B 19

3.3K 248 3
                                    

"Bagaimanapun anak di kandungan Biya butuh ayah."

Kalimat itu terus terngiang di benak Biya. Ia tidak berpikir sampai ke sana. Selama ini dia hanya berpikir soal perasaannya. Tapi bukankah ia bisa menjadi orang tua tunggal nanti? Bundanya dibesarkan oleh kakek, tanpa neneknya. Dan semuanya baik-baik saja kan? Atau sebenarnya, tidak?

"Bila," adiknya yang sedang duduk di meja belajar menoleh.

"Kenapa kak?"

"Lagi belajar?" Tanya Biya memasuki kamar Bila. Dibanding dengan Bayu, Biya tidak terlalu dekat dengan Bila. Hubungan mereka baik, hanya tidak seakrab dirinya dengan Bayu atau Bila dan Bayu.

"Baru kelar ngerjain PR. Mau curhat?"

"Hah?"

"Abang biasanya kesini buat curhat." Ucap Bila ikut duduk di ranjang berhadapan dengan Biya.

"Bayu curhat apaan?"
"Biasanya sih kalau lagi marahan sama kakak, kadang juga kalau pas sebel sama kakak atau pas menyesal bikin kakak nangis. Pokonya nggak jauh-jauh dari kakak." Biya terkekeh.

"Kakak cuma mau tanya sebenernya."

"Please kak jangan masalah pelajaran. Bila udah mendidih ngerjain PR." Kali ini Biya tertawa. Adiknya ini ternyata lucu juga.

"Eh bukan ya? Soalnya Bang Derren suka minta Bila ngerjain tugasnya, untung sih dapet bayaran. Tapi harus mikir berat." Cerita Bila tanpa diminta. Biya menganga tak percaya. Bagaimana mungkin Bayu minta bantuan pada anak SD? Walaupun harus diakui adiknya memang lebih pintar dibanding anak seusianya sih.

"Jadi kakak mau tanya apa?"

"Eng, menurutmu bunda itu gimana sih?"

"Hah? Random banget ya pertanyaannya. Bila kira mau tanya apa." Gadis itu tampak berpikir.

"Bunda ya, bagi Biya bunda itu nyawa di rumah ini. Tanpa Bunda kita semua nggak bisa hidup dengan baik. Bila bersyukur punya ibu yang dengan ikhlas mengabdikan dirinya untuk keluarga kak. Bunda membuktikan kalau ibu rumah tangga bukan sesuatu yang rendah, bunda membuktikan kalau perempuan yang sekolah tinggi dan memilih jadi ibu rumah tangga itu bukan kesalahan. She is such a amazing mom, right?" Biya mengangguk.

Bundanya memang ibu rumah tangga biasa. Lulusan magister cuma di rumah? Sia-sia dong sekolah tinggi? Jawabannya tidak. Tanpa Bundanya Biya, Bayu, dan Bila tidak akan seperti sekarang. Bahkan Aldi pun bisa ada di titik ini tidak bisa lepas dari peran Aya. Dan lagi, meraka menjadi satu tim solid untuk melakukan kerja kebaikan bersama, rumah singgah yang Aya rintis beberapa tahun belakangan buktinya.

"Kalau ayah?" Bila tampak berpikir.

"Kalau bunda nyawa rumah ini, ayah yang jadi otaknya kak. Bukan berarti ayah yang paling berkuasa atau paling pintar. Semua keputusan emang ada di ayah sebagai kepala rumah tangga. Tapi otak nggak bisa berfungsi tanpa organ lain. Dan organ lain nggak bisa berfungsi dengan baik tanpa otak. Bukankan ini saling bergantung yang indah?"

"Kalau misal nih, naudzubillah, suatu saat Ayah atau Bunda harus pergi terlebih dahulu apa yang terjadi ya?"

"Kacau." Jawab Bila tanpa berpikir panjang.

"Kita terbiasa saling menggantungkan diri selama ini kak. Saat satu anggota keluarga pergi, tentu kita perlu penyesuaian lagi, dan mungkin saja dalam waktu yang tidak singkat. Bila pikir, walau kita sudah bisa beradaptasi nantinya, semua tetap tidak akan sama kak. Biya nggak bisa bayangin hidup tanpa Ibu, pasti sangat berat. Juga tanpa ayah, itu tidak akan mudah."

Biya mengangguk. Benar, ia tidak tau apa yang akan terjadi jika dia hidup tanpa salah satu orang tuanya. Tapi, bagaimana dengan anaknya nanti?

"By the way tumben tanya beginian kak?"

B [Completed]Where stories live. Discover now