B 45 - bonus part

5.4K 224 12
                                    

"Bunda jahat!" seru anak kecil berusia lima tahun sambil memukul lengan ibunya. Membuat sang ibu tertegun.

Belum sempat Biya mengucapkan sepatah kata, Derren sudah menahan tangan putrinya. Mereka memang sedang berkumpul di ruang keluarga, kebiasaan yang diterapkan setelah shalat subuh.

"Apa memukul Bunda adalah perbuatan yang baik?" tanya Derren tegas sambil meletakkan tangan putrinya di dada. Si kecil tampak ketakutan karena mendapat pertanyaan tegas disertai tatapan tajam ayahnya. Sebab Ayah yang ia kenal adalah sosok penyayang dan jarang marah.

Ia menunduk takut dan menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak, ayah."

"Apa bunda pernah memukul adik atau abang ketika marah?" anak gadisnya menggeleng.

"Lalu apa yang harus adik lakukan?" tanya Derren masih dengan suara tegas, namun tatapannya sudah melembut. Gadis kecil itu beralih menatap Bundanya dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan adik, bunda." ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis. Biya menatap sejenak putrinya sebelum mengangguk dan tersenyum menenangkan.

"Bunda maafkan."

Namun putrinya justru tidak dapat menahan air mata. Ia kembali menatap ayahnya dengan mata basah. "Maaf, ayah." ucapnya takut-takut.

Derren mengangguk. "Butuh pelukan?" tanya Derren merentangkan tangan yang langsung disambut pelukan putrinya.

"It's okay kalau abang maupun adik marah dan kesal pada bunda atau ayah. Tapi tetap saja, seperti kata adik, memukul orang tua bukan perbuatan yang baik, kan?" tanya Derren menatap bergantian putri dalam pelukannya, dan putranya yang duduk tak jauh dari mereka. Sejak tadi putranya asik bermain puzzel, tapi beralih memperhatikan mereka saat sang adik menaikkan suara pada bundanya. Keduanya mengangguk kompak.

"Tentu ayah dan bunda mungkin melakukan kesalahan atau perbuatan yang membuat kalian marah atau sedih, tetapi sekesal apapun abang dan adik tidak boleh membentak apalagi sampai memukul ya, apalagi sama Bunda." nasihat Derren yang lagi-lagi dianggukki keduanya.

"Maaf, Bunda, Ayah." kata putrinya lagi.

"Dimaafkan, jangan diulang, ok?" saat mendapat anggukan, Derren mengecup kening kemudian mengusap air mata putrinya.

Pada dasarnya, anak seusia mereka memang masih kesulitan mengontrol emosi apabila keinginannya tidak dipenuhi. Mereka belum terbiasa merasakan sesuatu yang tidak nyaman dan tidak tahu harus mengekspresikan perasaan itu dengan cara seperti apa. Sebagai orang tua, sudah sepatutnya untuk memvalidasi perasaan anak disertai bimbingan untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan benar. Memarahi anak, menyalahkan mereka, dan menyuruh mereka menekan perasaan yang sedang dirasakan tidak baik untuk tumbuh kembang mereka. Anak harus diberi ruang untung mengeluarkan emosi dan perasaan tidak nyaman yang mereka rasakan.

Tetapi bukan berarti orang tua harus memenuhi semua keinginan anak agar mereka tenang. Pada masa-masa seperti inilah orang tua harus memberi pengertian pada anak jika tidak semua keinginannya baik dan dapat dipenuhi.

Selain itu anak harus mulai diajarkan tentang adab. Mulai dari hal-hal kecil yang mereka temui dalam keseharian. Misalnya terhadap orang tua. Derren memang ingin menjadi ayah yang menyenangkan dan tidak ditakuti oleh putra-putrinya, tapi soal adab, anak akan lebih mendengarkan nasihat ayah dibanding ibunya. Jadi ia akan bersikap tegas, apalagi jika sudah seperti tadi.

"Mau cerita ke ayah kenapa tadi marah ke bunda?" tanya Derren mengelus rambut putrinya.

"Adik ingin bekal tumis cumi untuk dibawa ke sekolah," ucap si kecil sambil menunduk.

"Lalu?"

"Bunda bilang tidak cukup waktunya." kali ini putrinya mendangak menatap ekspresi ayahnya yang sudah kembali seperti biasa.

B [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant