4. Ssttt! 🤫 Kesurupan

401 78 33
                                    

SPESIAL BUAT ARUMTRI YANG SELALU NEROR UPDATE🥵

★SSTTT!!! 🤫 REATAMA★


"Author bangsat!" pekik Andrea seraya menepuk meja keras. Mendadak emosi jiwa menatap layar ponselnya yang menunjukkan lembar virtual novel Wattpad. "Gue santet juga, nih!"

"Ada apaan, emang?" tanya Lara. Menggeser kursinya mendekat pada Andrea. Mengintip ponsel cewek itu. "Kenapa? Dimatiin peran utamanya? Sad ending, ya?"

"Bukan!" jawab Andrea. Memberengut masam. "Masa iya di cerita ini tinggi ceweknya 166 dikata mungil! Lah, gue yang 151 apaan?! Kurcaci?!"

"Lah, gue yang 147 apaan, Rea? Kerdil!" Naya yang asyik ngobrol bersama Suep--pacarnya menyahut sebal. "Ngadi-ngadi bacaan lo. Skip aja udah. Emosi gue dengernya."

Bibir Andrea makin mengerucut ke depan layaknya bunga mawar belum mekar. Mendadak tak minat lagi melanjutkan bacaan yang padahal sempat membuatnya tertarik dan baper bukan kepalang. Namun, langsung dihancurkan hanya karena perkara tinggi badan.

Andrea menatap Naya yang duduk terpisah beberapa bangku di depannya. Lantas, meringis kasihan. 147 kelas dua belas SMA? Fix, bagi Andrea Nanya memang kerdil tidak sempurna. Sangat berbeda dengan dirinya yang--hem, sempurna. Hahaha.

"Cowoknya tinggi banget kali makanya dibilang mungil. Kayak Tama tuh, 189. Cewek 170 juga bakal tetap dibilang mungil kali sama dia. Produk luar, kan nggak pernah gagal, ya? Kadang juga pikiran gue melayang jauh kalau lihat dia," jelas Lara. Dia menggaruk sebelah pipinya yang kini memerah. Menyengir lebar. "Hem, gimana, ya ngomongnya? Gimana coba gue harus ngomongnya? Intinya besar banget pasti."

"Apanya?"

Lara makin menyengir. Mengedip sebelah mata menggoda, sedangkan Andrea hanya bisa mendengkus melihatnya. Sebab, dirinya tidak bisa melakukan hal menakjubkan seperti Lara--mengedip sebelah mata.

"Intinya, Rea. Badan Tama tinggi dan besar. Hehehe."

Andrea mencebik. Terlalu malas membahas tinggi badan. Dia merebahkan sebelah pipinya di atas meja, menatap Lara lekat. "Omong-omong, Tama itu yang mana?"

"Yang paling tinggi dan besar di kelas kita ini. Yang bule. Yang mata abu," kata Lara memberitahu. Dia sedikit menunduk. Berbisik pelan, "Yang duduk di bangku baris kedua. Di belakang Saka. Yang paling cakep."

Andrea menegakkan tubuh terkejut. Melotot. "Si Titan?!"

"Dia Reatama." Lara menggelengkan kepala. "Bukan Titan."

"Tolol!" sentak Andrea. Tidak menyangka pada Lara yang tidak mengerti maksud dirinya.

Melipat tangan di depan dada, mata Andrea berpendar tajam menatap bangku kosong kedua paling depan, di mana si Titan tadi duduk di sana. Benar-benar tidak menyangka jika dirinya akan bertemu lagi pada cowok itu di sekolah ini. Sekelas pula.

"Ah, bukan. Bukan takdir. Ini pasti cuma kebetulan. Pura-pura nggak pernah ketemu aja, ya, kan? Ck! Pinter amat gue buset!"

"Mau ke kantin nggak?" tanya Lara, membuat Andrea menoleh padanya. "Kalau mau, ayo! Sekalian gue ajak keliling sekolah."

"Bukan apa-apa, Ra. Gue takutnya langsung famous aja kalau gue keliling sekolah. Lo tahu sendiri, kan gimana ajib wa toyibnya pesona gue? Masya Allah!" ucap Andrea meringis seraya mengusap bibir penuh bagian bawahnya dengan ibu jari. "Gue udah capek dikejar para buaya jantan akibat terlalu cantik, Ra. Capek banget!"

Lara mencecap lidah sendiri. Terlihat enggan menanggapi. Dia melirik Laksa yang duduk diam di belakang mereka. "Sa, ayo ke kantin. Tinggalin aja Rea sendiri di sini. Ribet."

ReatamaWhere stories live. Discover now