B 28

2.9K 270 3
                                    

"Biya, please buka pintunya. Aku minta maaf." Ucap Derren di depan pintu kamar yang Biya tempati.

Sementara Biya merasa tak ingin bertemu dengan Derren saat ini. Suaminya memang sudah tidak mabuk, ia tidak perlu takut lagi. Tapi perasaan kecewa lebih mendominasi sekarang. Alhasil ia mencoba mengabaikan Derren dan berfokus ke game di ponselnya.

"Biya, aku salah. Maaf karna melanggar janji. Kemarin khilaf Biy, aku nggak sadar kalau dikasih minum yang beralkohol. Sama sekali nggak ada niatan untuk mabuk-mabukan Biy."

"Udah bertahun-tahun jadi peminum kok gabisa bedain mana alkohol mana bukan." Cibir mama yang duduk di sofa tak jauh dari sana. Dea hanya memastikan Derren tidak melakukan hal-hal di luar batas. Siapa tau putranya itu masih terpengaruh alkohol

"Maaa, bantuin dong."

"Nggak." Derren ikut duduk menghampiri mamanya.

"Mama kok tega bange-" 

"Tega apanya hah? Coba kamu pikirkan gimana keadaan Biya bang. Dia ada trauma lho, dan kamu dengan bodohnya muncul dalam keadaan mabuk, membuat trauma dia kembali lagi. Kamu tau saat sampai rumah Biya nangis ketakutan? Dia baru bisa tidur setelah subuh karna traumanya kembali lagi."

Derren mengangguk lesu. Memang ini salahnya.

"Tapi Derren harus ketemu Biya Ma, bagaimanapun Biya udah jadi istri Derren, tanggung jawa-"

"Tau apa kamu soal tanggung jawab? Mama percaya kamu mau berubah bang, tapi apa? Kamu membuat kami kecewa, terutama Biya."

"Kasihan Biya, dia berkorban banyak hal untuk kamu. Bahkan pagi ini pun Biya memilih meminta bantuan ke Papamu, itu karna dia tidak ingin keluarganya tahu masalah ini. Biya begitu menjaga pernikahan kalian, dia mencoba percaya lagi ke kamu setelah semua yang kamu lakukan. Tolong jangan menyulitkan hubungan kalian. Mama tidak ingin Biya maupun kamu terluka." Derren merasa semakin bersalah apalagi setelah melihat mamanya mengusap air mata.

"Biarkan Biya tenang dulu," ucap Dea sebelum meninggalkan Derren.

Derren merenungkan apa yang terjadi pagi ini. Benar, meski ia sudah melakukan kesalahan lagi, Biya masih memberikan kesempatan kepadanya. Ia harus mensyukuri hal ini. Tak masalah jika harus menunggu sampai Biya tenang, setidaknya dia tahu, mereka sama-sama tidak ingin pernikahan ini berakhir.

Masalahnya terletak pada nama yang tertera di ponsel Derren sekarang.

"Halo Bay?" Jawab Derren mencoba biasa saja.

"Lo kemana? Gue di depan apartemen dari tadi."

"Lo ngapain ke sana?"

"Mau memastikan Biya baik-baik aja."

"Astaga, lebay banget lo."

"Masalahnya lo nelpon gue nggak jelas, gue chat dari tadi nggak dibales. Bikin khawatir tau nggak! Mana perasaan gue dari tadi nggak enak."

Derren lupa kalau ikatan batin saudara kembar sangat kuat.

"Sorry, gue nggak buka chat lo. Gue sama Biya lagi di rumah Papa."

"Biya mana, gue mau ngomong. Dari tadi gue telpon juga gabisa."

"Eng, Bay, sebenernya ada sedikit masalah."

"Bu-bukan masalah besar. Biya hanya ngambek sama gue. Kayak waktu itu." Jelas Derren cepat sebelum Bayu curiga. Bayu sudah beberapa kali menjadi penengah saat Biya ngambek karna masalah sepele. Jadi Derren berharap Bayu menganggap kali ini juga masalah kecil saja.

"Ngambek lagi?"

"I-iya, gu-gue nglanggar janji jadi ya gitulah."

Derren bisa mendengar helaan napas berat Bayu. Sebenarnya ia tak ingin berbohong begini. Tapi tidak mungkin ia jujur.

B [Completed]Where stories live. Discover now