B 3

4.9K 301 12
                                    

"Aya? Bang Aldi?"

Anak-anak menatap aneh orang tua mereka yang tampak sudah saling mengenal.

"Astaghfirullah ini bener Gina?" Aldi nampak sangat gelisah.

"Kok istighfar sih Kak, kalau ketemu temen lama itu sapa yang baiklah." Kata Aya mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba menegang. Walau jujur ia sangat syok sekarang.

"Gina apa kabar?" Tanya Aya memeluk Gina khas ibu-ibu.

"Ka-kalian orang tuanya Biya? Jadi Biya itu Ayara Sabiya Tunnisa?" Tanya Umi Gibran membuat anak-anak mengernyit bingung. Darimana umi Gibran tau?

Nama Biya memang Ayara Sabiya Tunnisa, tapi sejak SD teman-teman memanggilnya Biya karena kesulitan mengucap Ayara. Sedangkan Bayu sendiri nama aslinya Khalid Mumtaz Alamsyah, tapi karena menjadi kembaran Biya jadi teman-teman memanggilnya Bayu.

"Duduk dulu Gina, nak Revan." Pinta Aldi. Ia masih syok, Umi Gibran juga nampak begitu.

"Umi udah kenal om Aldi sama tante Aya?" Tanya Gibran membuat Gina dan Aldi Aya bertatapan sejenak.

"Iya, lebih baik kita makan malam dulu." Ucap Aldi.

"Eh nggak ngobrol dulu? Biar santai nanti makannya, Bunda juga belum siapkan makannya."

"Makan dulu aja ya? Kakak sama adek bantu Bunda menyiapkan." Perintah Aldi yang langsung dituruti putri-putrinya.

Aldi menghela napas, ia hanya membutuhkan waktu lebih untuk mencerna ini semua, juga untuk menjelaskan pada mereka nanti.

"Bang, masuk dulu aja sama nak Revan juga. Ayah mau ngobrol sebentar sama umi Gibran." Bayu menatap Ayahnya curiga.

"Ayah cuma mau ngobrol, lagian abang bisa liat dari sana,"

"Iya iya, yuk Gib, bang Rev." Ajak Bayu bangkit dari duduk. Gibran menatap uminya bingung sebelum mengikuti Bayu ke ruang keluarga.

"Bagaimana ini bang?" Tanya umi Gibran saat anak-anak sudah beranjak.

Aldi menghela napas.

"Saya gatau Gin, astaghfirullah." Ucap Aldi mengusap kasar wajahnya.

"Gibran suka sama Ayara, dia sering cerita soal keluarga abang. Sa-saya gatau kalau Biya itu Ayara. Kita harus bagaimana bang?"

"Ayara juga, dia nggak pernah bilang langsung ke saya. Tapi saya tidak buta untuk melihat ketertarikannya pada Gibran."

"Anak-anak pasti kecewa bang," Aldi mengangguk. Tentu anak-anak mereka akan kecewa, dan patah hati mungkin saja.

"Untuk malam ini, jangan bahas dulu soal niat Gibran. Bukan maksud saya menolak Gibran, tapi ka-"

"Saya tau bang, saya tau. Saya cuma takut dengan respons anak-anak nanti."

"Bismillah Gina. Sebelum mereka melangkah semakin jauh, akan lebih menyakitkan untuk mereka." Gina mengangguk setuju.

Mereka terdiam setelah itu, pikiran keduanya berputar pada masa-masa dua dekade silam.

"Makannya udah siap," ucap Aya mengagetkan keduanya.

"Eh masih ada yang mau dibahas ya?" Aldi menggeleng, ia merangkul bahu istrinya.

"Mari Gina,"

"Mari Gin, anak-anak udah di meja makan." Gina mengangguk.

Mereka makan dalam diam. Entah kenapa atmosfir tegang tetap saja terasa meski mereka mencoba biasa saja.

"Setelah makan mau ngobrol dimana?" Tanya Bayu.

"Kami langsung pamit aja ya Bang, Aya," semua menatap bingung Gina saat mengatakannya.

