10. Menjagaku

169 21 14
                                    

Bertahun yang lalu.

Pada suatu sore Sinar mengadakan pesta kecil di rumahnya, sekadar tumpengan dan doa bersama untuk keberangkatannya ke Jepang. Tak mengundang banyak orang, hanya kerabat dan teman dekat saja.

"Pak, kita mulai saja doa bersamanya," kata Sinar.

"Si, tapi Raya belum datang," kata Lintang.

"Nggak papa, kita mulai dulu saja,"balas Sinar, tanpa pertimbangan.

Sambutan sederhana dari ayah Sinar mulai disampaikan, lalu terakhir ditutup dengan kalimat doa baik untuk yang akan pergi, serta mempersilakan  tamu yang hadir untuk menikmati hidangan yang tersedia. Dua hingga tiga jam berlalu, kemudian para tamu pun pulang.

"Wah, selamat ya Sinar, nanti kalau sudah sampai di Jepang jangan lupa kirim-kirim foto," kata Pak Guntur. "Bangga sekali saya bisa pernah jadi bagian dari perjalanan belajar kamu," lanjutnya.

Semua orang memberi selamat dan doa baik sebelum pulang, hingga rumah itu kembali sepi. Hanya tersisa Lintang yang membantu tuan rumah berberes. usai shalat maghrib Lintang pamit pulang, tapi kemudian hujan turun deras. Dan Lintang terpaksa menginap.

Keesokan harinya ia segera pamit pulang saat masih cukup pagi, baru keluar kamar ia melihat sesuatu yang selama ini ia takutkan. Ayah Sinar marah tak terkendali sampai memukul keras punggung putrinya dengan posisi Sinar jongkok pasrah. Lintang tak bisa menahan diri, ia dekati ayah Sinar untuk menahan pukulan dengan tangannya sekuat tenaga.

"Bapak... tolong hentikan atau saya lapor polisi...!" Bentak Lintang.

"Jangan ikut campur ya, ini urusan saya sama anak saya," tak kalah sengit ayah Sinar membalas.

Lintang terdiam, detak jantungnya sangat kencang saat menatap nanar mata pria itu. Bagaimana tidak, ia bahkan tak pernah melihat kemarahan sebesar itu dari ayahnya sendiri. Segera ia buang muka, lalu membantu Sinar untuk berdiri dan membawanya pergi.

"Hei... kalian mau ke mana? Urusan kamu sama ayah belum selesai..." ayahnya terus mengomel dengan berbagai umpatan kasar. Sampai mereka berdua keluar dan membanting pintu.

Perjalanan menuju rumah Lintang dengan naik motor milik Sinar, Lintang yang mengemudi, sama sekali tak ada obrolan. Baru setelah sampai Sinar mencoba berbicara. Ia melihat Lintang tampak lunglai duduk di sofa.

"Aku tak pernah sanggup melakukan apa yang kamu lakukan tadi, aku..." ucapannya terputus.

"Apa...?" Tetiba Lintang berdiri dengan nada emosi yang tak sanggup dibendung.

"Lin, kamu tenang ya," kata Sinar.

Lintang malah mendorong keras pundak Sinar dengan kedua tangannya, sampai menekannya kuat hingga menempel ke dinding.

"Sakit...? Ini sakit kan?" Bentak Lintang.

"Lin, Tolong lepaskan," Sinar merasakan sakit dan tertekan.

"Lawan..." bentak Lintang, "Ayo lawan... kamu nggak pernah sanggup atasi tekanan, kamu juga selalu menyerah dengan keadaan," lanjut Lintang masih dengan tekanan tangannya yang tak ia lepaskan. "Sanggup melawanku? Tidak? Sinar... jangan menyerah saat ada yang menekanmu..." bentakan itu menjadi teriakan sangat keras yang kemudian menjadikan tubuhnya terasa lelah, ia pun melemaskan badannya, berjongkok, lalu menangis keras, tubuhnya gemetar. Sinar pun mendekatinya, kemudian Lintang menangis di pelukan Sinar.

"Si, nanti kalau kamu udah jauh dari aku, jangan menyerahkan diri pada orang-orang yang jahat sama kamu," bisik Lintang.

"Terima kasih sudah khawatir. Aku takut sama ayah, karena cuman dia satu-satunya orang yang kumiliki," balas Sinar.

Kemudian Apa...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang