18. Prewedding

46 7 1
                                    

"Sorry Na, tadi ada cewek mau nyebrang" tutur Wira beralasan.

Savana langsung melihat ke depan, mencari sosok perempuan yang disebut Wira barusan, tapi nihil. Tak ada seorang pun di depan, hanya ada mobil dan motor yang berlalu lalang mendahului mobil Wira.

"Mana? Gak ada?" tany Savana bingung.

"Udah pergi tadi, dia lari" dusta Wira dengan begitu lancarnya.

Savana tak mempermasalahkan lagi dan percaya saja. Mobil Wira kembali melaju perlahan.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di restoran. Setelah memesan makanan masing-masing, sambil menunggu pesanan datang, Savana menanyakan maksud dan tujuan Wira mengajaknya bicara empat mata.

"Jadi? Apa yang mau mas omongin?" Tanya Savana tajam. Ia memicing memerhatikan ekspresi Wira yang datar seperti biasanya.

"Kangen aja pengen ngobrol sama kamu, emang gak boleh?" Sahut Wira enteng.

Savana langsung mengangkat telapak tangannya mengarah pada pria itu, "Stop! Orang lain bisa salah paham kalau denger ucapan mas Wira" ucap Savana yang kemudian menurunkan kembali tangannya.

Wira sedikit kecewa dengan reaksinya, tapi Savana benar Leo pasti salah paham jika mendengarnya. Untuk mencairkan suasana, Wira pun tertawa pelan.

"Serius banget Na? Saya cuma bercanda!"

Savana terdiam menahan emosi, lagi-lagi Wira begitu. Pria itu mudah sekali menjadikan segala hal sebagai bahan candaan. Savana tak suka dan sakit hati karenanya.

"Tolong jangan bercanda kaya gitu lagi mas, saya gak suka!" tegas Savana. Wira hanya mengangguk saja dengan senyum masamnya.

"Tadi mas Wira bilang soal tanggungjawab, emang aku ngapain mas Wira sampe harus tanggungjawab segala?" selidik Savana saat ingat ucapan Wira beberapa saat lalu.

"Kamu udah menjajah seluruh hati dan pikiran saya, jadi kamu harus tanggungjawab!" tutur batin Wira.

"Mas? Kok malah bengong?" Savana mengibaskan tangannya di depan Wira. Pria itu langsung mengerjap dan tersadar dari lamunannya.

"Hah? Tadi kamu ngomong apa?"

"Aku harus tanggungjawab untuk apa?" Ucap Savana mengulangi pertanyaannya.

Wira tak langsung menjawab, ia kembali terdiam untuk berpikir.

"Oh! Tanggungjawab, gara-gara kamu saya dipindahkan ke kantor cabang" seru Wira asal. Ia tak tahu lagi harus membuat alasan apa. Karena alasan yang sesungguhnya tidak bisa lagi ia ungkapkan.

Wajah Savana seketika berubah sendu, melihat itu Wira jadi merasa bersalah.

"Mas bilang itu bukan salah saya?" lirih Savana seraya menundukkan kepala.

"Eh?" Wira bingung harus berbuat apa, ia tidak menyangka ucapannya barusan akan memengaruhi Savana separah itu.

"Maafin saya ya mas, harusnya saya yang dimutasi ke kantor cabang" cicit Savana menyesal.

"Bukan gitu maksud saya–"

"Saya emang salah, mas berhak marah. Gakpapa, saya terima" potong Savana seraya mengangkat kepala.

Wira langsung kehilangan kata-kata, ia hanya bisa menggeleng sambil mengangkat telapak tangannya.

Di saat bersamaan, pesanan mereka datang. Wira dan Savana sama-sama terdiam memerhatikan pramusaji menata pesanan mereka di atas meja.

"Selamat menikmati makanannya" ucap pramusaji itu lantas undur diri.

Savana tersenyum masam, menarik piringnya mendekat, lalu berdoa dan mulai menikmati makanannya dalam diam. Meski sudah lama tak makan bersama, Savana masih ingat Wira menyukai kesunyian saat makan. Savana makan tanpa semangat, wajahnya juga terlihat murung.

LFY - Bridge Of LoveWhere stories live. Discover now