"Kok langsung pulang Umi, kan ma-"

"Umi masih jetlag Gib, langsung pulang ya?" Potong Gina cepat.

"Tapi kan Mi, kita mau me-"

"Please ya nak? Umi udah nahan pusing nih dari tadi." Gina beristighfar dalam hati karena berbohong.

"Tapi um-"

"Lebih baik kamu antar umi pulang dulu Gib, besok-besok masih bisa kesini lagi. Rumah ini akan selalu terbuka untuk kamu," ucapan itu entah mengapa seperti memiliki makna lain.

"Lho kok gitu Yah, buka-"

"Kasihan uminya Gibran masih jetlag Mumtaz, pasti capek juga abis perjalanan jauh." Saat Aldi memanggilnya Mumtaz di depan banyak orang, Bayu tau Ayahnya itu tidak ingin dibantah.

Sedangkan Biya ingin mengajukan protes tapi tak berani.

"Yaudah Gina, besok main ke sini lagi ya." Putus Aya membantu suaminya.

Anak-anak menatap mereka bingung. Tapi tak ada yang mau membantah karena tau ada yang aneh dengan orang tua mereka.

Setelah basa-basi sebentar Gibran, uminya dan Revan pamit pulang.

"Ayah kenapa?" Tanya Bayu begitu mobil Revan menjauhi rumah mereka.

"Iya Yah, sebenarnya ada apa?" Sahut Biya memberanikan diri ikut bertanya.

"Kamu istirahat ya kak, Adek juga langsung masuk kamar. Ayah udah capek mau istirahat, ayo Nda." Ajak Aldi pada Aya.

"Bayu, sebenarnya ada apa?" Tanya Biya begitu orang tuanya dan Bela masuk rumah. Bayu memeluk kembarannya, dia tau Biya tidak baik-baik saja.

Dan benar, ia bisa mendengar isakan tangis Biya.

"A-apa ayah nggak setuju?" Tanya Biya disela tangisnya. Bayu hanya bisa mengeratkan pelukannya. Ia juga bingung. Ayahnya nampak setuju tadi sore, tapi kenapa setelah bertemu umi Gina jadi berubah pikiran.

***

Sementara di lain tempat, Gibran mengikuti Uminya yang masuk ke kamar. Ia menuntut penjelasan. Setelah tadi di mobil Uminya tak mau buka suara sama sekali.

"Umi sebenarnya ada apa? Bukannya umi sudah setuju?" Gina menghela napas karena Gibran terus menuntut penjelasannya.

"Umi capek Gib," itu hanya alasan. Gina hanya merasa perlu berpikir untuk menyusun penjelasan yang tepat.

"Tapi Biya pasti kecewa Umi. Keluarga dia udah mempersiapkan semuanya. Gi-gibran udah janji untuk mengkhitbah Biya," Gina menghela napas melihat wajah sendu putranya.

"Duduk samping umi sini nak," Gibran menurut. Gina menghela napas berkali-kali sebelum membuka suara.

"Kamu tau kan kalau umi pernah melakukan kesalahan besar, orang tua Biya tau masa lalu umi." Gibran menunduk.

Gina meraih tangan Gibran.
"No, bukan kamu. Umi tidak pernah menyesal punya kamu Gibran. Kamu anugrah terbesar untuk umi." Ucap Gina cepat.

"Semua murni dosa umi,"

"Apa karena om Aldi dan tante Aya tau Gibran tidak punya ayah jadi mereka nggak setuju?" Gina menggeleng. Ia mulai menangis mengingat masa-masa sulitnya dulu.

Gibran memeluk uminya erat.

"Gibran minta maaf membuat umi ingat masa lalu, Gibran akan berusaha ikhlas jika memang mereka tidak mengizinkan putrinya bersama Gibran yang nasabnya tidak jelas ini." ucap Gibran ragu. Dia sudah lama mengenal keluarga Bayu, dirinya tau mereka tidak seperti itu.

Gina menggeleng. "Bu-bukan itu alasannya sayang. Kamu pasti tau orang tua Biya tidak seperti itu."

"Lalu kenapa umi?"

B [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang