah pergi.

Hari itu menjadi hari di mana ia benar-benar kehilangan. Saat kemudian seluruh kata menguap tanpa suara. Ia tak sanggup lagi bertahan dalam segala sukar yang terduduk demikian dalam. Di mana pada minggu ke minggu berikutnya ia semakin tak tertebak apa yang disedihkan. Ia tak bisa bicara.

Lintang akhirnya pulang ke rumah orangtuanya. Namun, seperti biasa keduanya sedang dalam urusan kerja di luar negeri. Dan Lintang dalam sakitnya harus menunggu tiga hari lagi untuk dapat pelukan hangat dari Sang Ibu yang sejatinya dan seharusnya selalu hadir saat si buah hati patah di hati.

 Dan Lintang dalam sakitnya harus menunggu tiga hari lagi untuk dapat pelukan hangat dari Sang Ibu yang sejatinya dan seharusnya selalu hadir saat si buah hati patah di hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kemudian Apa...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang